Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Pelajaran: Agar Semangka Tak Berdaun Sirih

Setiap Kamis pagi, Gede Surya dan saudara sepupunya, Windari, rutin mengikuti les di rumah Ni Ketut Sarni di kawasan Jalan Gunung Agung Puputan Baru, Denpasar, Bali. Siswa kelas IV SD 29 Pemecutan, Denpasar, itu belajar berbagai mata pelajaran sekolah, hingga siang sebelum masuk sekolah.

Seperti biasa, Ketut Sarni, 62 tahun, mantan kepala sekolah SD 29 Pemecutan, memberikan latihan soal. Ia memakai panduan buku Lembar Kegiatan Siswa (LKS) Tunjung Sari terbitan Tri Agung, Denpasar. Buku ini juga menjadi pegangan wajib di SD 29 Pemecutan, dan sebagian besar sekolah dasar di Bali. Sekolah-sekolah itu tak begitu peduli bahwa LKS Tunjung Sari tak masuk dalam daftar buku wajib sekolah dasar yang memenuhi standar Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas).

Penulis LKS Tunjung Sari adalah Kelompok Kerja Guru Provinsi Bali yang dinilai mumpuni. "Materinya bagus, jadi kami pakai," kata Lucia Prasti, Kepala SD II Santo Yoseph, salah satu sekolah favorit di Denpasar. Buku ini diterbitkan dalam beberapa mata pelajaran, seperti matematika, sains, ilmu pengetahuan sosial (IPS), puspitasari bahasa inggris, magiswara agama Hindu, dan widya sari bahasa Bali.

Menurut Lucia, selain memakai buku ini, siswa di sekolahnya juga menggunakan buku wajib sesuai standar Depdiknas. Misalnya, pelajaran matematika memakai terbitan Ganeca Exact Bandung, Grasindo, dan Erlangga. "LKS Tunjung Sari kami pakai supaya siswa memahami soal buatan guru-guru Bali," kata Lucia kepada I Gede Nyoman Wiryadinatha dari Gatra.

Depdiknas pun tidak melarang pemakaian buku yang belum terstandarisasi, sejauh sifatnya sebagai pelengkap. Namun, untuk buku utama, Depdiknas menganjurkan agar pendidik menggunakan buku wajib yang sudah lolos standar. "Standar buku SD ditetapkan untuk menjaga kualitas pengajaran bagi siswa," kata Rudi S. Iskandar, Kepala Sub-Direktorat Teknologi Perbukuan dari Pusat Perbukuan Depdiknas.

Standarisasi buku pelajaran ini dilakukan sejak 2003. Ketika itu, Depdiknas mempersilakan para penerbit mengirimkan bukunya untuk dinilai. Pengumumannya dilakukan lewat media masa. Sebagai langkah awal, standarisasi hanya untuk buku matematika. Sebanyak 109 ilmuwan menilai, buku-buku yang sengaja disembunyikan identitas penerbit dan penulisnya. Hasilnya, dari 29 buku yang masuk, cuma delapan yang lolos.

Pada 2004, seleksi dibuka lagi. Kali ini untuk buku pelajaran matematika, bahasa Indonesia, sains, dan IPS untuk sekolah dasar. Sebanyak 22 penerbit mengirimkan bukunya untuk pelajaran matematika, 36 penerbit untuk bahasa Indonesia, 25 penerbit untuk sains, dan 26 penerbit untuk IPS. Hasilnya, Depdiknas meloloskan 11 buku matematika, 25 buku bahasa Indonesia, 14 buku sains, dan 24 buku IPS (lihat tabel).

Seleksi dilakukan berdasarkan empat kriteria, yakni kecukupan materi, penyajian, tata bahasa, dan grafika. Menurut Rudi, penilaian materi terkait dengan kesesuaian kurikulum. Sedangkan penyajian dan tata bahasa dinilai berdasarkan kemudahan untuk dimengerti sesuai kemampuan siswa SD. Misalnya, penggunaan kalimat yang sederhana dengan besar huruf yang sesuai.

Beberapa buku, meskipun sepele, kerap memuat kesalahan hingga tak lolos seleksi. Misalnya, menampilkan gambar cicak dengan proporsi sama dengan kadal, atau pohon mangga tapi daunnya jambu. "Ini membingungkan, seperti lagu semangka berdaun sirih," gurau Rudi. Pihak sekolah, kata Rudi, tinggal memilih dan wajib memakai buku yang sudah lolos standar Depdiknas.

Namun, belum tentu buku yang tak terstadardisasi bukan buku berkualitas. "Mungkin karena penerbit tidak mengirimkan bukunya untuk diseleksi," katanya. Meski sudah mengeluarkan daftar buku standar, Depdiknas belum dapat menetapkan sanksi bagi sekolah yang tak memakai buku standar. Sanksi baru akan ditetapkan setelah peraturan presiden (perpres) soal ini terbit.

Sementara ini, Perpres Standar Buku itu masih ngendon di Sekertariat Negara. Munculnya perpres akan disusul dengan berdirinya Badan Standarisasi dan Evaluasi Pendidikan. Lembaga inilah yang akan mengatur standarisasi buku pelajaran. Antara lain, mewajibkan penerbit mencantumkan harga, masa berlaku buku sekurangnya lima tahun, dan melarang sekolah menjual buku kecuali melalui koperasi.

Praktek penjualan buku oleh sekolah, terutama untuk sekolah di daerah, disinyalir menjadi pintu masuk buku-buku non-standar. Penerbit, umumnya, mendekati guru atau kepala sekolah untuk memasarkan buku kepada siswa. Iming-imingnya menggiurkan. Mulai pemberian korting hingga 50%. "Sampai bonus mobil dan liburan bila memenuhi target penjualan," kata Dra. M. Ratnasih, Kepala SD Harapan II, Cimahi Tengah, Cimahi, Jawa Barat. Taktik ini, menurut Ratna, banyak dipraktekkan para penerbit.

Tapi bukan lantaran itu, bila sekolahnya masih memakai beberapa buku non-standar. Pemakaian buku non-standar disebabkan pemberitahuan dari Depdiknas datang belakangan setelah tahun ajaran baru dimulai. "Kami tak mau membebani siswa untuk membeli buku baru," kata Ratna kepada Joko Pambudi dari Gatra. Apalagi sekitar separuh dari 249 siswa sekolah berasal dari kalangan tak mampu. Meskipun Ratna akan mencoba memakai buku standar pada semester depan, namun tak bisa dilaksanakan serentak. Ia harus mempertimbangkan rendahnya daya beli siswa dan keterbatasan dana sekolah.

Alasan serupa juga diutarkan Slamet Riyadi, Kepala SD Negeri Babarsari, Maguwoharjo, Sleman, Yogyakarta. Meski telah memakai buku sesuai standar, sekolah ini belum bisa melaksanakan untuk semua mata pelajaran. "Murid di sini kebanyakan dari golongan tak mampu," kata Slamet kepada Tri Wahyu Cahyono dari Gatra. Demi menjaga kualitas, Slamet menyarankan kepada guru agar memberikan materi sesuai buku standar meskipun para murid tak memilikinya.

Cara ini jamak dipakai guru di sekolah lain. Namun, masih banyak guru-guru yang merasa lebih cocok mengajar dengan pegangan buku tak terstandar. Mereka setia dengan buku terbitan lokal. "Buku terbitan Bali lebih memuat kandungan lokal," kata Ni Ketut Sarni. Bagi murid seperti Gede Surya dan Windari, misalnya. Mereka merasa lebih mudah membayangkan Bandara Ngurah Rai, seperti dicontohkan dalam buku lokal, ketimbang airport Adisumarno di Solo, misalnya, yang ada dalam buku standar.

Sigit Indra dan Heni Kurniasih
Majalah Gatra edisi 14 / XI / 19 Februari 2005