Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terkoyak Rayap Terbawa Rekan

Tujuh rak buku menyesaki paviliun berukuran 2 x 5 meter. Sedikitnya 1.500 majalah dan buku tersusun di rak itu. Tiga sampai empat eksemplar majalah kuno dibendel sederhana: dijahit dengan benang dan diberi sampul kertas minyak warna cokelat. Beberapa koran usang dibiarkan teronggok di dekat pintu paviliun.

Itulah perpustakaan pribadi Sahwanoedin di Jalan Dirgahayu 1, Pamekasan, Madura. Pria kelahiran Pulau Kangean, Sumenep, 6 Juli 1929, itu menghabiskan hari-harinya di sana. Ia berlangganan dan mengoleksi berbagai majalah dan koran yang terbit sejak 1945 hingga 2000-an.

Koleksi itu, antara lain, majalah Pedoman Islam (Makassar), tabloid Penyedar (Yogyakarta), majalah Penuntun (Jakarta), SVD (terbitan Dinas Penerangan Belanda di Surabaya), dan majalah Hikmah pimpinan M. Natsir serta Mimbar Indonesia (Jakarta). Ada pula harian Pers yang dikeluarkan pejuang-pejuang republik bermarkas di Kebon Jeruk, Jakarta.

Kala pendudukan Belanda, selain berlangganan majalah, Sahwanoedin rajin membuat reportase dan menulis opini di berbagai media. Beragam peristiwa di Madura dan pulau-pulau kecil di sekitarnya jadi objek penulisan Sahwanoedin muda.

Tulisan itu tak hanya mengisi media cetak di tanah Jawa, seperti majalah Hikmah, Adil (Solo), Teruna, Sketsa Masa (Surabaya). Ia juga menulis di Waktu, majalah paling populer di Medan. "Waktu itu, satu tulisan dapat honor Rp 40. Kalau disertai foto, bisa sampai Rp 75," kata Sahwanoedin. Lumayan.

Berkat kegemaran berlanggaran sekaligus menulis di majalah Hikmah, Sahwanoedin muda bisa berkawan akrab dengan M. Natsir. Kini satu foto kenangan dengan perdana menteri era Orde Lama itu masih menggantung di depan pintu rumah dia.

Selain majalah, berbagai buku politik, hukum, ekonomi, dan agama juga dikoleksi. Bahkan buku saku UUD 1945 yang dicetak di atas kertas merang pun masih disimpan. "Itu koleksi saya hasil pemberian teman," ujar Sahwanoedin, yang waktu itu menjadi Wakil Kepala Kecamatan Arjasa.

Pegawai pemerintah yang digaji Rp 45 itu menyisihkan Rp 20-Rp 30 per bulan untuk berlangganan majalah mingguan. Waktu itu, harga majalah Rp 2-Rp 20. Mengapa suka mengoleksi majalah? Alasan dia sederhana. "Saya hanya lulusan sekolah rakyat dan madrasah ibtidaiyah di Arjasa, Kangean. Saya tidak ingin dianggap sebagai orang bodoh yang ketinggalan informasi," katanya.

Tak hanya sebagai kolektor, di masa pendudukan Belanda (1948) Sahwanoedin sempat mengumpulkan 30 anak lulusan SD di Sapeken untuk diajari membaca dan menulis bahasa Indonesia secara benar. Ia lakukan itu sepulang kerja di kantor kecamatan. "Cerpen-cerpen yang ada di majalah saya ajarkan ke anak-anak agar mereka tahu perjuangan bangsa Indonesia," ujarnya.

Lelaki ini memang tidak pernah diam dalam berkarya. Tahun 2004, misalnya, ia telah menyelesaikan satu buku berjudul Kangean dari Zaman Wilwatikta sampai Republik Indonesia (1350-1950). Tahun 1991-2003, ia menerbitkan majalah Kangean Nyiur Melambai berisi 20 halaman, yang terbit tiap bulan. Oplahnya hanya 200 eksemplar.

Majalah ketikan tangan itu berukuran setengah folio, yang diperbanyak dengan cara difotokopi. Semua proses pembuatan majalah dia lakukan sendirian. Majalah spesial untuk masyarakat Kepulauan Kangean dan orang Madura perantauan itu memuat kondisi Madura terkini selain soal politik nasional. "Agar masyarakat Kangean yang terpencil tahu kondisi politik nasional," tutur Sahwanoedin.

Kini perpustakaan Sahwanoedin sering jadi rujukan mahasiswa Madura. Mereka mencari referensi untuk penelitian dan skripsi. Malah ada dosen Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri Pamekasan yang menganjurkan agar mahasiswanya mengunjungi perpustakaan Sahwanoedin.

Perawatan koleksi itu agar tak dimakan rayap dan jamur dilakukan dengan cara sangat sederhana. Yaitu menaruh kapur barus di sela-sela buku. Efektif? Pasti tidak. Terbukti, satu karung buku agama yang dicetak pada kertas merang tidak terselamatkan. Bagian tengah buku dikoyak rayap. Padahal, itu buku-buku langka.

Problem lain, beberapa koleksi buku dan majalah itu raib entah ke mana. Bahkan buku kesayangannya, Riwayat Perjuangan Ir. Soekarno, tidak pernah kembali ke rak di paviliun dia. "Yang meminjam teman sendiri. Saya tidak pernah mencatat kapan buku dikembalikan," katanya.

Yekthi Hesthi Murthi
Majalah Gatra edisi 30 / XII / 14 Juni 2006