Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Dengan Jari Membaca Sastra

"Ini hari kemenangan kami. Mimpi kami selama 15 tahun untuk dapat menggandeng penerbit kini menjadi kenyataan." Ucapan itu meluncur deras dari mulut Irwan Dwi Kustanto, Kamis pekan lalu. Wajah Wakil Direktur Eksekutif Yayasan Mitra Netra itu pun tampak ikut berseri.

Pada hari itu, Mitra Netra berhasil merangkul tiga lembaga lain. Yakni penerbit Gagas Media, Forum Indonesia Membaca, dan Perpustakaan Departemen Pendidikan Nasional. Mereka sepakat mengampanyekan program bertajuk: "Dengan Jari Aku Melihat Dunia, Dengan Jari Kita Bergandengan Tangan".

Kerja sama empat lembaga itu diwujudkan dengan penerbitan delapan novel populer Indonesia dalam format braille. Tentu saja, kedelapannya karya delapan pengarang populer pula, seperti Dewi Lestari, Ayu Utami, Fira Basuki, dan Adhitya Mulia. Wajar saja bila hal ini disambut gembira oleh para penyandang cacat mata.

"Senang sekali, karena sekarang kami tidak bergantung lagi pada 'orang awas' untuk membaca novel," ujar Dika, seorang anggota Mitra Netra. Selama ini, remaja 15 tahun itu selalu minta tolong keluarganya membacakan buku-buku cerita untuk dirinya. Kini Dika bisa membaca karya sastra dengan jarinya.

Pencetakan novel populer dalam huruf braille ini kali pertama dilakukan di Indonesia. Sebab, sejak berdiri 15 tahun silam, Mitra Netra baru mampu mem-braille-kan 760 buku pelajaran sekolah, bukan novel. Kendalanya selama ini bukan sekadar soal softcopy dari para penulis, melainkan juga karena faktor biaya.

Hingga saat ini, Mitra Netra baru memiliki dua unit mesin cetak jenis braille. Alat mirip printer komputer lama dengan jarum pelubang itu pun pinjaman dari Direktorat Pembinaan Sekolah Luar Biasa. Satu unit hanya mampu mencetak satu muka, dan satu unit lagi bisa mencetak bolak-balik.

Kemampuan cetaknya pun sangat terbatas, sekitar 300 halaman braille per bulan --setara dengan 10-15 halaman tulisan orang melek. Belum lagi proses pracetaknya yang makan waktu cukup lama. Sebuah buku yang akan di-braille-kan harus diketik ulang dulu.

Naskah dalam bentuk MS Word itu lalu dikonversi ke huruf braille, menggunakan peranti lunak Mitra Netra Braille Converter. Tak selesai sampai di situ. Naskah dalam format braille ini mesti diperiksa dulu oleh seorang proof reader yang juga tunanetra.

Pada tahap itu, pemeriksaan dilakukan melalui braille display, perangkat baca yang diletakkan di dekat papan ketik. Setelah pemeriksaan ini selesai, barulah naskah itu dicetak. Biaya pembuatan satu buku huruf braille terhitung mahal. Sebab kertas yang dipakai adalah jenis khusus, dengan ketebalan tertentu dan berat 120-160 gram.

Jenis kertas itu digunakan untuk menjaga keawetan lubang-lubang huruf hasil cetaknya. Harganya sekitar Rp 160.000 per 1.000 lembar. Kalau dihitung-hitung, untuk mem-braille-kan satu novel setebal 200 halaman, dibutuhkan biaya sekitar Rp 320.000. Itu pun hanya untuk mencetak satu eksemplar.

Soal softcopy pengarang, kini tampaknya bukan masalah lagi bagi Mitra Netra. Setidaknya, Fira Basuki berjanji mengajak penerbit-penerbit lain mengizinkan buku terbitannya di-braille-kan. Demikian pula Gagas Media, yang telah menghubungi banyak penulis agar bersedia menerbitkan karya mereka dalam format untuk tunanetra.

"Kami merasa mendapat kehormatan membantu Mitra Netra. Royaltinya free," kata F.X. Rudi Gunawan, Direktur Gagas Media. Rudi sendiri sudah memelopori ajakannya. Satu dari delapan novel yang diluncurkan adalah karyanya, Realita, Cinta, dan Rock 'n Roll.

Novel lain yang juga diterbitkan dalam huruf braille adalah Brownies karya Fira Basuki. Juga kumpulan cerpen Filosofi Kopi karya Dewi Lestari. Adapun karya Ayu Utami yang di-braille-kan adalah Parasit Lajang. Adhitya Mulia, Icha Rahmanti, Miranda, dan Ninit Yunita turut pula mem-braille-kan karya mereka masing-masing: Jomblo, Cintapucino, Ungu Violet, dan Test Pack.

Tak sekadar buku, Dewi malah menyumbangkan suaranya di sela-sela acara peluncuran novel braille sore itu. Lantunan Eternal Flame mengalun merdu ke seputar ruangan. "Close your eyes, give me your hand darlin'/ Do you feel my heart beating/ Do you understand do you feel the same/ Or I only dreaming/ Is this burning an eternal flame...."

Jalur Lebar Kaum Tunanetra
Dukungan dan perhatian pemerintah di sejumlah negara maju pada kelompok penyandang cacat begitu besar. Terutama dilihat dari adanya fasilitas khusus bagi mereka dalam menikmati layanan publik. Termasuk penyediaan layanan perpustakaan untuk mereguk pengetahuan.

Di ''negeri Paman Sam'' saja, misalnya, setiap negara bagian yang jumlahnya 51 menyediakan perpustakaan khusus tunanetra dan penyandang cacat badan lainnya. Malah, menurut catatan situs Managing Information, jumlah perpustakaan khusus ini sekarang sudah sekitar 134, yang tersebar di seputar negeri.

Semua itu dapat berjalan berkat bantuan penyandang dana swasta. Yang lebih menarik, pemerintah pusat pun memiliki perpustakaan sejenis. Untuk memacu kegiatan layanan bagi para penyandang cacat, perpustakaan pusat ini setiap tahun memberi penghargaan kepada perpustakaan daerah yang dianggap terbaik memberi layanan dan paling berprestasi.

Tahun ini, penghargaan berjuluk Network Library of the Year Award itu jatuh ke perpustakaan Negara Bagian Illinois. Bila dibandingkan dengan Indonesia, fasilitas perpustakaan untuk kaum cacat dan tunanetra di Amerika sudah pasti jauh lebih baik.

Mitra Netra saja, setelah 15 tahun berdiri, baru mampu mendirikan tiga perpustakaan: di Jakarta, Bandung, dan Manado. Padahal, jumlah penyandang tunanetra di negeri ini yang mampu membaca tulisan braille mencapai 10.000 orang.

Keberpihakan Pemeritah Jerman pada kaum tunanetra juga terlihat jelas. Pemerintah Berlin, misalnya, sudah lama menerapkan aturan membantu kaum cacat dan tunanetra untuk mendapatkan pekerjaan yang layak. Di sana, setiap perusahaan diwajibkan mempekerjakan penderita cacat sebanyak 5% dari jumlah total pekerja.

Gaji dan fasilitasnya pun mesti disetarakan dengan karyawan lain yang lengkap pancaindranya. Sehingga jalur pekerjaan kaum tunanetra terbuka lebar. Lihat saja yang dialami Djenggis, warga Jerman keturunan Turki yang tunanetra. Berkat aturan main itu, pemuda berusia 23 tahun ini mendapat kesempatan bekerja di pemancar radio internasional, Deutsche Welle.

Ia duduk sebagai staf administrasi di bagian kerja sama. Tugas utama Djenggis mengurusi surat-menyurat. Untuk melakukan pekerjaannya, seperangkat komputer lengkap dengan speaker, braille display, dan sebuah pemindai tersedia di mejanya.

Peranti lunak yang digunakan Djenggis sama dengan yang dipakai Yayasan Mitra Netra di Indonesia. Djenggis tentulah bukan satu-satunya penyandang cacat yang bekerja di radio itu.

Deutsche Welle cukup banyak mempekerjakan penyandang tunanetra di bagian lain, seperti pendataan program. Demikian pula di departemen musik yang banyak membutuhkan kepekaan pendengaran. Dan kaum cacat netra pun mendapat kesempatan sama dengan mereka yang berpenglihatan normal.

Erwin Y. Salim & Miranti Soetjipto
Majalah Gatra edisi 23 / XII / 22 April 2006