Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Buku Kehidupan: Kuda Putih dan Sisyphus

Beberapa waktu yang lalu, saya membongkar-bongkar buku lama yang ada di lemari tua untuk mencari sebuah buku. Yang dicari tidak ketemu, tetapi sebagai gantinya saya menemukan beberapa buku lain yang menarik perhatian saya. 

Salah satu di antaranya adalah 50 Great Short Stories yang diedit oleh Milton Crane. Entah bagaimana, setelah membolak-balik —barangkali karena faktor sinkronisitas— saya tiba pada judul "The Summer of the Beautiful White Horse" Cerita pendek karya William Saroyan itu entah sudah berapa kali saya baca, namun setiap kali pula saya senang mengulanginya kembali.

Pertama kali, saya ingat membacanya dalam terjemahan bahasa Indonesia, di majalah Star Weekly pimpinan P.K. Ojong awal tahun 60-an. Judulnya "Kuda Putih". Setelah itu saya menemukan juga di beberapa buku seperti Best Stories of William Saroyan dan sebagainya.

Mengapa cerita ini memikat hati saya? Pertama, mungkin karena jalan ceritanya mengasyikkan. Menceritakan petualangan singkat Aram (9 tahun) dan Mourad, sepupunya, yang berusia beberapa tahun lebih tua. Mereka adalah keturunan imigran Armenia yang miskin, namun punya harga diri dan kejujuran. Kedua anak belia itu memang masih hidup dalam dunia angan-angan dan mimpi. Dalam istilah bawah sadar kini masih larut dalam gelombang alfa. Mereka berangan-angan sekali waktu dapat menunggang kuda, sesuatu yang hampir mustahil, mengingat mereka dari keluarga miskin.

Tiba-tiba suatu dini hari pukul 04.00 pagi, ada ketukan di jendela kamar Aram. Aram melompat lalu melihat ke luar jendela. Ia terbelalak menyaksikan sebuah pemandangan yang tak pernah diduga. Temyata Mourad menunggang seekor kuda putih yang indah! Selanjutnya selama hampir satu musim panas, setiap pagi mereka menunggang kuda itu berkeliling kota. Suatu pengalaman hidup yang tak terlupakan.

Pertanyaannya, bagaimana kuda putih itu diperoleh? Di satu pihak, keluarga Armenia ini adalah keturunan orang-orang jujur yang tak suka mencuri. Di pihak lain, Mourad yang dikenal sebagai bocah "gila" oleh sekelilingnya, sebenarnya adalah anak yang kreatif, yang tak mengenal beban iimitasi orang-orang tua.

Saya menyukai cerita ini. Pertama, karena yang menjadi hero adalah bocah-bocah cilik yang masih innocent, lugu yang tak punya beban rasa salah, tetapi juga tak gampang untuk menyerah. Kedua, bersikap aneh dan bersifat "lain" (different) seperti Mourad ternyata juga diperlukan di dunia ini. Dengan caranya sendiri, ia bisa menangani manusia lain, kuda, anjing dan sebaliknya juga kurang peduli apa kata orang.

Setelah sekian lama, kuda yang "dipinjam" itu dikembalikan kepada pemiliknya. Si pemilik yang merupakan sahabat orang tua mereka, menerima pengembalian itu tanpa ribut-ribut, sekalipun selama ini mungkin ia tahu siapa yang "meminjam" kudanya.

Sudah tentu ada beberapa cerita lain yang juga menjadi favorit saya, Seperti "Gadis Penjual Korek Api" dari Hans Christian Anderson, "Kalung Berlian" karya Guy de Maupassant, "Duel" dari Alexander Poushkin, beberapa dari Hemingway dan Kafka. Sekalipun sudah beberapa puluh tahun lewat, namun masih segar teringat bagian-bagian tertentu dari bacaan tersebut.

Dari penulis Indonesia, saya menyenangi kumpulan sketsa Cerita dari Jakarta oleh Pramudya Ananta Toer yang tajam membedah secara getir kehidupan masyarakatbawah. Juga Pertempuran dan Saiju di Paris dari Sitor Situmorang dengan gaya prosa—liris dan protagonisnya adalah orang-orang terasing. Dan kumpulan cerita Seribu Kunang-kunang di Manhattan oleh Umar Kayam yang halus, penuh pemahaman akan berbagai derita serta kesepian manusia. Dari kalangan yang lebih muda —yang banyak dibaca tahun kemudian— saya menyenangi Negeri Kabut dari Seno Gumira Ajidarma. Kumpulan cerita yang terakhir ini mengingatkan saya pada haiku, zendan lukisan tradisional Tiongkok. Gunung di latar belakang, air sungai yang turun tenang berliku-liku seperti dalam feng shui serta kabut putih yang menudungi pemandangan. Di sini waktu seakan-akan berhenti dan yang berkuasa adalah keheningan semata.

Jadi sejak muda saya telah menyukai interpretive literature, bacaan yang meluaskan wawasan dan sekaligus memberi kedalaman mengenai hakekat eksistensi kita sebagai manusia. Ia mendorong kita untuk memahami keberadaan kita di tengah-tengah alam yang sesekali bersahabat, sesekali bermusuhan. Ia juga membantu kita untuk lebih mengerti perilaku para tetangga dan diri kita sendiri. Lewat imajinasi, ia membawa kita menukik lebih dalam ke dunia realita.

Saya tidak merasa menyesal menghabiskan waktu membaca sekian buku sastra. Bahkan saya mesti berterima kasih ketika kemudian meniti karier sebagai jurnalis dan kemudian manajer. Tidak dapat dibayangkan seandainya saya menghabiskan hidup dengan bacaan ringan dan tontonan hiburan semata yang membawa kita ke dunia pelarian. Apa jadinya saya?

Mite Sisyphus
Sudah tentu di samping membaca cerita rekaan, saya juga mendalami bacaan non-fiksi. Salah satunya yang merupakan sumber, tatkala mood, perasaan hati sewaktu-waktu tengah turun adalah The Human Machine, Secrets of Success. Buku tua (edisi tahun 1929) karya E.R. Thompson itu saya "pinjam" dari perpustakaan ayah.

Buku tipis setebal 92 halaman itu terdiri dari tulisan pendek-pendek. Masing-masing satu halaman, dalam bahasa Inggris yang mudah dicerna oleh seorang pelajar sekolah menengah. Ada beberapa kalimat dalam buku itu yang saya beri garis merah di bawahnya: 
"The man who can think is always the master of the man who can only do. The men rise highest in the world are those who can both think and do. It is never to late to form habits...."

Lalu di salah satu halaman depan buku itu saya tulis dengan pensil kutipan berikut "The man who can master his mind can master nearly everything".

Sudah jelas buku tersebut adalah bacaan motivasional. Tak malu saya mengakui, bahwa sebagai seorang yang suka menggugat, mempertanyakan yang ada di sekeliling, sesekali suka terjatuh dalam keragu-raguan sendiri. Saya bukan orang yang sekali punya keyakinan kuat, langsung menerjang maju tanpa menengok kiri-kanan. Dari waktu ke waktu, saya suka berhenti dan melakukan introspeksi kembali. Dan kemudian untuk bangkit dan bergerak lagi memerlukan dorongan motivasi. Masalahnya sering bukan ada tidaknya pengetahuan, tetapi bagaimana kepercayaan itu harus diyakini kembali.

(Untuk banyak hari, The Human Machine yang berisi petunjuk-petunjuk polos itu merupakan buku pegangan, sampai suatu hari, puluhan tahun kemudian —saya bertemu dengan The Greatest Salesman in the Whole World karya Og Mandino yang saya anggap sebagai salah satu buku rnotivasi yang terbaik).

Selain itu, ada karya lain yang lebih serius yang banyak menyita energi saya, The Myth of Sisyphus (Le Mythe de Sisyphe) yang merupakan kumpulan esei Albert Camus. Sebagai seorang muda yang masih amburadul dalam perbendaharaan bahasa Inggris dan falsafah, saya coba melahap buku itu. Tidak mengerti. Penuh pemahaman absurd dan abstrak. Perihal penalaran dan kreasi absurd; perihal manusia dan pemberontakan absurd. Namun semakin tidak mengerti, semakin penasaran diri ini.

Kitab ini adalah salah satu karya terpenting Camus yang ditulis sewaktu ia berumur 27 tahun. Dalam usia seperti itu pula Syahrir menulis karya semi-filsafat Renungan Indonesia. Wah, muda-muda sudah mampu menulis karangan berbobot, pikir saya dengan rasa kagum.

Sebenarnya esai "Mite Sisyphus" sendiri bercerita perihal hukuman para dewa yang dijatuhkan terhadap Sisyphus, ia harus mendorong terus-menerus sebuah batu besar sampai ke puncak gunung. Dari atas gunung, batu besar itu akan jatuh ke bawah oleh beratnya sendiri. Batu menggelundung turun dan Sisyphus pun terjun ke bawah. Dengan kedua tangan dan sepenuh bahunya ia kembali mengangkat batu raksasa itu dan mendorong serta menahannya sepanjang lereng gunung. Mukanya yang melekat ke batu sudah seperti batu itu sendiri. Orang akan menilai kerja hukuman yang dilakukan berulang-ulang tanpa akhir itu adalah sesuatu yang tak berguna dan tanpa harapan.

Namun di mata Camus, absurditas dan kebahagiaan adalah dua putra dari satu bumi. Keduanya tidak terpisahkan. Salah kalau dikatakan bahwa kebahagiaan lahir hanya dari penemuan absurd. Dapat juga terjadi bahwa perasaan absurd itu ditimbulkan oleh kebahagiaan. "Saya menilai bahwa semuanya baik", begitu ucap Sisyphus, setidaknya menurut Camus. Dan lebih jauh "kita harus membayangkan Sisyphus berbahagia".

Seperti sudah dinyatakan, tidak mudah bagi saya untuk memahami esai-esai Camus. Satu-satunya jalan adalah membacanya berulang-ulang kali, berhenti pada setiap kalimat dan mencoba mencernanya lagi. Juga membaca tafsir orang lain perihal pandangannya mengenai absurditas dan eksistensialisme. Baru dengan demikian diperoleh lebih banyak pemahaman dan pengertian.

Modal saya yang diusung ke sana ke mari, kalau tak paham atau tidak bisa adalah dengan mengotot dan mencoba lagi berulang-ulang sampai ada kemajuan. Misalnya, kalau harus menerjemahkan sebuah artikel dan belum menguasainya dengan betul, ya membuka kamus sebanyak mungkin, mencatat arti banyak kata dan kemudian coba menyusun terjemahannya. Jika belum bagus dan kiranya belum dimengerti oleh pembaca, ya me-rewrite-nya; menulis ulang berkali-kali sampai terasa sudah mantap. Modal ngotot semacam ini yang saya jalankan dalam mengarungi kehidupan ini. Mulai dalam memecahkan persoalan matematika sampai misalnya jadi wiraniaga menjual barang dagangan. Ngotot model Sisyphus, pantang menyerah dan tidak kenal kapok adalah satu-satunya yang bisa diperbuat.

Cuma lakon Sisyphus yang saya jalani itu tidak sama dengan mitologi Yunani yang selama ini dikenal itu. Saya melakukan modifikasi berdasar pengalaman dan penghayatan pribadi. Tidak apa kalau itu dianggap kurang tragis ataupun absurd.

Dalam versi saya, Sisyphus memang mendorong batu besar dari bawah ke atas gunung. Beberapa kali boleh jadi batu menggelinding turun lagi. Namun dan ini bedanya— setelah upaya sekian kalinya batu itu berhasil ditempatkan di puncak yang datar. Berhenti. ia memandang ke depan dan melihat gunung-gunung lain. Tantangannya, ia harus menaklukkan puncak-puncak lainnya kembali. Turun—naik—turun—naik. Kalah—menang—kalah—menang. Berkali-kali tanpa henti. Dan sebuah puncak gunung lagi berhasil diraihnya.

Jadi, seluruh gerak kemajuannya adalah mirip dengan kurva S rebah berkesinambungan, Kebahagiaannya bukan semata terletak dalam kepasrahan, tetapi juga pada harapan dan hasil. Boleh jadi darma dan karma inilah yang harus saya lakoni dalam menapaki hidup ini.

Tak Terhindarkan
Sudah tentu dunia saya bukan alam bacaan melulu, sekalipun ini harus diakui telah mernbawa dampak besar. Membuat saya makin paham dan mengerti lika-liku kehidupan, dunia dan seanteronya. Ternyata memang menarik, tetapi sekaligus mernbawa keprihatinan yang mendalam. Ada kegembiraan, tetapi juga kedukaan. Kalah—menang datang silih berganti.

Di samping membaca, masih ada serangkaian pekerjaan yang harus dilakukan. Seperti mandi, makan, tidur, berjalan, ngomong-ngomong, mendengarkan musik, gerak badan dan sebagainya. Atau pekerjaan rutin di kantor dari menulis surat, menyusun jadwal pertemuan sampai bepergian dinas, menghadiri rapat dan perjamuan sampai larut malam. Semuanya ini menyerap waktu memang dan harus dijalani, suka atau tidak disuka, menarik ataupun menjemukan. Bahkan yang rutin, karena tak dapat dihindari dan sudah merupakan ikatan, kerap menyita sebagian cukup besar dari waktu kita. Namun jalannya kehidupan betapapun harus tetap terjadi dan berlangsung.

Indra Gunawan, pencinta buku, tinggal di Jakarta.
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No. 7 / Februari 2003