Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Paulo Coelho: Novelis yang Menyihir Dunia

Empat jam tak cukup untuk Sang Alkemis, karya Paulo Coelho. Sekitar 150 orang yang menyesaki Istana Ballroom, Hotel Sari Pan Pacific, Jakarta, di penghujung September lalu, memaksa panitia memperpanjang acara hingga satu jam lebih. Solusi Business Club dan SmartFM yang merancang seminar bertajuk "Sang Alkemis, membangun legenda pribadi dan menemukan harta karun" itu pun tak kuasa menolak.

"Karena banyak yang masih penasaran, dibuka satu sesi tanya-jawab lagi," kata Jansen H. Sinamo, seorang pembicara seminar. Acara itu memang ramai diikuti sejumlah profesional, kepala sekolah, dan mahasiswa. Uniknya, tak semua sudah membaca novel Sang Alkemis karya Coelho itu. Begitu acara usai, beberapa hadirin terlihat mengepung tumpukan buku Sang Alkemis dan berebut membeli.

Menurut Jansen, 47 tahun, master training dari Institut Darma Mahardika, Jakarta, kebanyakan peserta seminar mengenal Sang Alkemis dari internet dan koran, serta belum membacanya secara langsung. Toh, diskusi bisa berkembang karena banyak peserta sudah akrab dengan karya Coelho. "Tak bisa dimungkiri, komunitas penggemar Coelho sudah terbentuk," kata Jansen.

Novel Sang Alkemis memang makin moncer. Apalagi setelah artis Julia Robert dan mantan Presiden Amerika Serikat Bill Clinton ikut mempromosikannya. Keduanya menilai Sang Alkemis bakal menjadi karya klasik. Sebab, kendati novel itu hadir di era modern, materi dan isinya menggugah kesadaran universal.

Sang Alkemis berkisah tentang pengembaraan Santiago, anak gembala asal Andalusia, Spanyol, mencari harta karun. Ia pergi ke Tangier, kota pelabuhan di Afrika, melintasi padang gurun Mesir. Sesampai di Tangier, ia bekerja di toko kristal. Di sana ia menimba banyak pelajaran dari pemilik toko yang belum sempat mewujudkan mimpi dan keinginannya. Motivasi Santiago untuk mencari tujuan hidupnya pun makin kuat.

Ketika bekal dirasa cukup, Santiago melanjutkan perjalanan. Melalui petunjuk pria Inggris yang seumur hidup mengembara mencari Sang Alkemis, Santiago akhirnya berjumpa dengan Sang Alkemis di oasis Al-Fayoum. Mereka pun terlibat dialog sarat makna. Meminjam mulut Sang Alkemis, Coelho menuangkan gagasan bahwa hidup manusia bukan semata keletihan perjalanan tubuh, melainkan juga pengembaraan spiritual.

Setiap orang, menurut Coelho, mestinya menjadi orang besar di mata dirinya dan lingkungannya. Legenda pribadi tak hanya menjadi milik penentu sejarah, karena setiap pribadi berhak menuliskan biografi hidup dan tujuan hidupnya. Novel ini tambah menarik karena jauh dari kesan menggurui. Keahlian Coelho meracik mitos, dogeng, legenda, dan berbagai kisah kitab-kitab suci menyebabkan novelnya digemari.

Kelebihan Coelho, menurut Tia Ayu Puspitarini, aktivis Lenting, sebuah LSM lingkungan yang bermarkas di Bogor, terletak pada isi novelnya yang mampu menjembatani pembaca lintas agama. "Coelho juga menyadarkan kita bahwa walau beda, tetap satu tujuannya," katanya kepada Diah Ayu dari Gatra. Selain itu, karya Coelho juga memuat hal-hal sangat sederhana yang sering dilalaikan orang banyak.

Membaca karya Coelho, menurut Tia, seperti menemukan oasis dan menemukan jati diri. Di tengah arus besar gelombang sekularisme, novelnya menjadi makin berharga. "Hidup ini tak hanya logika dan rasionalitas, masih ada yang lebih berharga, yakni spiritualitas," katanya. Kesimpulan itu didapat Tia usai membaca karya Caelho, seperti Veronika Memutuskan untuk Mati serta Di Tepi Sungai Pedra Aku Duduk dan Tersedu.

Tia bercerita bahwa novel-novel Coelho memang multitafsir. Seperti bahan perenungan, setiap pribadi bisa menangkap nuansa yang berbeda. Hal itu Tia alami ketika mengulas karya Coelho di Klub Taman Kencana, sebuah komunitas penggemar buku yang rutin mengelar diskusi setiap Rabu sore. "Beberapa karya Coelho sempat mampir menjadi topik obrolan," ujarnya.

Pengalaman Tia juga dialami Anton Widiyanto Putra, 29 tahun, cerpenis dan pemilik percetakan yang tinggal di Solo, Jawa Tengah. "Buku terjemahan karya Coelho pernah dibahas Komunitas Sketsa Kata," katanya. Komunitas yang beranggotakan penulis muda Solo itu setiap dua minggu rutin mendiskusikan perkembangan sastra Tanah Air dan dunia.

Anton jatuh hati pada karya-karya Coelho, karena pesan yang dibawanya khas dan mudah dicerna. "Pesan spiritualitas yang ingin disampaikan bukan hanya untuk satu golongan, melainkan untuk semua orang," ujarnya. Anton mengenal karya Coelho sejak 1998 melalui The Alchemist. Kini hampir semua karya Coelho sudah ia baca. "Hanya The Fifth Mountain dan The Zahir yang belum sempat saya baca," katanya.

Kesan mendalam atas karya Coelho juga dirasakan Abu Amiroh, 29 tahun, warga Medan. Bapak satu anak ini membeli Sang Alkemis karena tertarik oleh testimoni sejumlah tokoh di sampul belakang buku itu. "Bahasanya indah dan isinya memuat perenungan mendalam," tuturnya. Lagi pula, apa yang diungkap Coelho, menurut Amiroh, sejatinya sesuai dengan ajaran Islam.

"Tuhan itu ada sangat dekat dengan kita. Kitalah yang sering lupa dan lalai dari-Nya," kata Amiroh. Ia pun menyitir sebuah hadis yang menyatakan, Allah itu lebih dekat dari urat leher kita sendiri. Hal serupa, tambah Amiroh, diungkap Coelho di Sang Alkemis.

Disanjung Sekaligus Ditentang
Paulo Coelho bak sihir bagi jutaan penggemarnya. Kehadirannya telah "menghipnotis" ribuan orang sehingga rela antre berjam-jam untuk mendapatkan tanda tangannya. Hal itu terjadi di Perpustakaan Kretzulescu, Bukarest, Rumania, Sabtu dua pekan lalu, saat peluncuran The Zahir, novel teranyar Coelho. Dengan sabar, selama hampir empat jam tanpa jeda, Coelho meneken ribuan buku yang disodorkan para pemuja karya-karyanya.

Sejak muncul April lalu, The Zahir telah dicetak lebih dari 8 juta eksemplar dan dipasarkan di 101 negara. Novel ini berkisah tentang pencarian seorang suami yang istrinya tiba-tiba menghilang tanpa meninggalkan jejak. Selanjutnya dikisahkan bagaimana pencarian atas sosok istrinya yang hilang berubah menjadi sebuah perjalanan mempertanyakan eksistensi dan jati diri.

Novel ini menarik karena narasinya yang sederhana dan bahasanya yang lugas. Zahir dalam bahasa Arab artinya "hadir secara lahiriah". Namun sukses penjualan The Zahir di berbagai negara tak diikuti oleh pasar Iran. Pertengahan Mei lalu, menurut AFP, dalam pameran buku tahunan Teheran, novel itu dilarang pemerintah.

"Buku itu dilarang meskipun kami telah melewati prosedur normal untuk mendapatkan izin dari pemerintah untuk diterbitkan," kata Coelho, seperti disampaikan Flammarion, penerbit karya-karya Coelho di Prancis. Menurut Arash Hejazi, penerbit yang memegang hak cipta buku Coelho di Iran, aparat intelijen menyatroni stannya dan menyita 1.000 kopi novel yang masih tersisa.

"Namun 2.000 eksemplar telanjut dibeli orang," ungkap Arash Hejazi kepada Gatra lewat e-mail yang diprasaranai Flammarion. Menurut Arash, tampaknya Kementerian Kebudayaan dihinggapi ketakutan berlebihan melihat popularitas Coelho di mata rakyat yang terus meningkat.

Popularitas Coelho memang sulit dimungkiri. Kini 10 novelnya telah diterjemahkan dalam 60 bahasa dan mencatat penjualan hingga 65 juta eksemplar. Di beberapa negara, novelnya meraih rekor penjualan tertinggi. Ia juga telah menerima 22 penghargaan dari berbagai negara.

Tapi, meski mendulang sukses internasional, sejumlah kritikus sastra Brasil, negeri asalnya, menilai Coelho sebagai pengarang biasa. Karyanya disebut begitu sederhana tak ubahnya buku tuntunan hidup. Ketika namanya masuk ke Brazilian Academy of Letters, muncul kontroversi. Sebab beberapa kritikus menyebut novel Coelho komersial, alias cuma berorientasi pasar.

Bersama istrinya, Christina Oiticica, Coelho kini mendirikan Paulo Coelho Institute di Rio de Janeiro, kota tempat ia lahir pada 24 Agustus 1947. Lembaga ini bertujuan membantu anak dan orangtua miskin yang terpinggirkan. Separuh hidupnya dalam setahun dihabiskan di Tarbes, Prancis. Penggemar traveling ini juga mempraktekkan kyudo, sejenis panahan meditatif. Setiap pagi, usai jalan kaki selama dua jam, ia melesakkan 24 anak panah melalui satu dari tiga busur miliknya.

Satu novelnya, Veronika Memutuskan untuk Mati, telah difilmkan sutradara Jepang, Kei Horie. Film ini akan diluncurkan awal tahun depan. Saking kagum atas karya-karya Coelho, dua gadis Georgia, Tamuna dan Anuki, mendirikan sebuah kafe bacaan di Tbilisi, ibu kota Georgia. Novel Sang Alkemis juga telah menginspirasi grup musik Aurah menciptakan album berjudul ''Songs of The Alchemist''.

Ketika remaja, Coelho dimasukkan orangtuanya ke rumah sakit jiwa hingga tiga kali karena sering memberontak. Awal 1970-an, Coelho menjalani hidup sebagai hippies. "Semuanya semata demi seks, obat-obatan, dan rock 'n' roll," katanya. Ia juga pernah tiga kali masuk penjara karena mengecam rezim diktator militer Brasil.

Ketika berumur 36 tahun, Coelho memutuskan melakukan ziarah ke Santiago de Compostela, Spanyol Utara. Perjalanan inilah yang menginspirasi novel perdananya, The Pilgrimage. Sejak itu, sambil terus mempertanyakan makna hidupnya, Coelho memutuskan untuk hidup sebagai penulis.

G.A. Guritno, Mukhlison S. Widodo (Solo), dan Rosul Sihotang (Medan)
Majalah Gatra edisi 49 / XI / 22 Oktober 2005