Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Seks dan Problem Budaya dalam Cerita Anak

Seks dalam kehidupan makhluk hidup menjadi kebutuhan paling vital setelah kebutuhan makan. Bagi makhluk hidup, aktivitas seksual menjadi faktor penting karena berkaitan erat dengan kebutuhan untuk berkembang biak dan meneruskan kelanjutan keturunan. Bagi manusia, aktivitas seksual tidak hanya sekadar demi menjaga kelangsungan spesies belaka, tetapi juga merupakan aktivitas yang membawa kenikmatan. Pergeseran fungsi ini terjadi karena manusia memiliki hasrat atau nafsu yang tidak dimiliki oleh makhluk lain, Tidak heran bila mitos perihal penciptaan kenikmatan yang paling puncak dalam melakukan hubungan seksual kemudian banyak bermunculan. Juga ketidakmampuan atau kelemahan dalam aktivitas seksual bisa menimbulkan dampak dalam kehidupan pribadi ataupun sosial seseorang.

Seks, Kenikmatan yang Dihujat
Foucault dalam Seks dan Kekuasaan (2000) menjelaskan dengan bagus betapa seks telah menjadi demikian dilarang dan direpresi dari zaman ke zaman. Pembicaraan mengenai seksualitas sama artinya dengan pelanggaran yang tidak bisa ditolerir oleh nilai-nilai kesopanan. Bahkan untuk membicarakan seks dalam konteks yang ilmiah sekalipun, orang harus meminta maaf lebih dahulu karena telah berani membicarakan hal yang tabu dan tidak sopan.

Kekuasaan, menurut Foucault, telah mengontrol aktivitas seksual bahkan ke komunitas yang paling kecil, yaitu keluarga. Pengaturan masalah seks ini telah memasuki ruang-ruang pribadi manusia, Dengan melakukan kampanye di balik sarana tradisional seperti anjuran moral dan keagamaan, kekuasaan mencoba mengubah tingkah laku seksual pasangan-pasangan menjadi perilaku ekonomis dan politis yang terencana. Di Indonesia, kasus ini misalnya bisa dilihat dalam program keluarga berencana. Dalam program tersebut, aktivitas seksual dianggap sebagai aktivitas yang berkelindan dengan persoalan populasi, ekonomi, dan politik.

Kontrol kekuasaan terhadap wacana seksualitas ini juga merambah wilayah-wilayah lain, termasuk dunia fiksi, sastra. Persentuhan fiksi dengan seks langsung bisa dikategorikan dengan pornografi atau dianggap sebagai karya sastra picisan yang amoral. Bila sudah demikian, lembaga sensor resmi (badan sensor negara) ataupun tidak resmi (kelompok-kelompok agama dan sosial) segera bertindak.

Dalam kenyataannya, masyarakat sendiri berada dalam hipokrisi. Di satu sisi, mereka menganggap seks sebagai hal yang tabu, tidak pantas, dan menjijikkan. Di sisi lain, orang merasa bergairah untuk mengetahui lebih jauh segala hal yang berhubungan dengan seks. Goenawan Mohamad dalam Seks, Sastra, Kita (1981), melihat seks sebagai topik yang dikecam sekaligus memiliki daya tarik yang tidak ada habisnya. Dia menganggap persoalan seks tidak beda dengan persoalan-persoalan lain yang sama menariknya untuk ditulis. Dalam karya sastra, menurutnya, seks hanyalah semacam pose. Meneriakkan seks terlalu keras sama tidak meyakinkannya dengan terlalu hati-hati atau bahkan menolaknya.

Seks dalam Buku Bacaan Anak
Seks juga menyentuh wilayah sastra anak-anak. Dalam hal ini, saya mengandaikan kita sepakat bahwa cerita anak pun merupakan salah satu karya sastra. Namun, kadar aktivitas seksuai yang dikisahkan di dalamnya tentu saja berbeda dengan fiksi orang dewasa. Dalam cerita anak, adegan berbau seks yang erotis tidak sampai menggambarkan adegan percumbuan yang merangsang hasrat seksual, apalagi persenggamaan. Biasanya, adegan seksual dalam cerita anak hanya menggambarkan adegan berciuman, berpelukan, atau memegang tangan di antara tokoh-tokohnya.

Kendati demikian, persoalan seks dalam kaitannya dengan cerita anak menjadi lebih rumit dibanding dengan fiksi untuk orang dewasa. Cerita anak relatif tidak bisa lepas dari beban pedagogisnya, berbeda dengan fiksi yang diperuntukkan bagi orang dewasa. Memang pada awalnya keduanya diciptakan sebagai sarana pendidikan bagi pembacanya. Namun, dalam perkembangannya, fiksi untuk orang dewasa relatif bisa melepaskan diri dari tuntutan pedagogis tersebut, meski tidak selalu sepenuhnya demikian.

Sampai saat ini cerita anak masih dianggap sebagai media efektif untuk memberikan tuntunan moral dan sopan santun bagi pembacanya yang tentu saja anak-anak. Bahkan kabarnya mata kuliah yang berkaitan dengan cerita anak hanya diberikan di perguruan tinggi kependidikan karena fungsi pedagogis cerita anak tersebut. Beban fungsi demikian membuat para pengarang cerita anak-anak tidak bisa main-main karena mereka berhadapan dengan kekuatan sensor yang lebih garang. Sekali saja mereka membuat cerita yang berbau seks, hujan hujatan akan segera menimpanya sebagai orang yang dianggap merusak moral anak-anak.

Standar Norma dan Perbedaan Kultur
Benarkah seks selalu menjadi sesuatu yang tabu dan tidak layak untuk diperlihatkan di depan publik karena bertentangan dengan nilai-nilai kesopanan? Ternyata tidak selalu aktivitas seksual melanggar nilai-nilai kesopanan. Norma-norma kesopanan —seperti halnya hasil kebudayaan manusia yang lain— berkaitan dengan sistem tata kemasyarakatan yang dibangun oleh masyarakat tersebut dan bersifat relatif. Sesuatu yang dianggap tidak sopan bagi sebuah masyarakat belum tentu juga berarti demikian bagi masyarakat lain. Hal ini bergantung pada kultur masyarakat tempat nilai-nilai tersebut terlahir.

Sistem budaya yang dibangun oleh masyarakat Indonesia berbeda dengan yang dibangun oleh masyarakat lain, termasuk bangsa Barat. Oleh karena itu, sudah jamak bila norma-norma yang diciptakan oleh bangsa Indonesia pun berbeda dengan yang diciptakan oleh bangsa Barat. Perbedaan kultur inilah yang kemudian membuat sebuah aktivitas bisa dianggap melanggar norma.

Misalnya, aktivitas seksual tertentu (seperti berciuman atau berpelukan) menjadi aktivitas yang biasa ditemui dalam masyarakat Barat. Norma-norma bangsa Barat memperbolehkan anggota masyarakatnya berciuman atau berpelukan di tempat umum karena aktivitas tersebut menurut tata kemasyarakatan mereka adalah salah satu bentuk ekspresi perasaan cinta kasih.

Tidak demikian halnya dengan norma kesopanan bangsa Indonesia. Kultur Indonesia tidak menjamin ekspresi perasaan seperti itu. Berciuman atau berpelukan bagi masyarakat Indonesia merupakan aktivitas yang tabu dan tidak layak untuk dipertontonkan di depan publik. Aktivitas seperti itu merupakan aktivitas yang bersifat sangat pribadi dan hanya bisa diekspresikan dalam wilayah pribadi, yaitu kamar tidur.

Sikap masyarakat Indonesia terhadap seks yang demikian itu memiliki dampak luas. Apa pun yang berbau seks langsung dianggap asusila dan tidak sesuai dengan budaya bangsa. Mulai dari media visual, audio, hingga kombinasi keduanya dikontrol ketat oleh pemerintah dan masyarakat, Mereka akan segera melontarkan kecaman bila ada di antara anggota masyarakat yang berani menyentuh atau bahkan mengeksploitasi persoalan seks, Kasus mutakhir dapat kita temukan daiam kontroversi "Goyang Ngebor" Inui Daratista atau VCD "Kamar Mandi", misalnya.

Ciuman Mesra untuk Sang Putri
Kadar keerotisan adegan seks dalam cerita anak berbeda dengan fiksi orang dewasa. Adegan seperti ini biasanya kita dapatkan dalam cerita-cerita anak adaptasi atau terjemahan dari luar negeri (baca: Barat) yang diterjemahkan atau diceritakan kembali dalam bahasa Indonesia.

Persoalan sopan dan tidak, sebenarnya lebih pada ukuran batas kesopanan antara masyarakat Barat dengan masyarakat Indonesia. Bagi masyarakat Barat, bisa saja adegan berpelukan atau berciuman antara dua manusia berbeda jenis kelamin menjadi pemandangan sehari-hari. Namun, di Indonesia adegan seperti itu masih menjadi sesuatu yang tidak sopan bila dipertontonkan di depan khalayak, khususnya anak-anak. Nilai-nilai kesopanan di Indonesia tidak membiarkan pasangan lelaki-perempuan bisa bermesraan dengan berpelukan atau berciuman di sembarang tempat dan waktu. Bahkan bagi pasangan suami-istri sekalipun, masih merasa tabu untuk mempertontonkan kemesraan mereka di depan orang lain, termasuk anak-anak mereka.

Contoh cerita anak yang lumayan populer adalah cerita Putri Salju dan Tujuh Kurcaci. Dalam salah satu adegan cerita tersebut dikisahkan sang putri terbangun dari kutukan tidur panjangnya setelah seorang pangeran mencium bibirnya.
.... Dia menghampiri sang Putri, dengan lembut memberikan ciuman perpisahan pada bibirnya yang dingin .... (Snow White and The Seven Dwarf, 2000, hlm. 90).
Dalam sebuah edisi terjemahan cerita Putri Tidur (Sleeping Beauty), sang pangeran mencium sang putri untuk membangunkannya dari tidur panjang. Namun, dalam kisah ini sang pangeran mencium pipi, bukan bibirsang putri.
.... Pangeran mencium pipi sang Putri... (Putri Tidur, 1991, hlm. 23).
Saya tidak tahu adegan ini mengalami transformasi (baca: penyesuaian) dari adegan cium bibir ke cium pipi sebagai sebuah tindakan self-censor yang sengaja dilakukan oleh penerbit ataukah memang sudah demikian dalam naskah aslinya. Adegan seperti ini bagi orang Barat merupakan hal yang biasa sebagai sebuah ekspresi perasaan cinta dan sayang seseorang terhadap kekasihnya, tapi tidak demikian bagi orang Indonesia, apalagi anak-anak. Seandainya adegan ciuman ini, bahkan adegan cium pipi sekalipun, terjadi di dunia nyata masyarakat Indonesia, para orang tua pasti akan segera menutup mata anak-anak mereka.

Dalam sebuah buku cerita anak yang bercerita tentang seorang wanita Indian bernama Pocahontas, adegan erotis dilukiskan lebih eksplisit lagi, Selain teks cerita tersebut mengisahkan tentang adegan ciuman tokoh lelaki dan perempuan, masih ditambah lagi dengan gambar ilustrasi yang memperlihatkan adegan ciuman bibir
tersebut. Penggabungan teks dan gambar itu semakin memperkuat imajinasi pembaca dalam menangkap adegan ciuman di antara kedua tokoh cerita.
.... Pocahontas senang sekali. Diciumnya sahabatnya itu... (Pocahontas, 1999).
Dalam buku cerita anak lain yang berjudul Atlantis; the Lost Empire (2001), teks cerita sama sekali tidak menyinggung tentang adegan erotis, tapi gambar ilustrasi dalam buku tersebut memperlihatkan sosok wanita yang mengenakan pakaian minim yang lebih mirip dengan pakaian renang (latar cerita ini memang di lautan). Pakaian tokoh wanita cerita ini mempertontonkan paha dan sebagian besar tubuh bagian atas.

Dari beberapa contoh cerita anak tersebut, disadari atau tidak, sebenarnya seks juga sudah merambah ke dunia cerita anak. Menariknya, adegan berbau seks dalam cerita anak itu tidak memperoleh respons signifikan dari masyarakat. Mestinya persoalan seks dalam kaitan dengan moralitas dan kesopanan menjadi persoalan yang sensitif bila mengacu pada keyakinan masyarakat bahwa cerita anak adalah sebuah fiksi yang bisa dijadikan alternatif pendidikan dan penanaman nilai-nilai kesantunan pada anak-anak.

Tentu saja kita tidak bisa mengharapkan anak-anak akan mengungkapkan ganjalan hatinya secara terbuka kepada publik seperti halnya orang dewasa. Namun, saya juga tidak pernah menjumpai adanya keluhan dari khalayak sebagai bentuk kontrol terhadap bacaan anak-anak, Protes hanya muncul terhadap komik Shincan yang sesungguhnya dibuat untuk konsumsi orang dewasa. Tidak demikian halnya dengan cerita anak yang dibuat semata-mata untuk dikonsumsi oleh anak-anak. Tidak ada keluhan masyarakat terhadap fenomena seks dalam cerita yang dibaca anak-anak. Realitas seperti ini menurut saya sangat mengusik dan menimbulkan banyak pertanyaan.

Ada beberapa hipotesis yang bisa saya tarik dalam fenomena seks dalam cerita anak ini. Pertama, cerita Putri Tidur, Putri Salju, dan cerita-cerita lainnya merupakan cerita anak klasik yang sudah biasa masyarakat dengar atau baca. Karena sudah merasa akrab dengan cerita tersebut, masyarakat merasa apa pun yang ada dalam cerita tersebut sudah menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kultur mereka dan tidak lagi merasakan keganjilan di dalamnya.

Berikutnya, masyarakat melihat adegan erotis seperti berpelukan atau berciuman dalam cerita anak terutama yang berasal dari Barat sebagai sebuah adegan yang wajar karena model cerita seperti itu sudah menjadi sebuah klise. Sebagian besar cerita anak yang memiliki tokoh pangeran dan putri selalu berakhir dengan adegan berpelukan atau berciuman dan pernikahan kedua tokoh cerita. Adegan berpelukan atau berciuman dianggap sebagai keniscayaan dari ekspresi perasaan bahagia dalam cerita anak yang sebagian besar berakhir dengan adegan bahagia (happy ending). Tidak mustahil bila kemudian anak-anak memiliki pemahaman bahwa cinta identik dengan berciuman.

Bisa jadi juga masyarakat tidak terlalu memedulikan persoalan ini karena tidak bersentuhan langsung dengan diri mereka. Logikanya, pembaca cerita anak-anak adalah kalangan anak-anak yang tidak bisa mengekspresikan keberatan mereka terhadap sebuah cerita yang mereka dengar atau baca. Rasa suka atau tidak yang dimiliki anak-anak terhadap sebuah cerita lebih berdasarkan alasan yang tidak substansial, seperti tertarik dengan warna-warni ilustrasi di dalamnya atau karena buku tersebut baru diperoleh. Juga mereka belum bisa melakukan semacam kontrol diri saat menghadapi sebuah teks. Segala sesuatu yang ada di dalam teks mereka anggap sebagai sesuatu yang sudah semestinya. Sementara itu orang tua biasanya tidak terlalu menaruh perhatian karena mereka tidak atau jarang terlibat dalam aktivitas tersebut. Berbeda dengan bila anak-anak sedang menonton televisi atau film bersama-sama orang tua ikut terlibat dalam aktivitas tersebut dan bisa meresponnya.

Barangkali juga masyarakat telah mengalami pergeseran standar nilai kesopanan sehingga adegan-adegan ciuman dan pelukan, atau ilustrasi tokoh berpakaian seksi tidak lagi dianggap tabu. Gencarnya pengaruh tayangan media-media dari berbagai macam negara yang memiliki nilai-nilai sosial dan budaya berbeda sedikit banyak membawa pengaruh dalam pemahaman masyarakat terhadap tatanan moral yang selama ini mereka pegang. Hegemoni budaya dari luar sudah meresap dalam pola pikir masyarakat Indonesia dan mengubah cara pandang mereka. Singkatnya, bila dirunut lebih jauh lagi, fenomena seks dalam cerita anak memiliki keterkaitan erat dengan tata kemasyarakatan pada umumnya dan menjadi cerminan sosial-budaya masyarakat yang senantiasa berubah. Benarkah demikian?!

Imam Risdiyanto, penggiat Komunitas Dolanan Yogyakarta.
Majalah Mata Baca edisi Vol. 1/No. 11/ Juli 2003