Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Kepustakaan Populer Gramedia (KPG): Melayani Si Girang

Kegairahan membaca dalam masyarakat pada praktiknya belum banyak terpenuhi lewat bacaan-bacaan yang sudah diterbitkan. Bacaan-bacaan yang tergolong dalam segmen tertentu misalnya sains dan teknologi malah sering terjebak pada produk yang cenderung baku, dingin serta kaku bak menara gading yang celakanya malah 'menyeramkan' masyarakat, Pemikiran seorang ilmuwan melulu hanya terlihat dari hasil sehingga semakin menjauhkan masyarakat terhadap bacaan. Mindset atawa pola pikir ilmuwan yang barangkali bisa dijadikan contoh dalam kehidupan sosial semakin terasa jauh —bahkan terlupakan. Padahal pada hakekatnya ada sejumlah komponen-komponen tertentu yang barangkali bisa dihubungkan dengan cara-cara yang lebih hangat dan komunikatif.

Berawal dari kasus-kasus yang selalu tak terkomunikasikan dengan baik tersebut, Parakitri Simbolon, pria kelahiran Rianiate, Samosir lima puluh lima tahun lalu ini kemudian menggagas embrio sebuah penerbit alternatifyang bernaung dalam bendera grup penerbit Gramedia bernama KPG (Kepustakaan Populer Gramedia). Parakitri yang semula bekerja sebagai wartawan harian Kompas sejak 1976 merasa ada banyak hasrat membaca masyarakat yang belum terlayani terutama lewat bacaan-bacaan populer tapi bermutu.

"Ciri KPG berangkat dari nama KPG-nya sendiri, yaitu populer. Populer disini karena KPG menerbitkan sesuatu yang bagi awam terbilang rumit menjadi lebih mudah dan enak dibaca. Sebuah naskah yang penting tapi populer. Dengan kata lain, populer disini juga berarti ada persprektif baru. Itulah mengapa beberapa produk kami; seperti Kartun Fisika, Kartun Biologi, cergam Vandemekum Wartawan dan Iain-Iain disajikan dengan format yang berbeda, populer. Ini untuk menunjukkan bahwa sesuatu yang terlihat rumit bisa dibuat mudah, salah satunya lewat komik atau cerita bergambar. Kalaupun teks yang berat karena sumbernya berasal dari disertasi harus enak dibaca. Buku-buku KPG semudah mungkin dibaca (readable), entah itu secara ilustratif kendati juga hasilnya bukan sepenuhnya komik, atau dengan cara lainnya, Pendekatan ilustratif dipilih karena bisa mempermudah pemaparan populer atas bagian-bagian penting perkembangan sains dan teknologi. Dasar KPG sebenarnya mendapatkan peluang yang belum pernah dilakukan penerbit lain," jelas Pax Benedanto, editor KPG.

KPG sendiri resmi dibentuk tahun 1997 dengan misi awal menerbitkan buku-buku populer tentang sains dan teknologi bagi pembaca abad 21. Sehingga, KPG juga sengaja menyimpang dari teknik-teknik pemasaran standar, yang dikenal dalam dunia bisnis sebagai segmentasi pasar. Seperti apa sosok pembaca abad 21 itu menurut Parakitri Simbolon adalah "stfat pembaca yang girang". Artinya: mereka-mereka yang girang ketika menjelajah kehidupan lewat buku. Penerbit KPG melayani pembaca yang pada praktiknya tak terlayani dalam hal kegirangan membaca.

Berbekal idealisme tersebut maka produk-produk KPG senantiasa memiliki ciri khas, yaitu populer dalam pembawaan namun tetap bermutu dalam isi sehingga terasa hangat kepada para pembacanya, "Pada dasarnya kita ingin menandai pasar kita, yaitu mereka yang tidak terlayani sifat kegirangan membaca tadi," papar Parakitri menjelaskan ide awal terbentuknya KPG. Dari ide-ide tersebut KPG kemudian menerbitkan buku-buku yang tak hanya berhenti pada produk bisnis semata melainkan dapat menciptakan pasarnya sendiri.

"Secara mudah hasrat tak terlayani itu adalah hasrat orang membaca yang bukan semata-mata harus membaca supaya lulus ujian mata kuliah, atau gengsi supaya dianggap intelek. Setelah melepaskan dunia wartawan, saya berpikir seharusnya ada hal-hal lain yang sifatnya bisa meloloskan kita dari kesulitan semacam itu," kata Parakitri.

Free Competition
Berbekal idealisme "melayani si girang" tadi, beberapa produk KPG terlihat melakukan pelbagai eksperimentasi dengan berlandaskan semangat kebermainan. Salah satu produknya bisa disebut seri komik Lagak Jakarta yang dibuat oieh Benny Rachmadi dan Muhammad 'Mice' Misrad. Seri komik yang diterbitkan sampai enam seri dan termasuk salah satu produk laris KPG ini mengangkat potret keseharian penduduk Jakarta, Parakitri menyebut Lagak Jakarta sebagai sosiologikal komik sehingga yang terjadi bukan sekadar komik biasa, melainkan potret keseharian penduduk Jakarta yang berhasil ditangkap dengan metode humor secara lucu dan menggemaskan. Lewat seri-seri seperti gaya hidup metropolis, profesi atau hingar bingar masyarakat dalam Pemilu, hiruk-pikuk kehidupan sosial Jakarta disajikan dengan ringan sehingga pembaca seakan menyimak hasil kajian sosiolog dan antropolog dalam pandangan perspektif humor.

Seri cergam yang lain adalah Vademekum Wartawan. Kendati karya terjemahan, buku ini berhasil menawarkan perspektif baru lewat ilustrasi yang menarik sehingga menjadi tak berkesan menggurui dan memudahkan pembaca untuk mengetahui seluk beluk dunia jurnalistik.

Untuk buku yang bersifat tekstual non-ilustratif atau komik, KPG menerbitkan judul-judul dengan menawarkan pandangan berbeda dari hal-hal umum. Misalnya Fisika Star Trek dengan mengungkapkan kekeliruan bahasan ilmiah yang menjadi konsep film sains fiksi legendaris Star Trek. Atau novel Mimpi-Mimpi Einstein karya Alan Lightman, yang mengungkap metode berpikir ilmuwan besar Albert Einstein dalam bentuk fiksi. Sedangkan Komik Indonesia karya Dr. Marcel Boneff sebenarnya adalah disertasi. Dalam buku ini termuat hasil penjelajahan penulis yang melihat perkembangan masyarakat Indonesia lewat produk komik-komiknya. Buku yang juga mengalami cetak ulang ini diterbitkan atas kerja sama KPG dengan Forum Jakarta-Paris. Jika sebagian besar produk-produk terlaris dari penerbit pada umumnya karya terjemahan, buku terlaris KPG adalah novel Saman karya Ayu Utami yang sampai kini sudah cetak ulang sebanyak tujuh beias kali.

Buku lain yang juga terhitung best seller adalah Dan Damai di Bumi! karya Karl May. Buku ini selain belum pemah diterjemahkan juga menunjukkan kematangan Karl May dalam dunia kepenulisan dan menunjukkan pemahaman yang sudah lebih baik tentang latar belakang negeri timur dari pengarangnya sendiri.

Produk-produk yang kini sedang dikerjakan KPG adaiah Reinventing Comics, Menemukan Kembali Komik, buku terjemahan karya Scott Mc Cloud, lanjutan dari buku sebelumnya, Undertanding Comics, Memahami Komik. Selain itu ada beberapa judul seperti Paris van Java novel karya Remy Sylado setelah Kerudung Merah Kirmizi, pemenang hadiah sastra Khatulistiwa Award 2002. Novel Paris ini sebelumnya pernah dimuat sebagai cerita bersambung di Koran Tempo.

Kompleksnya dunia perbukuan tak urung membuat kebanyakan penerbit tidak cukup hanya mengandalkan penjualan di toko-toko buku saja. Kendati penjualan di toko buku memang sudah sewajarnya dilakukan, namun dalam perkembangannya ternyata masih banyak peluang lain yang idealnya dapat mempertemukan calon pembaca terhadap bacaan-bacaan yang memang dibutuhkannya. Untuk itu KPG menerapkan sistem direct selling guna mempertemukan "pembaca girang" yang belum terlayani hasrat membacanya. Sistem direct selling ini dilakukan dengan mengumpulkan database calon pembeli yang terkumpul ketika KPG mengadakan acara seperti pameran buku, bazar launching atau diskusi. Di atas kertas pengumpulan data base ini sepertinya mudah. Kenyataannya, sesuatu yang tampak sederhana ini bukanlah pekerjaan gampang dalam sistem manajemen pemasaran dan umum di Indonesia. Namun hal ini senantiasa dilakukan sebagai salah satu program usaha jangka panjang KPG dalam hal membentuk pasarya sendiri.

Untuk jangka panjang terutama dalam pengembangan bisnis, KPG hanya ingin bekerja sebaik mungkin secara free competition sehingga tidak ada bayangan tertentu dalam menghadapi persaingan dengan penerbit lain. Selain "melayani si girang" dalam konteks idealisme penerbit, suasana kerja di KPG juga didasari rasa girang misalnya dalam upaya memperbaiki hal-hal sulit sekecil apa pun sehingga dalam perusahaannya sendiri menjadi knowledge company atau unit usaha yang sekaligus menjadi ruang belajar dalam rangka pengembangan sumber daya manusianya. Ini misalnya dapat dicontohkan dalam konsep desain KPG yang tidak berangkat dari general atau umum, melainkan partikular dengan kedetailannya. Pengenalan cukup memadai atas bentuk-bentuk huruf dari buku yang akan diterbitkan jadi pertimbangan sehingga menjadi ciri khas KPG.

Kendala Penerjemahan
Kendati akhirnya berhasil membentuk citra lewat produk-produknya yang inovatif, KPG ternyata juga mengalami kendala penerjemahan. Kendala yang toh juga dialami umumnya para penerbit, "Memang ketika menerjemahkan karya-karya komik relatif lebih mudah ketimbang teks, Tapi berdasarkan pengalaman yang sudah-sudah, kesulitan yang ada juga sama besarnya dengan yang bukan komik, KPG menghadapi kesulitan umum yaitu menemukan penerjemah andal, bahkan kendati kami bersedia membayar paling tinggi.

"Terjemahan sebenarnya mengandung empat tingkat. Pertama, tingkat literal, di mana kata-kata dalam bahasa asing bisa diterjemahkan namun sesungguhnya tidak dimengerti dalam bahasa Indonesianya. Kedua, adaptasi di mana sebuah terjemahan mencoba menyimpang jauh dari bahasa aslinya. Untuk tingkat kedua ini meski lebih baik dari literal, bahayanya sang editor harus bekerja lebih keras sehingga meninggalkan fungsi sesungguhnya Akibatnya, editor yang menjadi penerjemah sebenarnya. Editor seharusnya tidak harus memperbaiki terjemahan lagi. Makanya kita terpaksa tidak bisa dengan cepat menerjemahkan."

"Ketiga, idiomatik. Ada idiom-idiom bahasa Inggris yang tak mudah begitu saja diterjemahkan ke dalam idiom bahasa Indonesia. Contoh kongkrit dalam tingkat ini kata I couldn't careless. Jika diterjemahkan ke bahasa Indonesia rada sulit kecuali dalam konteks tertentu. Si penerjemah kemudian menggunakan idiom yang sedang populer di masyarakat, yakni EGP (Emang Gue Pikirin). Sedangkan tingkat yang terakhir, saya sebut Herb Paradox dari Profesor Herbert, Di mana dalam penerjemahan yang terutama dikuasai bukan bahasa asingnya melainkan bahasa Indonesianya", ungkap Parakitri.

Salah satu akibat kendala penerjemahan ini buku From Voting to Violence karya Jack Snyder yang kelak akan diterbitkan KPG mengalami keterlambatan produksi dan peredaran. Buku ini untuk terjemahannya akhirnya dikerjakan sendiri oleh Parakitri. Alasan KPG menerbitkan buku ini karena membahas problem-problem semua negara yang hendak beralih dari kekuasaan otoriter ke demokrasi.

"Perubahan semacam ini memerlukan pengetahuan dan kesadaran tinggi dari masyarakat luas agar kita semua bisa lolos dari bahaya yang menghadang setiap negara yang sedang menuju demokrasi," jelas Parakitri setengah berpromosi.

Donny Anggoro, editor, aktivis cybersastra.
Majalah Mata Baca Vol. 1/ No. 7/ Februari 2003