Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tentang Editing Buku Sastra

Ada fenomena menarik dalam penerbitan buku-buku sastra pada rentang awal milenium baru. Sejak awal 2001 yang lalu hingga kini gairah penerbitan buku-buku sastra dari pengarang dunia menggeliat di pasar buku Indonesia. Motor penggeraknya adalah karya-karya puisi Khalil Gibran. Lalu, ditengarai bahwa penerbitan karya-karya sastra klasik ini ternyata digagas oleh anak-anak muda yang oleh Kompas penerbitannya disebut penerbit rumahan. Mereka memang mendirikan penerbit dari rumah yang berada di gang-gang dan tidak tanggung-tanggung, yang diterjemahkan adalah karya pengarang besar dunia, seperti Shakespeare, Ernest Hemingway, dan banyak lagi. Namun, di balik itu muncul gugatan bahwa sebagian besar buku-buku tersebut diterjemahkan dengan sangat buruk dan kemungkinan tanpa disunting. Akibatnya, buku-buku tersebut tampak manis dalam sampulnya, tetapi amburadul di dalamnya.

Melihat hal ini pikiran pun melontar pada kondisi penerbitan buku-buku sastra yang mengandalkan editing seadanya. Saya ingat beberapa tahun silam. Suatu kali seorang mantan mahasiswa saya di Editing Unpad mendatangi saya, la bertanya tentang mekanisme menyunting puisi dan cerpen.

"Pak, apakah boleh saya menyunting kata-kata dan tanda baca dalam puisi sesuai EYD? Bagaimana pula menyunting cerpen, apakah harus disesuaikan dengan bahasa Indonesia baku dan EYD juga?"

Pertanyaan ini sepintas sepele, namun apa yang ternyata dilakukan oleh sang mahasiswa tersebut persoalannya menjadi tidak sepele. Ternyata ia lebih dulu telah menyunting bahasa puisi dari penyair —misalnya mengubah tapi menjadi tetapi, mengubah kerana menjadi karena, atau mengubah kata tuhan (dalam huruf kecil) menjadi Tuhan. Tentu saja dalam konteks karya sastra hal ini bisa berakibat fatal karena akan mengubah nilai rasa bahasa dan orisinalitas puisi tersebut.

Dengan demikian menyunting karya sastra sebenarnya akan sangat riskan jika penyunting yang diserahi tugas ternyata belum memahami hakikat karya sastra; termasuk juga bahasa sastra. Bisa jadi tanda-tanda baca yang terkadang mengandung makna tertentu di dalam puisi juga akan disunting sesuai dengan EYD. Begitupun penggunaan huruf kapital dan huruf kecil bisa pula menimbulkan salah kaprah —bukankah ada penyair kita yang menuliskan kata Tuhan dengan T kecil sebagai suatu simbol terhadap makna tertentu?

Sebenarnya ini cerita lama tentang dunia penerbitan sastra. Dunia penerbitan kita pada umumnya memang sangat lemah dalam hal penyuntingan, terlebih penyuntingan karya sastra.

Saya jadi teringat apa yang terlontar dari seorang Sapardi Djoko Damono dalam diskusi Sastrawan Bicara Mahasiswa Membaca (Republika, 30/9/00) tiga tahun lewat tentang lemahnya penyuntingan karya sastra. Hal ini memang kenyataan yang tidak bisa dipungkiri. Dan rasanya beberapa tahun yang falu juga sempat terdengar keluhan seorang NH Dini tentang naskahnya yang menjadi berantakan karena ketidakpiawaian penyuntingnya.

Langkanya Penyunting, Minimnya Pengetahuan
Penyebab rendahnya kualitas penyuntingan karya ataupun buku sastra mudah sekali untuk ditengarai. Pada kenyataannya di Indonesia, ilmu penerbitan (publishing science) —yang merupakan cabang dari ilmu komunikasi— praktis tidak begitu berkembang dan tidak begitu populer. Keberadaannya seolah tersisih dari ilmu lain, bahkan ilmu ini pun hanya diselenggarakan oleh dua PTN di Indonesia dan itu pun hanya setingkat D3 (Politeknik Negeri Jakarta Jurusan Penerbitan dan D3 Editing Sastra Unpad) —bandingkan dengan negara seperti AS dan Inggris yang telah menyelenggarakan pendidikan penerbitan setingkat S3. Dari dua PTN ini pun hanya Politeknik Negeri Jakarta (Jurusan Penerbitan) yang mencantumkan penyuntingan karya sastra dalam daftar mata kuliahnya. Di pihak lain, Editing Unpad yang jelas-jelas ada di Fakultas Sastra justru tidak mengadakan mata kuliah penyuntingan karya sastra.

Fenomena ini sedikit banyak berpengaruh terhadap kualitas penyuntingan buku-buku sastra. Para lulusan sastra tak serta merta bisa menyunting karya sastra karena menyunting termasuk gabungan antara seni menulis dan seni mengemas gagasan. Tidak semudah yang dibayangkan bagaimana seorang penyunting karya sastra menyusun antologi puisi, cerpen, ataupun drama.

Karena minimnya pendidikan penerbitan plus penyuntingan karya sastra, bisa diasumsikan bahwa penyunting yang bertebaran di Indonesia kini sebagian besar adalah para autodidak, Mereka hanya kebetulan "terjerumus" dalam dunia penerbitan dan menjadi penyunting atau editor (Anda bisa membaca kenyataan ini dalam buku Menjadi Penerbit terbitan Ikapi Jakarta, 2000). Namun, yang terjerumus ini terkadang juga bisa menjadi sangat ahli. Salah seorang autodidak yang sangat terkenal yang juga piawai menyunting naskah sastra adalah Pamusuk Eneste. Beliau berhasil karena beliau mencintai sastra sekaligus ilmu penyuntingan (editologi). Sampai kini beliau masih eksis sebagai penyunting karya sastra dan tampaknya kita sulit mencari generasi baru penerus pekerjaannya.

Sulitnya mencari penyunting yang andal saya alami betul di dunia penerbitan. Seorang lulusan S1 yang melamar kerja sebagai penyunting hampir pasti tidak mengetahui secara jelas apa tugas penyunting. Parahnya iagi mereka menganggap penyunting hanya sekadar pekerjaan membetulkan titik koma atau mengutak-atik bahasa. Jadi, bisa saja seorang penyunting buku sastra di sebuah penerbit hanya seorang lulusan S1 Sastra Indonesia yang sama sekali tidak memahami hakikat ilmu penyuntingan karya sastra. Akibatnya, ada batas-batas yang diianggarnya dalam etika penyuntingan dan ada hal-hal yang tidak dipahami dalam filosofi penyuntingan. Kalau sudah begini, jauh sekali mengharapkan akan berkualitasnya buku-buku terbitan penerbit Indonesia, terutama karya-karya sastra.

Mau tidak rnau, kenyataan ini bukan sekadar tanggung jawab penerbit buku untuk bisa mempekerjakan penyunting yang andal, melainkan juga tanggung jawab masyarakat dan kalangan pendidik. Tidak gampang untuk mencari seorang penyunting yang memiliki kemampuan multidimensi.

Ilmu penyuntingan hampir tak dikenal, bahkan dalam pengajaran di sekolah-sekolah kita. Jangankan mengajarkan ilmu penyuntingan (editologi), mengajarkan menulis dan mengarang saja yang merupakan karib dari penyuntingan, kita masih lemah. Seandainya keadaan ingin diubah lebih balk, berarti di setiap Fakultas Sastra minimal harus ada mata kuliah khusus penyuntingan karya sastra. Berarti lagi, di Indonesia sudah sangat mendesak diadakannya pendidikan tinggi ilmu penerbitan setingkat S1, bahkan S2. Tanpa hal ini sangat berat mengharapkan terbitnya buku-buku bermutu dari para penyunting yang autodidak. Hal ini karena bagaimanapun pengalaman dan pengetahuan mereka terbatas sehingga diperlukan beberapa tahun untuk memahami dan menerapkan editologi.

Uraian berikut bisa menjadi gambaran betapa sebenarnya penyuntingan, terutama penyuntingan karya sastra itu adalah pekerjaan berat yang menuntut keahlian khusus. Tidak semua orang dilahirkan menjadi penyunting dan terutama siap menjadi penyunting. Inilah pekerjaan yang berisiko menjenuhkan, merusakkan mata, menimbulkan rasa iri karena dirinya tidak pernah dipublikasikan, dan memungkinkan terputusnya silaturahmi dengan penulis atau pengarang karena sering berbeda pendapat.

Karya Sastra sebagai Naskah Khusus
Karya sastra dalam ilmu penerbitan digolongkan sebagai terbitan khusus dan unik (special publication). Karena itu, penanganannya pun harus khusus pula. Di antara hal khusus itu adalah perlakuan khusus terhadap bahasa sastra yang unik: perlakuan khusus terhadap penggunaan tanda baca, dan juga perlakuan khusus terhadap penggunaan istilah. Hal ini berhubungan dengan sifat karya sastra yang terkadang otonom, termasuk juga bahasanya otonom.

Interpretasi pengarang terhadap bahasa yang digunakannya mungkin berbeda dengan interpretasi umum. Karena sifatnya yang khusus, penyuntingan karya sastra pun menuntut keahlian khusus dan sensitivitas tinggi, Seorang penyunting karya sastra tidak hanya harus memastikan apakah penggunaan suatu istilah adalah disengaja atau tidak disengaja. Akan tetapi, ia juga harus mampu memastikan apakah istilah-istilah itu bisa diterima atau tidak dalam konteks tema karya tersebut. Penggunaan titik atau koma dalam puisi pada umumnya memiliki makna tertentu. Atau juga penggunaan istilah yang tidak baku, Kata catetan pada judul puisi Chatril Anwar, "Catetan Th. 1946" tentunya tidak bisa diubah seenaknya menjadi catatan. Begitupun ketika penyunting menemukan penggunaan kata yang sama, namun dengan dua penulisan yang berbeda (misalnya, kerana dan karena), editor tidak bisa menggantinya dengan serta merta menjadi bentuk yang baku. Dalam hal ini, editor harus mencari naskah autentik dari puisi tersebut atau mengkonfirmasikannya kepada pengarang.

Adalah suatu hal yang sulit untuk mengetahui berapa banyak penyuntingan yang harus dilakukan pada sebuah karya sastra. Mungkin saja nama besar pengarang turut menjadi pertimbangan untuk tidak melakukan penyuntingan berat. Namun, penyunting yang baik tentu tidak akan bersandar pada hal-hal seperti ini. Seorang pengarang dengan nama besar tak selamanya menghasilkan karya yang baik. Sebagai contoh, naskah Ernest Hemingway Man and The Sea telah mengalami penyuntingan berat sebelum akhirnya memperoleh hadiah Nobel. Karena itu, penyunting tetap harus memberlakukan penyuntingan sesuai dengan standar penanganan naskah, siapa pun pengarangnya. Hanya yang mungkin menjadi ganjalan, ada pengarang dengan nama besar merasa tak memerlukan penyunting untuk karyanya. Untuk pengarang model begini, penyunting perlu pintar-pintar menyikapinya.

Dalam penyuntingan sebuah karya, penyunting menghadapi posisi yang sulit. Di satu pihak ia harus menyunting naskah tersebut dengan benar-benar menerapkan prinsip-prinsip editologi dan di pihak lain ia harus bisa mempertanggungjawabkan apa-apa yang telah diubah atau diperbaikinya dari naskah tersebut. Dengan kata lain, ia perlu menyiapkan 'amunisi' sebelum melakukan perubahan pada naskah agar mampu menghadapi protes pengarang. Namun, hal ini bukan berarti harus mencari-cari alasan untuk suatu perubahan. Di sinilah penyunting dituntut memiliki wawasan, terutama wawasan kesusastraan yang tinggi.

Apa yang perlu dipahami oleh penyunting dan merupakan etika dalam penyuntingan adalah tidak berhaknya penyunting mengubah gaya bahasa pengarang. Biar bagaimanapun gaya pengarang harus tetap dipertahankan oleh penyunting sehingga pembaca yang telah mengenal sang pengarang tetap dapat merasakan ciri khas sebuah karya sastra.

Terkadang seorang pengarang yang sadar akan keterbatasannya di bidang kebahasaan akan sangat berterima kasih kepada penyunting. Namun, penyunting perlu berhati-hati terhadap pengarang yang memang benar-benar memahami tata bahasa, sekaligus memahami pula bahasa sastra. Permainan ataupun perubahan bahasa yang dilakukannya mungkin mengandung makna tertentu yang harus dipertahankan. Karena itu jika penyunting membetulkan bahasa seperti ini tanpa konsultasi lebih dulu bisa dipastikan sang pengarang akan marah besar, seperti halnya NH Dini.

Dalam bukunya Buku Pintar Penyuntingan Naskah, Pamusuk Eneste memberikan sebuah contoh kasus menarik. Novel —sekali lagi— NH Dini yang berjudul Padang ilalang di Belakang Rumah (Gramedia, 1987) menggunakan tiga variasi kata sekaligus, yaitu kue, kuih, dan kueh. Seorang penyunting yang tidak memahami bahasa sastra mungkin beranggapan bahwa naskah ini salah ketik atau tidak konsisten sehingga kata kuih dan kueh harus dibetulkan. Tentu saja anggapan ini keliru karena dalam karya sastra mungkin saja ketiga kata tersebut memiliki makna atau nilai rasa yang berbeda sesuai dengan konteksnya. Untuk hal-hal semacam ini adalah bijak jika penyunting mengkonfirmasikannya ke pengarang yang bersangkutan sebelum mengambil keputusan untuk mengubah.

Penyuntingan tidaklah sesederhana hanya menyunting bahasa, melainkan banyak hal-hal penting di luar kebahasaan yang patut diperhatikan dengan saksama. Penyuntingan karya sastra (khususnya cerpen, novel, drama) juga menyangkut hal-hai lain yang perlu disunting, seperti plot, penokohan, perwatakan, latar, ataupun tema karya sastra itu sendiri. Misalnya, dalam hal penokohan, seorang pengarang akan menampilkan tokoh rekaan yang didasarkannya pada tokoh dalam dunia nyata, tetapi pada suatu ketika pengarang pun akan menempatkan tokoh yang benar-benar ada di dunia nyata dengan nama yang persis sama. Dalam penempatan tokoh dari dunia nyata ini, penyunting perlu meneliti biografi sang tokoh, dari mulai watak, tempat tinggalnya, asal daerahnya, dan hal lainnya sehingga benar-benar relevan dengan apa yang ditulis dalam naskah. Dan khusus untuk karya yang mungkin menampilkan tokoh-tokoh begitu banyak dengan karakter yang berbeda, dianjurkan sang penyunting menggambarkan pohon silsilah tokoh untuk menghindarkan tertukarnya karakter ataupun nama tokoh dalam cerita.

Masalah-masalah Khusus
Seorang penyunting karya sastra perlu tanggap dan siaga terhadap hal-hal yang menyangkut keselamatan (safety). Penyunting harus memastikan bahwa semua bahan dalam karya sastra tersebut adalah autentik dan merupakan ide orisinal dari pengarangnya. Yang dihindarkan tentu saja adanya kutipan-kutipan yang melanggar hak cipta atau unsur-unsur plagiat, hal-hal menyangkut pornografi, penghinaan terhadap orang/agama (ingat kasus Satanic Verse!), dan termuatnya kasus SARA.

Pada masa ORBA, karya sastra termasuk buku-buku yang dicurigai plus ditakuti secara berlebihan oleh pemerintah. Pengarang yang selalu "diabaikan" oleh penerbit Indonesia salah satunya adalah Pramoedya Ananta Toer. Karya sastranya dianggap berbahaya sehingga dilarang terbit. Begitupun dengan sajak-sajak Rendra, beberapanya pernah dilarang terbit di sini.

Namun, keadaan kini telah berubah jauh. Novel Pramoedya akhirnya bisa terbit dan dijual bebas, Begitupun sajak-sajak yang berisi kritik pedas terhadap pemerintah, seperti sajak Rendra, bebas dipublikasikan. Walaupun demikian, tetap ada hal-hal sensitif yang harus diperhatikan penyunting dalam menangani karya sastra seperti yang telah disebutkan sebelumnya.

Hal lain yang perlu diperhatikan juga menyangkut peristiwa atau tokoh dalam karya sastra yang mungkin seakan benar-benar ada. Atau karya itu menggambarkan tempat, tokoh, dan kejadian yang benar-benar terjadi. Mengenai hal ini, penyunting perlu berkcnsultasi dengan pengarang untuk menghindari risiko diprotesnya karya tersebut. Kasus pemrotesan terhadap karya sastra karena dianggap tidak sesuai dengan kenyataan pernah terjadi pada novel trilogi Ronggeng Dukuh Paruk. Novel ini memaparkan satu tradisi ronggeng yaitu bukak klambu, Ahmad tohari, pengarang novel ini menggambarkan bahwa tradisi ini adalah penyerahan keperawanan seorang gadis yang baru dinobatkan menjadi ronggeng kepada siapa yang mampu membayarnya lebih tinggi. Tradisi bukak klambu dalam novel ini digugat oleh masyarakat tempat berkembangnya tradisi ronggeng tersebut. Tokoh masyarakat setempat menyatakan bahwa tradisi itu tidak pernah ada dalam ronggeng dan menganggap Tohari hanya mengada-ada. ini memperlihatkan bahwa terkadang masyarakat juga mengaitkan sastra yang tergolong imajinatif harus dekat pula dengan kenyataan sebenarnya. Padahal, dalam sastra tentu bisa saja muncul imajinasi yangtak pernah ada.

Kasus seperti ini jelas memerlukan perhatian penyunting. Hal-hal yang menyangkut budaya dari satu masyarakat yang memang benar-benar ada perlu diteliti kebenarannya. Yang jelas karya sastra bukan sekadar karya fiksi (khayalan) belaka, tetapi ada kalanya karya itu akan bersentuhan dengan dunia nyata atau didasarkan dari kisah nyata. Mungkin akan teramat sulit jika seorang penyunting harus berhadapan dengan karya sastra yang justru didasarkan pada kisah sejarah, misalnya Surapati atau Ken Arok. Sang penyunting di satu sisi harus mempertahankan karya tersebut sebagai karya sastra: dan di sisi lain juga harus menguji kebenaran karya tersebut dengan fakta sebenarnya. Batas antara khayalan dan kenyataan menjadi tipis sekali.

Tanpa Tanda Jasa
Seorang penyunting memang menghadapi tugas begitu berat, di samping juga ia harus menanggung cercaan yang hebat jika berbuat teledor. Karena itu, penyunting bukan sebuah profesi yang gampang bagi orang yang tidak memahaminya. Seorang penyunting karya sastra menurut Elizabeth Flann dan Beryl Hill dalam The Australian Editing Handbook adalah keturunan yang sangat istimewa. Mereka mengeluarkan keputusan tanpa cela, memiliki keahlian dan kebijaksanaan luar biasa, memiliki ingatan sempurna untuk hal-hal yang sepele; mampu menyimpan beberapa tema dan subtema dalam benak mereka pada satu saat, dan juga memiliki stamina yang cukup jika saja menerima telepon pada tengah malam dari pengarang yang marah besar karena titik koma pada naskahnya dihapus.

Dengan kriteria seperti itu berat memang untuk menemukan seorang penyunting karya sastra seperti yang diinginkan Sapardi ataupun NH Dini. Selain memang ilmunya sendiri tidak populer dan jarang diajarkan di Indonesia, posisi penyunting pun sering menjadi tidak mengenakkan. Bayangkan, dalam peluncuran sebuah karya, nama penyunting hampir pasti tak pernah disebut sekalipun, apalagi jika karya itu sukses luar biasa, Kebalikannya, ia akan menjadi sumber cercaan jika ternyata karya itu mengandung banyak kesalahan atau gagal di pasaran. Namun, terlepas dari semua itu, penyunting yang andal tetap harus dilahirkan di Indonesia ini jika kita memang menginginkan terbitnya karya-karya sastra yang bermutu di Indonesia. Tentunya kita tidak berharap bahwa karya sastra yang telah beredar di masyarakat justru menyimpang dari karya aslinya karena disunting oleh orang yang tidak paham sastra seperti yang dilakukan oleh mahasiswa saya tadi.

Bambang Trimarisyah, alumnus Editing Unpad, praktisi penerbitan dan konsultan perbukuan.
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 7/ Februari 2003