Jual Buku Krisis Daya Cipta Indonesia: Polemik Soedjatmoko Vs Boejoeng Saleh
Judul: Krisis Daya Cipta Indonesia: Polemik Soedjatmoko Vs Boejoeng Saleh
Editor: M. Nursam
Penerbit: Ombak, 2004
Tebal: 152 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Awalnya, polemik yang dibukukan ini dipicu oleh tulisan Soedjatmoko "Mengapa Konfrontasi". Tulisan ini sebagai pengantar pada edisi perdana majalah yang terbit dua bulan sekali, Konfrontasi, Juli-September 1954. Majalah Konfrontasi merupakan "kelanjutan" dari Pujangga Baru di bawah asuhan redaksi Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Kartamihardja, Beb Vuyk, dan Hazil Tansil.
Bersama dengan redaksi majalah Konfrontasi terdapat kelompok studi yang setiap bulannya mengadakan diskusi dengan meminta seorang dari anggota ditambah seorang dari luar untuk membahas suatu masalah secara bersama-sama. Apa yang dibahas dalam setiap diskusi terkait dengan persoalan yang berkembang dalam masyarakat yang kesimpulannya bisa bersifat pribadi atau menjadi pendirian bersama di antara peserta.
Tulisan Soedjatmoko yang memicu polemik dan perdebatan di kalangan budayawan dan intelektual pada pertengahan 1950-an dihasilkan dalam situasi seperti yang dikemukakan di atas. Apa yang ditulis Soedjatmoko dalam "Mengapa Konfrontasi" merupakan endapan dari pergulatan dan pergesekan pemikiran yang dihasilkan dalam Kelompok Diskusi Konfrontasi, minimal dari empat kali pertemuan atau diskusi.
Boejoeng Saleh Poeradisastra menjemput apa yang ditulis Soedjatmoko. Dengan tulisan Boejoeng itu, polemik pun bermula dan menjadi monumental serta berlangsung dalam tempo yang tidak singkat pada majalah di mana Soedjatmoko menjadi redaksinya; Majalah (Politik & Kebudayaan) Siasat, dari 29 Agustus 1954 sampai 9 Januari 1955.
Api penyulut dari polemik itu seputar pada pernyataan awal Soedjatmoko dalam "Mengapa Konfrontasi" bahwa terdapat krisis dalam kesusastraan Indonesia. Wacana mengenai krisis kesusastraan sebelumnya telah muncul dalam wacana intelektual Indonesia beberapa saat setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia didapatkan, awal 1950-an. Meskipun polemik di atas dianggap "berakhir" melalui tulisan "Paus Sastra" Indonesia, H. B. Jassin dalam tulisan "Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis" yang disampaikan pada Simposium Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 4 Desember 1954, akan tetapi bukan berarti bahwa polemik itu tenggelam dalam wacana intelektual selanjutnya. Dua bulan setelah tulisan terakhir Boejoeng—di majalah yang sama—Asrul Sani menulis "Salah Sangka Sekitar 'Krisis'", Siasat, 13 Maret 1955. Dua tahun kemudian—masih pada majalah yang sama—Pramoedya Ananta Toer menulis hal yang sama "Lesu; Kelesuan; Krisis; Impasse", Siasat, 1957.
Periode 1950-an sampai sekarang oleh kebanyakan manusia Indonesia dianggap sebagai "periode kegelapan" dalam sejarah Indonesia. Tentu ini penilaian yang gegabah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan (atau penilaian itu lebih bersifat ideologis). Inspirasi dari periode 1950-an antara lain terbukti dengan polemik ini. Polemik yang dibukukan ini merupakan (salah satu) sumbangan bagi perjalanan sejarah intelektual bangsa. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa ternyata ada suatu masa di mana perbenturan gagasan "'intellectual discourse" menjadi sesuatu yang menggairahkan dan konstruktif di antara sesama anak bangsa tanpa harus diselesaikan secara politis dan direduksi secara ideologis.
Sebagai naskah yang ditulis jauh di waktu lampau, aturan bahasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Penerbitan ini telah melewati "sensor bahasa" dari naskah aslinya, dengan menggunakan apa yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan. Sensor bahasa yang "terpaksa" dilakukan itu sedapat mungkin menghindari perubahan makna dari teks aslinya.
Demikian duduk soal dari naskah (dan penerbitan) buku ini. Selamat menikmati sebuah produk pemikiran yang pernah dihasilkan anak bangsa ini. Semoga penerbitan ini menjadi pemantik dan mampu memberikan inspirasi bagi ("krisis") dunia pemikiran Indonesia yang sampai kini mengalami kelumpuhan!
Editor: M. Nursam
Penerbit: Ombak, 2004
Tebal: 152 halaman
Kondisi: Bagus (stok lama)
Harga: Rp. 40.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312
Awalnya, polemik yang dibukukan ini dipicu oleh tulisan Soedjatmoko "Mengapa Konfrontasi". Tulisan ini sebagai pengantar pada edisi perdana majalah yang terbit dua bulan sekali, Konfrontasi, Juli-September 1954. Majalah Konfrontasi merupakan "kelanjutan" dari Pujangga Baru di bawah asuhan redaksi Sutan Takdir Alisjahbana, Achdiat Kartamihardja, Beb Vuyk, dan Hazil Tansil.
Bersama dengan redaksi majalah Konfrontasi terdapat kelompok studi yang setiap bulannya mengadakan diskusi dengan meminta seorang dari anggota ditambah seorang dari luar untuk membahas suatu masalah secara bersama-sama. Apa yang dibahas dalam setiap diskusi terkait dengan persoalan yang berkembang dalam masyarakat yang kesimpulannya bisa bersifat pribadi atau menjadi pendirian bersama di antara peserta.
Tulisan Soedjatmoko yang memicu polemik dan perdebatan di kalangan budayawan dan intelektual pada pertengahan 1950-an dihasilkan dalam situasi seperti yang dikemukakan di atas. Apa yang ditulis Soedjatmoko dalam "Mengapa Konfrontasi" merupakan endapan dari pergulatan dan pergesekan pemikiran yang dihasilkan dalam Kelompok Diskusi Konfrontasi, minimal dari empat kali pertemuan atau diskusi.
Boejoeng Saleh Poeradisastra menjemput apa yang ditulis Soedjatmoko. Dengan tulisan Boejoeng itu, polemik pun bermula dan menjadi monumental serta berlangsung dalam tempo yang tidak singkat pada majalah di mana Soedjatmoko menjadi redaksinya; Majalah (Politik & Kebudayaan) Siasat, dari 29 Agustus 1954 sampai 9 Januari 1955.
Api penyulut dari polemik itu seputar pada pernyataan awal Soedjatmoko dalam "Mengapa Konfrontasi" bahwa terdapat krisis dalam kesusastraan Indonesia. Wacana mengenai krisis kesusastraan sebelumnya telah muncul dalam wacana intelektual Indonesia beberapa saat setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia didapatkan, awal 1950-an. Meskipun polemik di atas dianggap "berakhir" melalui tulisan "Paus Sastra" Indonesia, H. B. Jassin dalam tulisan "Kesusastraan Indonesia Modern Tak Ada Krisis" yang disampaikan pada Simposium Dies Natalis Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada tanggal 4 Desember 1954, akan tetapi bukan berarti bahwa polemik itu tenggelam dalam wacana intelektual selanjutnya. Dua bulan setelah tulisan terakhir Boejoeng—di majalah yang sama—Asrul Sani menulis "Salah Sangka Sekitar 'Krisis'", Siasat, 13 Maret 1955. Dua tahun kemudian—masih pada majalah yang sama—Pramoedya Ananta Toer menulis hal yang sama "Lesu; Kelesuan; Krisis; Impasse", Siasat, 1957.
Periode 1950-an sampai sekarang oleh kebanyakan manusia Indonesia dianggap sebagai "periode kegelapan" dalam sejarah Indonesia. Tentu ini penilaian yang gegabah dan tidak bisa dipertanggungjawabkan (atau penilaian itu lebih bersifat ideologis). Inspirasi dari periode 1950-an antara lain terbukti dengan polemik ini. Polemik yang dibukukan ini merupakan (salah satu) sumbangan bagi perjalanan sejarah intelektual bangsa. Hal ini juga sekaligus membuktikan bahwa ternyata ada suatu masa di mana perbenturan gagasan "'intellectual discourse" menjadi sesuatu yang menggairahkan dan konstruktif di antara sesama anak bangsa tanpa harus diselesaikan secara politis dan direduksi secara ideologis.
Sebagai naskah yang ditulis jauh di waktu lampau, aturan bahasa mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Penerbitan ini telah melewati "sensor bahasa" dari naskah aslinya, dengan menggunakan apa yang dinamakan Ejaan Yang Disempurnakan. Sensor bahasa yang "terpaksa" dilakukan itu sedapat mungkin menghindari perubahan makna dari teks aslinya.
Demikian duduk soal dari naskah (dan penerbitan) buku ini. Selamat menikmati sebuah produk pemikiran yang pernah dihasilkan anak bangsa ini. Semoga penerbitan ini menjadi pemantik dan mampu memberikan inspirasi bagi ("krisis") dunia pemikiran Indonesia yang sampai kini mengalami kelumpuhan!