Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kapital Marx Menyapa Indonesia


Lelaki gaek berusia 76 tahun itu pernah terpaksa memakai nama samaran Saman Jaya dan Ira Iramanto. Kini, setelah napas zaman berubah, ia akhirnya berani menunjukkan jati diri dalam karya terjemahannya. Tidak tanggung-tanggung, mantan tahanan politik bernama Oey Hay Djoen itu muncul menerjemahkan karya mendunia Karl Marx: Das Kapital, Kritik der Politischen Okonomie.

"Saya berterima kasih kepada Saudara Oey Hay Djoen. Apa yang dilakukannya ini sebuah pekerjaan raksasa. Bukan hanya karena tebalnya, tapi juga sulitnya buku ini," ujar Jusuf Ishak, Editor Senior Hasta Mitra, penerbit karya terjemahan itu. Ishak pantas berterima kasih pada lelaki yang pernah mendekam di Pulau Buru 10 tahun itu, karena proses penerjemahannya terhitung kilat: hanya sekitar delapan bulan.

Walau demikian, proses penerjemahan karya Marx ini punya riwayat sendiri. Oey mengaku pada 1964 ia sudah mencoba-coba menerjemahkan Das Kapital. Sayang, ketika itu ia menghadapi kendala bahasa. Terutama karena banyak terminologi yang dipakai filsuf Jerman itu belum ada padanannya dalam bahasa Indonesia. Upayanya terhenti pada 1965 karena ia keburu ditahan dan dibuang ke Pulau Buru hingga 1979.

Oey kembali bergelut menerjemahkan Das Kapital pada awal 2003. Ketika itu, ia menerima naskah terjemahan Das Kapital dari "teman-teman di Eropa". Semula, ia menyangka hanya harus menyunting naskah ketikan setebal 1.000 halaman. Ternyata, terjemahan trio Nyoto-Siauwgioktjhan-Gogientjwan itu mengandung banyak kekurangan. "Ada beberapa kejanggalan secara struktur dan makna ketika saya melakukan cek silang," kata Oey kepada Atika Gadis dari Gatra.

Alhasil, Oey pun memutuskan menerjemah ulang setelah meminta izin kepada ketiga sobatnya itu. Tak kurang tiga buku dijadikannya pedoman untuk menerjemah. Pertama, ia menggunakan Das Kapital edisi Inggris terbitan Moskow 1959 dan edisi Belanda terbitan 1910. Pengecekan ulang ia lakukan dengan merujuk Das Kapital edisi Inggris terbitan Penguin Classics, 1992. "Saya dapat informasi dari kawan-kawan mahasiswa, Kapital terbitan Penguin Classics ini lebih akurat dan mudah dimengerti. Buku itu lalu saya cari dan dapatkan," katanya.

Om Oey, begitu ia biasa disapa, mengaku cukup kesulitan menerjemahkan karya Marx yang satu ini. Selain karena pemaparannya yang kering, Das Kapital sangat tidak mudah dipahami. Tambahan lagi, Oey memiliki keterbatasan dalam menggunakan bahasa Indonesia karena ia lebih akrab dengan bahasa campuran Tionghoa Melayu. Beruntung, "kelemahan" itu diperbaiki oleh Hilmar Farid, penyunting buku ini.

Hilmar sendiri mengakui ikut merasakan kesulitan yang dihadapi Om Oey. Pengajar di Sanggar Akar, sebuah lembaga pendidikan bagi anak-anak jalanan, itu harus berhadapan dengan perbedaan bahasa. Om Oey dalam terjemahannya lebih menggunakan bahasa lama, sedangkan Hilmar menggunakan bahasa masa kini. Satu contoh, ia merasa harus mengganti kata "barang dagangan" dengan "komoditi" sebagai padanan commodity. "Pada 1960-an, commodity memang selalu diterjemahkan sebagai barang dagangan. Kalau tetap menggunakan terjemahan itu kan terasa janggal," kata Hilmar.

Kesulitan lain, menurut Hilmar, ia merasa kewalahan mengikuti cara kerja Om Oey dari segi waktu. Secara keseluruhan, menurut dia, proses penerjemahan hingga penyuntingannya ekstra kilat dan hanya makan waktu sekitar delapan bulan. "Cara kerja Om Oey luar biasa cepat, saya hampir tidak sanggup mengikutinya," kata mantan dosen sejarah di Institut Kesenian Jakarta (IKJ) ini.

Lalu, apa arti kerja keras duet Oey-Hilmar ini? Mantan Presiden Abdurrahman Wahid, yang menjadi pembicara dalam peluncuran Das Kapital pada 2 Januari silam, memandang penerjemahan itu masih tetap relevan. Ia memandang karya ini penting untuk mengubah pemikiran keliru tentang Marxisme dan terminologi kiri. "Diperlukan pemikiran ulang atas sikap kita sebagai bangsa yang mengatakan orang kiri itu memberontak," katanya.

Di masa silam, Gus Dur memang pernah melontarkan gagasan untuk mencabut Ketetapan MPRS XXV tahun 1966. Ketetapan itu antara lain berisi larangan penyebaran ajaran komunisme-marxisme dan Leninisme. Dan berkat ketetapan itu pula, selama lebih dari tiga dekade resistensi dan pembredelan terhadap apa pun bentuk publikasi yang berbau pemikiran Marx terasa sangat kuat.

Pakar Marxisme, Dr. Franz Magnis Suseno, ikut urun kata. Ia melihat kemunculan terjemahan ini sebagai bentuk normalisasi terhadap harkat intelektual Indonesia. Sudah sedemikian lama harkat itu dikudeta oleh penguasa. "Dalam buku ini tidak ada serangan terhadap agama. Gagasan dasar buku ini menjelaskan perkembangan bangsa ditentukan oleh produksi dasar material kehidupan, yaitu ekonomi," katanya.

Senada dengan Magnis, Ari Aryanto, Ketua Bidang Politik, Militer, dan Persoalan Kebangsaan Partai Rakyat Demokratik menilai kehadiran karya terjemahan ini memberi sumbangan besar bagi dunia keilmuan di Indonesia. Meski mengaku belum pernah membaca Das Kapital, ia percaya kemunculan buku ini bisa menjadi landasan untuk melihat kembali berbagai tafsir pemikiran Marx yang sudah beredar. "Kita bisa tahu apakah interpretasi itu sesuai dengan pemikiran asli Marx sendiri," kata Ary.

Berbeda dengan Gus Dur dan Ari, Hilmar menilai tak ada yang luar biasa dengan hadirnya terjemahan buku ini. Hilmar beralasan Das Kapital edisi Inggris sudah lama tersedia dan banyak orang Indonesia paham bahasa Inggris. Hanya, kini Das Kapital bisa merengkuh pembaca yang lebih luas. "Sekarang orang bisa memeriksa sendiri di mana kekeliruan pandangannya, sehingga bisa membuat kesimpulan yang bermakna," katanya.

Zaman sudah beralih, musim sudah pula berganti. Era penolakan penguasa terhadap publikasi pemikiran Marx sudah berlalu sejak reformasi digulirkan pada 1998. Meski Ketetapan MPRS XXV tahun 1966 memang belum dicabut. Pembredelan pun tak terdengar lagi kendati kini bisa ditemukan belasan judul buku terjemahan tentang ajaran Marx. "Bila buku ini tidak dibredel, pemerintahlah yang untung. Dunia internasional akan memandang demokrasi telah berjalan baik," kata Jusuf Ishak.

Erwin Y.S., Alexander Wibisono, dan Dessy Eresina Pinem
Majalah Gatra edisi 14 / XI / 19 Februari 2005