Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Buku Kehidupan: Pulang Berarti Kembali, Peninjauan Kembali

Dalam mitoiogi Yunani, ada dituturkan kisah Dedalus dan putranya, Ikarus. Dedalus seorang empu-penemu dan seniman besar. Selama bertahun-tahun ia pernah mengabdi kepada Minos, raja Pulau Kreta. Hanya karena dianggap bersalah, ia dijebloskan ke dalam labirin yang ironisnya ciptaan Dedalus sendiri. Suatu ketika bersama Ikarus, dia merencanakan untuk lari dari Pulau Kreta. Caranya dengan membuat sayap dari bulu-bulu angsa, garuda, burung hering dan ujung sayap bangau. Bulu-bulu itu dilekatkan dengan lilin pada lengan dan pundak Ikarus dan pada tubuhnya sendiri. Jadilah kemudian mereka manusia bersayap. 

Dengan menggerak-gerakkan lengan ke atas dan ke bawah, Dedalus dan Ikarus terangkat ke udara dan mereka berhasil terbang meloloskan diri dari Pulau Kreta, Sebelumnya, Dedalus pesan wanti-wanti kepada Ikarus, "Anakku, kita tak boleh terbang terlalu rendah sebab gelombang dapat membasahi bulu-bulu sayap. Sebaliknya, kita juga tak boleh terbang terlalu tinggi sebab matahari akan melelehkan lilin yang menyatukan bulu dan sayap. Kita wajib terbang perlahan dan tenang, sebagaimana halnya burung bangau...."

Dedalus terbang dengan mantap dan aman. Sebaliknya dengan Ikarus yang merasa terlalu percaya diri, jungkir balik, naik turun di udara, malah suatu saat ingin menantang matahari. Dedalus berteriak memperingatkan lagi, namun sepertinya sudah terlambat. Ikarus seperti tersedot oleh suatu kekuatan magnetis, melesat terus ke ata s—maju tak gentar— untuk kemudian tiba-tiba saja jatuh menderas dengan kecepatan amat tinggi ke bawah. Suhu tinggi telah melelehkan lilin; sayap dan bulu sudah lepas berhamburan. Ikarus pun binasa terbanting.

Bagi saya, sebuah mitologi bukan hanya hikayat yang memikat dan menghibur. Kerap kali ia juga merupakan tutur cerita bijak yang perlu digosok dan disimak setelah dia terpendarm terlupakan selama berabad-abad.

Dari cerita Dedalus dan Ikarus, saya menarik pelajaran bahwa untuk segala sesuatu itu ada batas-batasnya. Dalam euforia kemenangan, kita sering lupa diri dan tiba-tiba merasa apa pun dapat dikerjakan. Padahal, kekuatan super seperti Zeus dan Lucifer pun mudah jatuh tanpa tanggung-tanggung.

Disamping hikayat tersebut, ada konsep lain yang memukau perhatian saya sampai sekarang, yakni di seputar terminologi "synchronicity", sinkronisitas atau "kebetulan yang bermakna". Tidak syak lagi yang banyak mempopulerkan belakangan ini adalah James Redfield, penulis buku The Celestine Prophecy. Kalau ditelusuri, tampak ditemukan jejaknya pada hasil penelitian dari Carl Gustav Jung. Jung seorang dokter dan psikolog besar adalah pembangun jembatan antara ilmu dengan spirituahtas, antara mind and matter.

Di mata Jung, sinkronisitas itu tak lain "kebetulan bermakna yang tak dapat diterangkan oleh hukum sebab-akibat". Tiba-tiba saja terjadi semacam pertemuan antara "dunia-dalam" dan "dunia-luar" lewat peristiwa kebetulan yang membuat kita menjadi terheran-heran. Tampaknya seperti ada isyarat kecil atau bimbingan yang ingin memberi arah pada jalan kehidupan yang ditempuh. Kita dapat menyangkal dan mengabaikannya atau mengikuti dengan cerdas tuntunan intuisi tersebut.

Dalam kehidupan sepanjang ini, saya memilih untuk bersikap terbuka, jujur, mau menerima adanya perubahan, tawakal, menempuh lorong-lorong misteri kehidupan. Memang ada harga yang mesti dibayar untuk suatu perubahan. Ada keremangan, kegamangan dan mungkin kekacauan, namun dengan coba berserah mengikuti gelombang alam, ada kepercayaan bahwa akhirnya kita tak akan disia-siakan. Bagaimana harus dijelaskan, bahwa dalam konfigurasi yang terjadi, kita tak semata-mata benda wayang yang digerakkan oleh Sang Dalang? Bahwa sebenarnya yang ditawarkan secara tak terduga adalah jalan ke luar dari hasrat pencarian diri yang paling dalam? Penyelenggaraan llahi adalah perwujudan dari dambaan-harapan yang lebur dalam doa, sekaligus pasrah menerima tuntunan-Nya. Let Thy Will Be Done!

Sekelumit peristiwa berikut ini agaknya tak lepas dari "kebetulan bermakna" yang memberi isyarat untuk menengok ke arah kemungkinan lain.

Sebuah Pertemuan yang Tak Terduga
Saya sendiri kurang begitu ingat, bagaimana asal-mula terjadinya pertemuan tersebut. Tiba-tiba saja —suatu sore— saya sudah berada di rumah Tan Eng Kie di seputar bilangan Gunung Sahari VI atau VII (kemudian hari kawasan cul de sac itu menjadi hunian taipan Liem Sioe Liong). Tan Eng Kie adalah wartawan senior, rekan sekerja Injo Beng Goat dari harian Keng Po, dan belakangan membantu di Pos Indonesia. Sebagai jurnalis kawakan pada zamannya, ia kerap keluar masuk istana, kenal akrab dengan beberapa petinggi seperti Prof. Dr. Sumitro Djojohadikusumo dan Iain-lain, dan sering pula melakukan reportase ke luar negeri.

Sewaktu mengunjungi rumahnya, saya menjadi terkejut. Saya sudah terbiasa dengan kesederhanaan hidup, namun yang dihadapi saat itu adalah sebuah pribadi yang tidak berdaya. Seorang manusia yang sudah menyerah dalam perjuangan, Setelah dua korannya ditutup, tak begitu jelas bagaimana ia melewatkan hari-harinya. Dari caranya bicara, saya menangkap kegetiran dan kekecewaan hidup seorang wartawan tua.
Kehidupan pers pada masa Orde Lama dan Orde Baru tidak pernah langgeng. Sepertinya pedang Damocles senantiasa terayun-ayun di atas kepala, siap memenggal leher penguasa. Sekalipun media sudah nurut-manut, namun kalau keserasian "kimiawi"-nya tidak ada, cepat atau lambat musibah bredel itu akan datang juga. Saat itu saya bertanya dalam hati: berapa lama ya rata-rata usia penerbitan pers di Indonesia?

Sepulang dari pertemuan dengan Tan Eng Kie, saya jadi banyak berpikir. Apakah dia menjadi sosok dari gambaran masa depan wartawan Indonesia? Sekali waktu ia diundang dan disegani, tetapi pada waktu lain ia sudah tak diperlukan, menjadi orang terpuruk yang sudah kehilangan medianya. Saat itu sepertinya kesementaraan yang tak menentu adalah bagian kehidupan pers di negeri ini. Sepertinya saya pribadi menerima isyarat untuk menyiasati sebuah jalan lain. Mungkin saja dia "the road less travelled" atau "jalan setapak yang jarang dilalui".

Dalam buku The Importance of Living, fiisuf Dr. Lin Yu-tang dengan sedikit berseloroh membuat kategori watak berbagai bangsa. Beginilah formula yang dibuat oleh Lin Yu-tang:

Bangsa Inggris    R3    D2    H2    S1
Perancis             R2    D3    H3    S3
Rusia                 R3    D4    H1    S1
Tionghoa           R4    D1     H3    S3
Amerika            R3    D3    H2    S2

Arti kata-kata dan angka itu sebagai berikut. R menunjukkan realisme, D kemampuan untuk mimpi, H untuk rasa humor, dan S mengukur sensitivitas atau kepekaan. Semakin tinggi angka, semakin kuat ciri yang melekat kepada bangsa itu. Umpama orang Tionghoa, sense of reality-nya amat tinggi (R4), tetapi kemampuan mimpinya agak rendah (D1), sementara rasa humor dan kepekaannya cukup tinggi (H3, S3). Sebaliknya, bangsa Rusia menurut rumus Lin, tampak yang paling kurang punya rasa humor dan kepekaan, tetapi mereka pemimpi yang hebat (D4). (Sayang, Dr. Lin tak sempat menyusun formula untuk bangsa Indonesia). Sudah tentu rumus-rumus itu bersifat "pseudo-ilmiah", berdasar pengamatan atau pengalaman pribadi Lin Yu-tang.

Sekalipun demikian, sedikitnya dalam satu hal, saya diam-diam menyetujui pandangannya, Sebagai warga negara Indonesia keturunan Tionghoa, saya merasa "mewarisi" sense of reality atau realisme yang cukup tinggi. Setelah 11 tahun —sampai tahun 1976— bekerja di redaksi Kompas, saya makin mempertimbangkan kenyataan yang ada.

Saya mulai jenuh bekerja rutin, sementara pemerintah Orde Baru makin kuat menancapkan kuku kekuasaannya, terlebih terhadap pers, Apakah tidak menarik untuk meninjau kemungkinan lain agar lepas dari kemacetan? Pertemuan dengan Tan Eng Kie nyata menjadi pemicu untuk mempercepat proses peralihan, Pada suatu hail tiba kesempatan itu....

Suatu siang, Jakob Oetama datang berkunjung ke desk redaksi Kompas di Palmerah Selatan. Kala itu semua redaksi dan wartawan bekerja bersama di sebuah bangsal besar tanpa penyekat. Siang hari belum banyak wartawan hadir, kebanyakan mereka tengah dinas luar. Saya sendiri sebagai redaktur sedang memilah dan memilih berita.

Sembari berdiri, secara sambil lalu, tiba-tiba Jakob Oetama membuka pembicaraan. "Sebenarnya ada lowongan di Toko Buku Gramedia untuk mendampingi Ambar. Dengan kata-katanya itu, ia sepintas ingin menawarkan sesuatu kepada 3-4 wartawan yang ada di situ.

Seingat saya, yang hadir waktu itu antara lain H. Kodhyat, Markus Duan Alo, dan R.B. Sugiantoro. Mereka mendongak sebentar ke arah pembicara, sesudah itu tunduk lagi mengetik. Tak ada reaksi apa pun yang muncul karena tampaknya kabar itu tak ada relevansinya untuk mereka. Sementara bagi saya, signal itu cukup menarik.

Sesudah menunggu seminggu, sembari berunding dengan istri di rumah, saya menghadap Jakob Oetama untuk mengutarakan minat terhadap tawaran tersebut. Jakob Oetama agak terkejut, mungkin tak menyangka kalau redaktur senior sebuah harian besar mau alih profesi ke unit yang masih sepele. Namun, dia mempersilakan saya untuk menemui P.K. Ojong. Saat itu, Toko Buku Gramedia —yang merupakan anak perusahaan— baru berjumlah dua. Yang satu di Jalan Gajah Mada 109 dengan keluasan kurang dari 100 meter persegi, sedang yang lain di Jalan Pintu Air, sedikit lebih besar dari yang pertama.

Demikian suatu pagi saya pergi menjumpai P.K. Ojong di kantornya yang sempit (untuk seorang direktur utama) di Jalan Gajah Mada 104. Saat itu ia sedang menerima tamu, hingga saya harus menunggu agak lama; terpaksa melewatkan waktu mengobrol dengan "letnan" Kurnia Munaba. Sewaktu bertemu, P.K. Ojong menyatakan gembira, kalau saya mau bergabung ke Toko Buku Gramedia. Setelah itu, sesudah satu bulan lebih lewat, tak terdengar kelanjutan beritanya. Terpaksa suatu sore yang teduh, saya menghubungi dan bertanya lagi kepadanya.

Dari pembicaraan itu tak bisa dikenali lagi, siapa yang melontarkan gagasan berikut. Disepakati bahwa kepindahan saya tak akan buru-buru diumumkan. Saya harus magang dulu di Eropa untuk mengunjungi beberapa penerbit dan toko buku di sana. Bagi saya, itu tak menjadi masalah. Selama ini sebagai wartawan, saya sudah terbiasa menyelinap, melakukan riset intensif terhadap sumber yang tak dikenal. Tak ada kesulitan. Lagi pula saya mempunyai kredo yang diyakini: "Seorang wartawan yang baik adalah pembelajar yang cepat".

Saya menyukai pindah kerja ke Toko Buku Gramedia berdasar beberapa pertimbangan. Saya gemar membaca dan di sana akan mudah menumpang baca. Kala itu Gramedia banyak mengimpor buku-buku bagus. (P.K. Ojong ikut aktif dalam menyeleksi buku mancanegara.) Yang lebih penting, keluasan panorama dunia perbukuan menjadi terbuka. Saya menjadi mengetahui buku-buku apa yang menjadi best seller atau sedang "in", hangat dibicarakan orang di dunia, mencuatnya "mazhab" baru dalam pemikiran kontemporer ataupun trend yang muncul sebagai gaya hidup mondial.

Surat kabar memang mempunyai beberapa kelebihan, seperti aktualitas dan kecepatan tinggi. Namun, buku sebagai media juga punya keunggulan tersendiri, seperti kedalaman dan ketahanan terhadap waktu. Paling tidak, untuk sejumlah buku yang memang bermutu.

Selain itu, di unit yang dipandang "sebelah mata" oleh sementara rekan senior itu, saya dapat mulai mempelajari dan mendalami ilmu manajemen. Mulai dari a-b-c-nya sampai ke tingkat mahir. Selain jurnalisme barangkali harus ada ilmu lain yang perlu ditekuni. Untuk seorang dengan realisme tinggi, keterampilan manajemen dapat merupakan perangkat penting sebagai bagian dan the art of survival (seni bertahan hidup). Bukankah pada medio tahun 1970-an itu manajemen yang berarti "membuat sesuatu terjadi lewat orang lain" sedang "naik daun" di Indonesia? Tengoklah berbagai lembaga pendidikan dan konsultasi manajemen yang tengah bertumbuhan. Betulkah ini yang dapat menjadi jawaban?

Endra Gunawan, pencinta buku tinggal di Jakarta.
Majalah Mata Baca Vol. 1 No.11 / Juli 2003