Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Novel Siddhartha (Hermann Hesse)

Judul: Siddhartha
Penulis:  Hermann Hesse
Penerbit: Gramedia, 2014
Tebal: 168 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Siddhartha meninggalkan keluarganya untuk hidup sebagai samana, namun jiwanya tidak menemukan kedamaian, dan dia pun pergi untuk menjalani kehidupan duniawi. Seorang anak terlahir untuknya, tetapi ini pun tidak menenteramkann hatinya, dan dia kembali mengembara. Dalam kkeadaan nyaris putus asa, Siddhartha sampai di tepi sungai dan bertemu dengan Vasudeva si tukang perahu. Pertemuan ini menjadi awal kehidupannya yang baru—awal dari penderitaan, penolakan, kedamaian, dan akhirnya kebijaksanaan.

Siddhartha merupakan salah satu novel dari penulis dan peraih nobel sastra asal Jerman, Hermann Hesse. Novel ini mengisahkan perjalanan seorang anak Brahman bernama Siddhartha dalam mencari kebijaksanaan. Ketidakpuasaannya pada pengajaran oleh para Brahman memaksanya ‘berduet’ memulai perjalanan pencarian kebijaksanaan bersama temannya, Govinda. Mereka masuk ke dalam hutan untuk bergabung bersama Samana. Namun lagi-lagi, Sidhartha tak menemukan kebijaksanaan itu. Kemudian mereka berguru pada Gautama, seseorang yang sudah mencapai level enlightment. Bersama Gautama, Siddhartha mendapatkan apa yang ia inginkan. Namun, ia ingin mencari kebijaksanaan itu sendiri. Siddhartha dan Govinda berpisah, menempuh jalan mereka masing-masing.

Dalam pengembaraannya, Siddhartha menumpang sebuah perahu yang dikemudikan oleh Vasudeva. Ia sampai ke kota besar sebelum sore. Di sana ia bertemu dengan pelacur kelas tinggi yang tersohor bernama Kamala. Pelacur itu memiliki paras cantik. Puja dan puji keluar dari mulut Siddhartha untuk sang pelacur. Malamnya, Siddhartha datang untuk meminta pengajaran pada Kamala.

Tak mudah menaklukkan hati seorang pelacur kelas kakap macam Kamala. Ia mau memberikan pengajaran itu asalkan Siddhartha bersedia memperindah busananya dan mempertebal dompetnya. Tentunya, untuk memperindah pakaian dan mengisi dompet ada sesuatu yang harus dilakukan, artinya Siddhartha mau tidak mau harus bekerja. Siddhartha memiliki keahlian melantunkan syair-syair indah, membaca, dan menulis. Kamala memerintahkannya untuk bekerja pada seorang pedagang bernama Kamaswami. Si pedagang mengamanahi tugas menuliskan surat-surat penting dan kontrak-kontrak kepada Siddhartha. Dari pekerjaan ini, Siddhartha mampu memenuhi apa yang menjadi keinginan Kamala: pakaian indah dan dompetnya tebal. Rupanya pencapaian ini tak membuat hatinya damai. Siddhartha memutuskan kembali mengembara dan meninggalkan kehidupan mewahnya.

Dalam perjalanannya, Siddhartha bertemu dengan teman lamanya, Govinda. Govinda mendapati sahabatnya tengah tertidur pulas di bawah sebuah pohon. Govinda menunggu dengan sabar Siddhartha yang sedang tertidur, hanya untuk menyapa. Ketika Siddhartha membuka mata, perasaan suka cita mengisi dadanya. Ia berjumpa kembali dengan sahabat yang dirindukannya. Sayangnya, karena terlalu lama tak bertemu, Govinda tak mengenali Siddhartha. Siddhartha meyakinkan sahabatnya bahwa orang yang ia temui adalah teman masa mudanya. Pertemuan yang singkat itu memaksa mereka untuk menahan rindu yang lebih lama lagi. Govinda harus kembali pada rombongan Samana-nya sedangkan Siddhartha kembali dengan tujuan hidupnya; mencari kebijaksanaan.

Siddhartha melanjutkan pengembaraannya. Ia kembali menumpang sebuah perahu. Ya, perahu yang sama yang pernah ia naiki beberapa waktu silam, dengan pengemudi yang sama, Vasudeva. Bersama Vasudeva, Siddhartha merajut hidup yang baru, melupakan semua hal yang berbau duniawi. Bersama Vasudeva, banyak kejadian yang tak pernah ia duga sebelumnya.

Novel ini pertama kali terbit dalam bahasa Jerman pada 1922. Sebuah karya kalsik dunia yang mengambil latar tempat di India. Beberapa teman sempat kaget karena saya dikira mencomot buku agama Buddha. Saya bilang ini cuma novel klasik tentang tokoh agama Buddha yang wajib dibaca. Hmmmm… Siddhartha dan Gautama itu beda ya… Siddhartha itu lebih tepatnya murid Gautama atau Gotama. Buku ini tipis, berdasarkan informasi di atas tak sampai 200 halaman. Cocok dibaca sambil ngabuburit menunggu waktu berbuka tiba.

Saya tak bisa berkomentar banyak. Novel-novel klasik seperti ini sudah didesain indah sejak dulu oleh para penciptanya. Novel ini seolah mengatakan ‘dilarang mengkritik’. Memang, kita tak perlu lagi berkomentar tentang plot yang berantakan atau cerita yang tak masuk akal. Tak perlulah kita mengajari penulisnya soal tetek bengek cara menulis cerita agar disukai pembaca. Berbeda dengan novel masa kini yang bisa kita kritik habis-habisan. Sejatinya, novel klasik dicetak kembali untuk dinikmati oleh generasi setelahnya. Sebagai penikmat novel klasik, sejauh ini pandangan saya masih soal selera; suka dan tidak suka. Itu saja!