Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jual Buku Konflik Sumber Daya Hutan dan Reforma Agraria: Kapitalisme Mengepung Desa

Judul: Konflik Sumber Daya Hutan dan Reforma Agraria: Kapitalisme Mengepung Desa
Penulis: LR. Wibowo, dkk.
Penerbit: Alfamedia, 2009
Tebal: 189 halaman
Kondisi: Stok lama (bagus)
Harga: Rp. 30.000 (blm ongkir)
Order: SMS/WA 085225918312


Buku-buku bertema lingkungan selalu penting untuk kita baca. Isu lingkungan telah menjadi salah satu fokus perhatian dunia semanjak Global Warming mewabah. Oleh karena itu, buku berjudul “Konflik Sumber Daya Hutan dan Reforma Agraria: Kapitalisme Mengepung Desa” ini bisa menjadi salah satu sumber dalam memahami bagaimana pengelolaan sumber daya hutan di Indonesia dari zaman dahulu hingga sekarang, untuk selanjutnya memberikan masukan bagi penanganan hutan di negeri ini ke depan.

Membaca buku ini, kita di ajak untuk melihat potret pengelolaan hutan di Indonesia secara historis. Sistem negara terkait pengelolaan hutan dikupas secara detail dengan data-data kepustakaan serta pengalaman langsung dari penulis sendiri. Hal ini dikarenakan ketiga penulis buku ini merupakan para ahli di bidang kehutanan. L.R. Wibowo adalah seorang sosiolog yang mendalami sosiologi kehutanan, C. Woro Murdiati Runggandini merupakan peneliti dan pengajar Hukum Adat dan Kehutanan, serta Subarudi adalah pengamat dan ahli menejemen hutan. Dari latar belakang para penulis ini dapat menjadi gambaran akan kompetensi dan relevansi isi buku.

Secara garis besar, buku ini dibagi menjadi lima bab. Bab pertama dalam buku ini membicarakan tentang terjadinya transformasi kapitalisme di sektor kehutanan. Bentuk transformasi kapitalisme ini diantaranya adalah ketika terjadi kebijakan-kebijakan baru terkait penanganan hutan . Diantaranya yang paling kelihatan adalah saat munculnya Orde Baru menggantikan Orde Lama. Pergantian masa ini secara esensial telah menjadi babak baru pengelolaan hutan di Indonesia, yang mana telah menjadikan hutan sebagai tumpuan utama dalam percepatan pembangunan terkait carut-marut perekonomian yang melanda negara waktu itu. Perubahan-perubahan kebijakan hutan secara struktural telah semakin nampak dan selanjutnya memperlihatkan dominasi unsur kapitalis atas hutan Indonesia.

Bab kedua, membincang tentang terjadinya konflik antara pihak masyarakat lokal (adat) dengan pemerintah melalui pengelola hutan maupun dengan pengusaha. Dijelaskan bahwa Hak Pengelolaan Hutan (HPH) dirasakan semakin menyudutkan masyarakat, dan semakin menguntungkan pihak penguasa dan pemodal. Hal inilah yang kemudian menjadikan konflik di berbagai daerah. Pemerintah juga telah mengambil beberapa langkah dalam mencoba menangani dan meredam konflik tersebut. Akan tetapi beragam cara penyelesaian konflik sumber daya hutan dari pemerintah ini masih jauh dari harapan masyarakat. Solusi yang ditawarkan selalu tidak menyentuh persoalan dasar, yakni pegambilan hak atas tanah dan pengelolaan hutan serta hak atas penghidupan yang layak. Hal-hal inilah yang sebenarnya sejak awal dipertanyaakan oleh masyarakat lokal dalam menuntut haknya.

Jadi diperlukan perubahan atau perombakan hukum agraria secara mendasar demi menyelamatkan mayarakat lokal atau para petani dalam membebaskan diri dari kekangan kaum feodal dan pemerasan para pemilik modal. Hal ini dikupas lebih detail dalam bab ke-tiga tentang lahirnya Undang Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960. Konsepsi yang mendasari UUPA ini adalah konsepsi hukum adat yang bersifat “komunalistik-religius”, yang memungkinkan hak-hak atas tanah bersifat pribadi sekaligus mengandung unsur kebersamaan.

Namun kembali lagi, lahirnya undang-undang ini juga tidak semerta menyelesaikan masalah. Pro dan kontra di kalangan masyarakat terjadi terkait hak milik. Yang pro hak milik mementingkan manusia sebagai individu, sedangkan yang anti hak milik mementingkan manusia sebagai makhluk sosial. Di akhir bab tiga, pergulatan ini disikapi penulis dengan mencoba merefleksi kembali terkait hukum dan perubahan sosial. Bagaimana sebenarnya tujuan dan fungsi hukum, peran hukum dalam mewujudkan keadilan sosial, hakikat adil, serta keterkaitan antara hukum dengan keadilan kembali dibahas demi mengurai persoalan yang ada.

Bab ke-empat berisi tentang pembaharuan agraria sabagai solusi konflik sumber daya hutan. Diantaranya tentang reforma hukum agraria sebagai suatu kebutuhan yang mendesak mengingat berbagai konflik yang terjadi terkait dengan hukum yang sudah ada. Dikatakan bahwa sampai sekarang belum ada program dari pemerintah yang berbicara khusus tentang reforma agraria di sektor kehutanan, jadi langkah dari pemerintah masih belum menyelesaikan pokok persoalan. Peran publik, dikatakan sangat dibutuhkan dalam reforma hukum agraria ini. Hingga saat ini, publik masih dianggap kalah dari pemerintah karena lemahnya aliansi dalam komunitas masyarakat sipil. Jadi perlu dilakukan revitalisasi peran kekuatan publik yang potensial untuk mendorong perubahan.

Buku ini diakhiri dengan sebuah epilog pada bab lima tentang gagasan menuju pembangunan kehutanan yang berkeadilan dan berkelanjutan. Diantaranya adalah dengan memegang azas keadilan, azas kebersamaan, dan azas keberlanjutan. Dikatakan juga bahwa pengelolaan hutan yang lestari ditentukan oleh lima faktor, yakni pasar/konsumen, kondisi SDM kehutanan, kebijakan pemerintah, kontrol terhadap pelaksanaanya, dan pola bisnis.

Dengan memahami persoalan secara runtut, kita akan mengetahui bagaimana langkah yang harus diambil agar tidak kembali mengulang kesalahan yang sama di depan. Hutan diciptakan untuk mencukupi kebutuhan manusia dan sebagai bagian dari keseimbangan alam. Kutipan pernyataan Mahatma Gandhi dalam Skephi (1992) yang juga dikutip dalam buku ini bisa menjadi bahan renungan bagi kita terkait hal ini bahwa, “Bumi ini mengandung cukup sumber daya untuk seluruh umat manusia, tapi tidak cukup untuk memenuhi kerakusan segelintir manusia saja”