Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku, Bahasa, dan Remaja

Suatu ketika, saat sedang asyik mengamati deretan buku yang terpajang di rak bertulis "Novel Remaja", seorang.bapak berusia setengah baya yang berdiri di sebelah saya, tiba-tiba saja menyapa saya dengan keluhan. Singkatnya, dia mengatakan bahwa dirinya merasa prihatin melihat kemampuan berbahasa anak-anak muda zaman sekarang. Selain itu, di matanya tampak betapa anak-anak muda tidak bisa menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kemudian, sebagai contoh, disodorkannya sebuah buku dengan sampul aneka warna. Saya membaca judul buku itu, Cerita Cinta, episode "Simfoni Biru", dengan pengarang Hilman dan Adra P. Daniel. Saya tak banyak memberi komentar atas keluhan yang disampaikannya. Saya terlalu kaget karena perbincangan tiba-tiba semacam itu tak sering saya alami. Meski tak banyak merespons, bukan berarti bagi saya pertemuan selintas itu tak bermakna apa-apa.

Buku, bahasa dan remaja. Tiga hal itulah yang tertinggal di benak saya setelah percakapan itu berlalu. Tentu saja ada keterkaitan di antara ketiganya, meskipun keterkaitan itu sering kali mewujud menjadi asumsi-asumsi yang justru dianggap sebagai "kenyataan". Bahwa buku —bisa jadi kita tidak bisa memasukkan komik dalam kategori ini— adalah sesuatu yang tidak diakrabi remaja, yang terlalu serius dan tidak menarik. (Saya jadi teringat bagaimana ketertarikan terhadap buku malah memunculkan julukan yang terasa menjadi beban bagi para remaja, "kutu buku". Anak muda yang dilekati julukan ini biasa digambarkan dengan sosok yang serius, berkaca mata tebal dan terasing dari pergauian teman-teman sebaya). Bahwa bahasa Indonesia (yang baik dan benar) adalah sesuatu yang begitu berjarak dengan remaja, yang hanya hadirdi ruang sekolah dan buku pelajaran, sementara dalam kehidupan sehari-hari mereka mempunyai bahasa sendiri yang mencampuradukkan dan membolak-balikkan hukum bahasa, Dari situ, muncul asumsi ketiga bahwa buku-buku yang ditulis untuk pasar remaja haruslah memakai bahasa yang tidak serius dan ringan. Jika di halaman pertama pembaca remaja mendapat kesan serius dari bahasa yang digunakan, siap-siap saja melihat buku itu langsung dikembalikan ke rak.

Dari Ali Topan sampai Si Lupus
Buku bacaan untuk remaja di Indonesia sampai sekarang ini masih didominasi oleh buku-buku fiksi. Tren menerbitkan buku fiksi untuk remaja mulai muncul pada awal-awal tahun 1970-an (meskipun pada saat itu istilah yang lazim digunakan adalah anak muda, yang tampaknya rentang usianya lebih luas dibandingkan remaja, mencakup hingga pertengahan usia dua puluhan. Sekarang ini, term remaja seolah menyempitkan pasar, membatasi rentang usia antara 15 sampai 19 tahun saja), ditandai dengan terbitnya novel-novel karya Ashadi Siregar seperti Cintaku di Kampus Biru atau Kugapai Cintamu, yang masih diingat sampai sekarang. Pada saat itu, Ashadi masih menggunakan gaya bahasa Indonesia yang baku, meskipun tidak mengurangi kesan bahasa yang komunikatif dari bukunya. Kemudian, seiring dengan popularitas bahasa prokem di kalangan anak-anak muda pada akhir tahun 1970-an, bacaan-bacaan yang ditujukan untuk pasar remaja, terutama novel, mulai mengadopsi gaya bahasa ini. Sebut saja misalnya novel Arjuna Mencari Cinta karya Yudhistira AN Massardi —yang selain menggunakan gaya bahasa prokem juga meminjann banyak kosakata bahasa Jawa, Ali Topan Anak Jalanan karya Teguh Esha— yang bahkan memberikan lampiran daflar istilah prokem, dan sebagainya. Lewat buku karya Teguh Esha itu pula istilah "bahasa prokem" mulai sering dipergunakan (Prathama Raharja dan Henri Chambert Loir, 1990). Penggunaan bahasa prokem dalam buku Tegus Esha ini bisa dimaklumi mengingat Ali Topan bercerita tentang kisah pergaulan Ali di kaiangan preman, sementara bahasa prokem itu sendiri awalnya merupakan bahasa sandi yang digunakan di kaiangan penjahat.

Babak baru novel remaja (saya kira, pada masa-masa itu pula istilah remaja mulai sering digunakan) dimulai ketika terbit karya dari Hilman Hariwijaya, yang menulis buku Lupus, sosok yang akhirnya menjadi ikon remaja sepanjang dekade 1990-an. Ia meraih sukses luar biasa di pasar, bukunya terjual hingga lebih dari 2,5 juta kopi hingga sekarang. Serial Lupus sendiri telah difilmkan hingga empat seri, sementara sinetronnya ditayangkan selama tiga periode (yang masing-masing periode masa tayangnya berkisar antara setengah sampai satu tahun).

Daiam hal bahasa, Lupus memang menawarkan nuansa yang cukup baru. Kalau pada generasi sebelumnya bahasa prokem lebih banyak digunakan untuk menunjuk percakapan dan kalimat-kalimat langsung, dalam Lupus kita bisa melihat bagaimana sepanjang novel itu, Hilman dengan enak menggunakan bahasa prokem bahasa Betawi bercampur dengan bahasa Inggris Bahkan Hilman sudah mulai menggunakan model-model plesetan (judul bukunya Kejarlah Daku Kau Kujitak, adalah plesetan dari judul film terkenal "Kejarlah Daku Kau Kutangkap", atau Interview with the Nyamuk merupakan plesetan dari judul film "Interview with the Vampire").
 
Tampaknya Hilman juga sangat pintar mengolah permainan bahasa Inggris-Indonesia menjadi satu istilah humor yang memancing senyum pembaca. "Ayam Sorry, Ayam Sorry. Mom! Ogut lagi busy sekalee!" Ayam Sorry tentu saja dimaksudkan sebagai I'm sorry (David Hill dan Krisna Sen, 1999). Gaya bahasa yang penuh humor dan santai inilah yang tampaknya menjadi kekuatan Hilman. Dalam serial Olga, ia banyak memasukkan kosakata Betawi lewat tokoh Somad, Coba kita simak satu perbincangan antara Somad dengan emaknya:

"Eh, Mad, tadi siang Nyak dapat arisan seprai. Nih, lo ganti den seprai lo. Perasaan nih seprai dari jamannya Sumpah Pemuda belon pernah diganti." 

Somad memandangi seprainya yang emang udah butek abis itu, lalu bergumam, "Ah, sayang, Nyak. Ni seprai biar buluk udah kelewat lengket sama aye. Die udah sering ngasih mimpi indah buat aye, Nyak. Aye kuatir kalo diganti ntar mimpi-mimpi indahnya pergi lagi."

Bahasa Betawi yang awalnya dianggap sebagai kampungan di kalangan remaja (Jakarta), diolah lagi oleh Hilman dan akhirnya justru menjadi bahasa yang popular dalam pergaulan remaja, bahkan di luar Jakarta, Saya ingat, bagaimana teman-teman SMU saya banyak menggunakan istilah lu, gue, aje, kagak, dan sebagainya, ketika ada tugas menulis cerita dalam pelajaran Bahasa Indonesia.

Sekarang ini, bahasa gaul ala Jakarta ini sudah merambah ke pelosok-pelosok daerah di Indonesia. Tokoh-tokoh seperti Lupus dan Olga tidak saja bisa ditemui di Jakarta tapi juga di Bandung, Yogyakarta, Semarang, Makassar, dan sebagainya. Apalagi ketika kemudian serial ini meraih sukses besar ketika diangkat ke layar lebar dan layar kaca, semakin tinggi kecenderungan anak-anak muda di daerah untuk menggunakan bahasa gaul ala Jakarta. Bukankah selama ini selalu ada anggapan bahwa apa yang dipakai, diucapkan, dan dilakukan oleh orang-orang Jakarta adalah "keren" sehingga cepat menyebar menjadi tren?

Menjual Humor, Memajang Romantisme
Kesuksesan Hilman masih bergema sampai tahun 2003 ini. Deretan rak "Novel Remaja" —tempat saya berbincang tadi— dipenuhi buku-buku karya beberapa pengarang yang sangat populerdi kalangan remaja. Yang paling banyak tentu saja karya Hilman. Hilman memenuhi satu deret rak tidak saja dengan buku Lupus, melainkan juga serial Olga, Lupus ABG, Lupus Milenia, Vanya, Cerita Cinta, dan beberapa judul lepas. Selain Hilman, ada pula beberapa karya dari A. Mahendra, Adra P. Daniel, Boim dan Gusur. Kelompok pertama ini, ditanribah nama-nama lain seperti termasuk deretan pengarang yang turut memanfaatkan formula "humor" dan gaya bahasa yang "santai dan ringan" ala Lupus untuk meraih sukses.

Seperti juga Hilman, mereka menggunakan permainan kata bahasa Inggris, Betawi dan Indonesia untuk menarik perhatian pembaca dan mempertahankan aspek humor. Kenneth Donelson (1980) yang menyatakan bahwa salah satu aspek penting yang harus diperhatikan ketika menulis buku untuk remaja adalah kemampuan penulis untuk memenuhi kebutuhan mereka untuk tertawa, baik menertawakan orang lain maupun menertawakan diri sendiri (Donelson via Safrina, 2003). Bagi remaja, humor menjadi salah satu cara yang tepat untuk menyampaikan kritik atas kondisi sosial, karena cara itu dianggap lebih aman (ketika disampaikan dengan cara yang serius, belum tentu pihak yang dikritik mau menanggapi karena pemikiran remaja sering dipandang sebelah mata).

Sementara, kelompok kedua, para pengarang seperti Zara Zettira, Arini Suryokusumo, atau Gus Tf. Sakai menghadirkan novel-novel cinta yang romantis, namun tidak kehilangan kesegaran dunia remaja. Berbeda dengan para pengarang dari kelompok pertama yang mengetengahkan humor sebagai kekuatan utama karyanya, para pengarang romantis ini lebih memperhatikan efek dramatis yang muncul dari pilihan kata dan alur cerita, meski kata-kata prokem masih sering juga digunakan.

Pengarang kelompok ini memahami bahwa cinta adalah dunia baru yang begitu menarik bagi remaja. Cinta adalah perasaan yang baru mereka selami, mulai mereka telanjangi. Banyak kata puitis yang tampak dari karya jenis ini. Kata-kata yang mengungkapkan rindu, sayang, dan melankolia mendalam. Novel jenis ini hampir mirip dengan film drama komedi (sering dianggap sebagai novel yang cocok dikonsumsi oleh perempuan). Salah satu contoh penggunaan bahasanya adalah petikan dari Warna Merah pada Cinta karya Zara Zettira. Jadi aku mau cinta yang putih. Bukan cinta yang merah, penuh romansa tapi juga problema. Seperti dalam novel dan film-film. Aku nggak mau cinta macam itu lagi,"

Kelompok berikutnya adalah penulis kisah-kisah petualangan seperti Gola Gong, Dian Bara dan Bubin Lantang. Kebanyakan tulisan mereka menceritakan kehidupan sehari-hari remaja lelaki yang keras dan penuh konflik (dari merekalah muncul tokoh si Roy, 'Ra, Kekes, dan Kori). Mereka tak hanya berbicara tentang hal-hal yang dialami remaja dalam kehidupan sehari-hari, tetapi juga menyentuh persoalan-persoalan sosial yang lebih luas, terutama tentang kesenjangan ekonomi, solidaritas sosial, kekuasaan lokal yang menindas, atau sistem pendidikan. Karena lebih banyak bercerita tentang kehidupan remaja laki-laki, bahasa yang digunakan memunculkan kesan "maskulin" (penuh metafor kekerasan, deskripsi perkeiahian, atau sikap lelaki yang distereotipkan cenderung rasional) dan serius.

Kelompok terakhir yang kehadirannya terasa marak belakangan ini adalah penulis dari kelompok Forum Lingkar Pena, seperti Pipiet Senja, Asma Nadia, atau Galang Lufityanto. Mereka awalnya muncul sebagai para kontributor kisah di majalah Annida, majalah remaja muslim. Dengan latar belakang yang demikian, wajar saja kalau kita melihat bagaimana nuansa religius yang kental dalam karya-karya mereka. Gaya bahasa yang digunakan tidak banyak berbeda dengan gaya yang digunakan oleh kelompok kedua. Sesekali, terselip juga ungkapan-ungkapan humor meskipun tidak disampaikan dengan vulgar (humor yang mengundang senyum, bukan memancing tawa). Selain itu, bahasa mereka cenderung persuasif (bahkan terkadang berkesan menggurui) dan mengandung kepentingan untuk memberikan kesadaran atau cara pandang baru kepada para pembacanya.

Bahasa sebagai Strategi
Para penulis yang tersebut di atas adalah generasi muda Indonesia yang lahir pada tahun-tahun 1970-an. Ketika mereka tumbuh dewasa dan mengenal bahasa, mereka dibiasakan menghadapi dalam propaganda negara untuk melakukan pembakuan bahasa Indonesia. Di sekolah mereka belajar untuk mempraktikkan bahasa Indonesia versi negara —yang cenderung melahirkan kesan formal dan kaku, sementara pada kenyataan hidup sehari-hari, ada bahasa lain yang lebih mereka akrabi untuk berkomunikasi dengan teman-teman sebaya. Bahasa yang justru menjadi bagian dari identitas remaja itu sendiri, yang selalu berubah dan memunculkan hal baru yang menarik, Dalam situasi seperti itu, mereka menyadari bahwa sulit bagi mereka untuk bisa menarik perhatian pembaca remaja jika mereka menggunakan bahasa yang berjarak dengan pembacanya. Bahasa "gaul" menjadi strategi yang ampuh bagi para penulis ini membuat remaja tetap bertahan membaca.

Penggunaan bahasa sebagai strategi juga terlihat pada pilihan atas gaya bahasa tertentu yang digunakan penulis untuk menggali hal-hal yang menarik perhatian remaja. Humor romantisme, identifikasi diri dengan lingkungan, atau petnjuk-petunjuk praktis untuk menghadapi konflik hidup, adalah hai-hal yang diperlukan remaja semasa rentang waktu yang penuh pilihan ini. Bahasa dalam buku remaja adalah hal yang dapat dipandang sebagai siasat dalam menyikapi persoalan mereka dengan hal-hal di luar bahasa.

Alia Swastika, Editor KUNCI Cultural Studies Center
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 11/2003