Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rujukan Karangan Lain dalam Sebuah Karangan

Dalam Widyadhana, "Kenang-kenangan 70 tahun Prof. Dr. Hj. Partini Sardjono Pr" (Undang A. Darsa, ed. 2002). Ajip Rosidi menulis "Sedikit catatan ilmiah tentang penulisan karya ilmiah" (21-28). Rujukan, reference, begitu sudah cukup untuk informasi dalam teks. Kadang cukup hanya Widyadhana (Undang A. Darsa, ed. 2002) bila pertama kali disebut —selanjutnya cukup Darsa. Terutama untuk artikel pendek setengah ilmiah, Tapi pada rujukan akhir tulisan perlu ada "Bandung, Manassa", Atau dilengkapi dengan "cabang Bandung (Jawa Barat)" pada Manassa. Keharusan rujukan di akhir karangan berlaku untuk artikel ilmiah biarpun pendek—kemestian pada fisika karena artikel tanpa rujukan dianggap tak ilmiah. Ajip bicara tentang kebiasaan penulisan rujukan dalam tulisan ilmiah, hal yang biasa kurang kita perhatikan. Tapi sebelum masuk kepada materi yang disinggung Ajip, saya menyimpang dulu kepada persoalan lain, tapi tetap bagian integral dari pembicaraan ini.

Buku ilmiah yang pertama kali saya baca ialah buku rujukan kuliah dari tradisi Belanda —sampai kepada kita melalui Belanda. Daftar isi di belakang. Judul karangan yang dirujuk ada pada catatan kaki —karena itu informasinya bisa lengkap. Yang dirujuk berulang kali dirujuk dengan cara tertentu —karena tak pernah menggunakannya saya lupa istilahnya. Ia dilengkapi dengan "bibliografi" yang bisa juga memuat judul yang tak dirujuk dalam teks tapi menurut penulis digunakannya untuk menulis, meskipun ada yang menggunakannya untuk menonjolkan keluasan pembacaan. Tapi bacaan ilmiah dari Amerika membawa saya ke dunia lain.

Daftar isi di depan, Dan references "rujukan" pada bagian akhir terbatas kepada karangan yang dirujuk dalam teks —kata yang biasa digunakan references "rujukan" dan bukan bibliografi. Yang tak dirujuk dalam teks meskipun membantu penulis menyiapkan karangan, tidak ada dalam rujukan. Orang bisa mencek relevansi karangan yang drujuk dengan melihat ada atau tidak kaitannya dengan materi karangan. Perujukan buku disertai nomor halaman - ini bukan kemestian bila yang dirujuk artikel. Karangan tidak dirujuk pada cataian kaki, tapi dalam teks —catatan kaki untuk informasi tamb han. Karena itu kelancaran pembacaan seakan terganggu —kalimat terasa terputus. Tapi terlepas dari kelemahan ini, akhirnya sistem ini terasa lebih popoler ketimbang yang warisan Belanda —mungkin karena kebanyakan sarjana kita kini hasil didikan Amerika sedang Belanda sendiri menyesuaikan diri dengan sistem Amerika. Tapi ia tidak dilaksanakan utuh. Terutama dalam bacaan umum. Dalam surat kabar, karangan saya hanya dirujuk (Umar Junus: 1990). Dan karena pada akhir karangan tidak ada rujukan, informasi tentangnya terbatas kepada nama saya dan tahun. Gejala ini mulanya saya lihat hanya ada dalam bacaan umum, tidak dalam karangan ilmiah. Ini saya rasa juga dugaan Ajip yang mendorong ia menutis artikel tadi, Tapi ternyata juga ditemui dalam buku yang memuat artikel Ajip itu. Pada artikel yang langsung sesudah artiketlAjip itu ada "(Bruinessen, 1999: 223)" tanpa ada rujukan pada akhir artikel -suatu ironi. Apa yang dianggap tak ilmiah oleh artikel Ajip muncul pada artikel ilmiah yang langsung sesudah artikelnya.

Di samping mempersoalkan sistem rujukan, Ajip juga mempersoalkan cara nama dirujuk. Secara Barat nama saya dirujuk "Junus, Umar" —Indonesia cenderung mengikuti tradisi ini. Tapi ini ada yang mempertanyakan karena "Junus" bukan nama keluarga, tapi nama bapak. Menurut tradisi Malaysia, sebelum "Junus" ada "bin" —saya dalam rujukan di Malaysia ialah "Umar Junus". Menyangkut nama saya tidak ada persoalan. Secara tidak Barat ia bisa dirujuk "Umar Junus". Tapi ada persoalan tentang "A.A. Navis". Secara Barat, ia dirujuk "Navis, A.A.". Tapi ini akan dipersoalkan karena "Navis" nama bapak —pada adik A.A. Navis muncul sebagal "Navis", bukan nama keluarga, dan "A.A" ialah "Ali Akbar" —fungsinya sama dengan "Umar". Berdasarkan hal ini, ia mesti didaftarkan di bawah "Ali Akbar" atau "A.A." —ini memang dilakukan Pamusuk Eneste dalam Buku Pintar Sastra Indonesia (Jakarta, Kompas, 2001). Tapi ini meragukan, orang lebih kenal "Navis" —hanya yang dekat kepadanya yang tahu "A.A." Ali Akbar. Juga di Padang orang hanya kenal "Navis". Karena itu sia-sia merujuknya dengan "A.A". Hal ini berlaku juga untuk banyak pengarang Malaysia yang namanya diawali dengan initial M (=Muhammad) atau A (= Abdul). Meskipun orang tahu "A" pada "A. Samad Said" adaiah "Abdul", namun "Abdul" tak bicara apa-apa. Orang baru paham bila yang ada "Samad". Dan tambah paham bila yang ada "Samad Said". Karena itu saya biasa merujuk "A. Samad Said" sebagai "Samad Said, A". Namun ini juga bukan tanpa persoalan. 

Rujukan di Barat berdasarkan nama keluarga. Mochtar Lubis dirujuk di bawah "Lubis". Pada kita, terutama di Malaysia, ia didasarkan "nama sendiri yang terasa intim", Atau oleh kebiasaan sehari-hari. Mochtar Lubis dirujuk "Mochtar" karena ia dipanggil kawan-kawannya "Mochtar"'. Orang akan kacau bila dalam pergaulan ia tiba-tiba dirujuk "Lubis". Pada rujukan ilmiah, saya akan cepat mengaitkan "Damono" dengan "Sapardi Djoko Damono". Lain halnya dalam pergaulan. Bila Shannon Ahmad dalam pergaulan menyebut "Damono", saya berpikir dulu sebelum nama itu bisa saya kaitkan dengan "Sapardi Djoko Damono". Jadi, ada perbedaan hakikat antara nama pada rujukan dan dalam pergaulan. ini juga beriaku di Barat. Nama untuk rujukan nama keluarga dan ini lain dari nama dalam pergaulan. Dalam rujukan Ajip Rosidi adalah "Rosidi, Ajip" atau "Ajip Rosidi". Tapi di luarnya hanya "Ajip" dan ini memang terlihat daiam teks ini. Terutama untuk menunjukkan keintiman. Dengan begitu, A. Teeuw, mesti didaftarkan sebagai "Teeuw, A" dan bukan "A. Teeuw".

Saya setuju sistem rujukan Barat "memperkosa" sistem keluarga kita. Nama bapak jadi nama kita. Saya kaget bila pertama kali dalam pergaulan di Jakarta, saya dipanggii "Junus" atau "Yunus". Namun lambat laun jadi biasa. Sesuai hakikat ini tak ada salahnya kite adopsi sistem Barat untuk sistem perujukan. Dan saya sampai kepada.kesimpulan ini berdasarkan pemikiran berikut.

Tidak ada persoalan merujuk nama saya dengan sistem tak Barat. Lain halnya dengan A. Samad Said. Sukar didaftarkan di bawah "A" karena "A" hanya inisial. Ia bisa didaftarkan di bawah "Samad", tapi ini menyebabkan "Abdul Samad" terpotong dan "Samad" menyatu dengan "Said" yang nama bapak. "A.A. Navis" tak bisa didaftarkan di bawah "A.A." karena "A.A." hanya inisial. Namanya mesti didaftarkan di bawah "Navis" yang sesuai sistem Barat. Persoalan makin ruwet berhadapan dengan nama orang Minang yang di belakangnya ada "gelar".

Dalam Modem Indonesian Literature, Teeuw (Leiden, Nijhoff, 1967) di bawah P ada Pamuntjak n.S., A. Sutan" (280). Kecuali perubahan /oe/ jadi /u/ ini sesuai dengan yang ada pada Pertemoean (Jakarta, BR 1927), yaitu A. Soetan Pamoentjak n.S. yang untuk bibliografi diubah Teeuw jadi "Pamuntjak n.S., A. Sutan". Dan pada Hikayat Hang Tuah, Analisa Struktur dan Fungsi. Sulastin Sutrisno (Yogyakarta, UGM Press, 1983) ada "Abas Dt. Pamuntjak nan Sati" (385), sesuai yang ada pada Hikayat Hang Tuah (Jakarta, Gunung Agung. 1960) —saya abaikan informasi Pamusuk Eneste pada Bibliografi Sastra Indonesia (Magelang, IndonesiaTera, 2000: 48) dan Buku Pintar Sastra Indonesia (3). Dengan percaya kedua nama itu merujuk orang yang sama, berarti satu orang dirujuk dengan dua cara berbeda. Kita tak bisa mempersalahkan Teeuw. Ia, sama dengan Sulastin atau Sutrisno, merujuk nama "Melayu" dengan nama pertama. "Nur Sutan Iskandar" ia rujuk di bawah "N" (279). Tapi karena pada Pertemoean ada "A. Soetan, Pamoentjak n.S.", Teeuw hanya punya dua pilihan; "Pamoentjak n.S., A. Soetan" atau "Soetan Pamoentjak n.S., A". Teeuw memilih yang pertama: Pamoentjak lebih distinktif dari Soetan —banyak gelar orang Minang diawali dengan Soetan. Dan cara ini tetap bisa dipakai biarpun kemudian ada "A. Dt. Pamuntjak nan Sati". Teeuw tak bisa menjadikan "A" Abas. Sulastin atau Sutrisno hanya berhadapan dengan "Abas Dt, Pamuntjak nan Sati" dan ini bisa terjadi karena buku itu dalam huruf Arab yang kurang menolerir inisial.

Persoalan perujukan nama cukup ruwet. Ranjau yang ada pada tradisi tak Barat memaksa saya mengambil tradisi Barat saja. Tapi ini suara minoritas. Perujukan penting pada karya ilmiah. Melaluinya kita tahu pembacaan pengarang. Bacaan yang terbatas kepada bahan lama menyarankan ia tak mengikuti perkembangan ilmu. Kita juga bisa tiba kepada kesimpulan yang sama bila bacaannya terbatas kepada buku-buku. Paling kurang ia bisa kita anggap tak mengikuti pergolakan dunia ilmu yang biasanya menonjol pada artikel di majalah ilmiah, yang proses penyiapan terbitnya lebih cepat dari proses penyiapan penerbitan buku. Ini sesuai ucapan profesor saya di Universitas Indonesia tahun 50-an: kehidupan ilmu ada dalam majalah, bukan dalam buku. Ada dua dugaan mengapa Teeuw hanya menyebut "A. Sutan Pamuncak n.S.". Mungkin tidak tahu "A, Sutan Pamuncak n.S." sama dengan "Abas Dt. Pamuncak nan Sati". Atau hanya alasan bibliografi. Karena membatasi diri kepada Pertemuan, maka yang ada hanya "A. Sutan Pamuncak n.S.".
Umar Junus, pengajar di salah satu universes di Malavsia.
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 7/ Februari 2003