Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku, Manajemen, dan Kebudayaan

Frans M. Parera, dalam artikelnya “Industri Perbukuan di Tengah Peradaban Global” (Matabaca, Agustus 2002), sembari mengajak kalangan perbukuan di Indonesia untuk tak hanya bersibuk dengan masalah know-how perbukuan, melainkan juga mempedulikan masalah ‘know-why’, memberi saya pekerjaan rumah ketika menulis: "Alfons Taryadi yang diberi tugas menjadi koordinator tim kecil yang dipercayai oleh penggagas Dewan Buku Nasional sedang bekerja keras memahami arti peradaban dalam kesibukan mendalami pertanyaan mengapa “harus dibentuk Dewan Buku Nasional dalam waktu dekat ini".

Tulisan ini bermaksud menanggapi artikel tersebut dari sudut pandang dan pengalaman pribadi saya sebagai insan perbukuan, tanpa ingin terlibat jauh dalam urusan dengan apa yang oleh Frans disebut “kebingungan leksikograf untuk memahami dan menjelaskan apa itu peradaban”, serta dengan pernyataannya bahwa kondisi keraguan di kalangan leksikograf juga menjalar masuk ke kalangan industri perbukuan, dan bahwa kalangan industri perbukuan juga sedang menderita dalam penafsiran lengkap tentang apa arti civilization, baik visi, misi maupun strategi kerja jangka pendek, menengah dan panjang.

Para Pencetak Humanis
Dalam buku The Coming of the Book (Verso, 1990), Lucien Febvre dan Henri-Jean Martin menggambarkan dampak percetakan antara 1450-1800 dengan memotret penyebarannya dari Mainz, tempat ia diciptakan oleh Gutenberg, ke kota-kota lain di Jerman, kemudian ke negeri-negeri lain di Eropa, Inggris, Rusia, benua Amerika, Afrika dan Asia. Di antara para pencetak pada periode awal penyebaran percetakan modern itu, banyak yang berfungsi sekaligus sebagai penerbit dan pedagang buku. Di antara mereka ada para pencetak yang oleh Febvre dan Jean Martin dijuluki ‘pencetak humanis’, antara lain Berthelemy Buyer (meninggal tahun 1488) dari Lyons. Ia seorang kapitalis yang memahami secara jeli kemungkinan ganda yang terkandung dalam kegiatan cetak-mencetak buku, yaitu sebagai sarana penyebarluasan kebudayaan dan sekaligus cara mendapatkan laba dari modal.

Contoh lain adalah Jean Amerbach, yang lahir sekitar 1434 di Rutlingen, Jerman. Ketenarannya sebagai penerbit karya para Bapa Gereja membuatnya kebanjiran surat dari seluruh penjuru Eropa. Pencetak humanis lainnya adalah Aldus kelahiran Italia antara 1449-1454, seorang profesor yang menjadi pencetak untuk menerbitkan karya-karya klasik Yunani dan Latin.

Dari sejarah awal perkembangan penerbitan buku itu, tampak bahwa penerbitan buku adalah gabungan antara idealisme dan bisnis. Memang, buku adalah produk industri seperti komoditas komersial yang lain seperti sepatu, odol, semen, dan yang lain-lain. Yang membedakannya dari barang-barang lain itu ialah bahwa buku merupakan wahana pengetahuan, pendidikan dan nilai-nilai budaya dalam masyarakat, seperti diakui dalam Deklarasi London Menuju Masyarakat Membaca, tahun 1982. Jadi, tak aneh bila moto Penerbit Gramedia berbunyi: “Lewat buku mencerdaskan dan membudayakan bangsa.” Dalam Majalah Aktuil, 14/2/1993, Adisubrata, pimpinan Gramedia waktu itu, menegaskan: “Gramedia memiliki idealisme yang ketat dalam memelihara dan mewujudkan motonya.”

Bila Malaikat Kepala Menjadi CEO
Sekitar tahun 1985, dalam sebuah lokakarya tentang penerbitan buku, seorang instruktur dari sebuah lembaga manajemen terkenal, menyinggung soal tujuan penerbitan buku, berkata: “Adalah munafik, kalau suatu penerbitan mengatakan tujuannya ialah ikut mencerdaskan bangsa. Bila jujur, penerbit itu mesti bilang, tujuannya ialah mencari profit.”

Komentar bernada sinis itu melecut saya untuk membaca buku-buku manajemen. Betapa lega saya bahwa dalam buku Peter F. Drucker, Management, an abridged and revised edition of Management: Tasks, Responsibilities, Practices, (1979) di halaman 55, terbaca kalimat berikut: “Profit dan profitabilitas memang sangat krusial —bahkan bagi masyarakat lebih daripada bagi bisnis individual. Begitu pun profitabilitas, bukan tujuan bisnis. Keuntungan bukan penjelasan, penyebab atau rasional keputusan bisnis, melainkan ujian terhadap keabsahannya. Seandainya, direkturnya bukan orang bisnis, melainkan malaikat kepala, ia masih harus berurusan dengan profitabilitas, meskipun sama sekali tak ada minat pribadi untuk membuat keuntungan.”

Dalam tulisan, “The New Society of Organizations” (Harvard Business Review, September - Oktober 1992), Drucker menyatakan, para eksekutif sebuah organisasi, entah itu bisnis, universitas, rumah sakit atau kepanduan, harus yakin, misi dan tugas organisasi mereka adalah misi dan tugas terpenting masyarakat. Di tempat lain ia juga pernah menegaskan bahwa raison d’etre atau alasan keberadaan suatu organisasi bisnis ialah memberikan layanan kepada masyarakat. Sementara itu, Konosuke Matsushita, pendiri Matsushita Electric Company memandang profit dan pertumbuhan bukan tujuan manajemen, melainkan hadiah bagi manajemen efisien dari masyarakat yang mendapatkan layanan baik. Baginya, keuntungan seharusnya bukan cerminan kerakusan perusahaan, melainkan suatu tanda kepercayaan masyarakat bahwa layanan perusahaan dihargai oleh masyarakat. Refleksi saya atas tuturan Drucker maupun Matsushita itu pernah saya tuliskan dalam suatu makalah berjudul “Peranan Pengarang dan Editor dalam Dunia Penerbitan” (Lih. Bungai Rampai Visi Pelayanan Literatur, Penerbit Yayasan Andi, Yogyakarta, 1989, hlm. 57).

Konsep layanan sebagai alasan keberadaan organisasi bisnis mendapat peneguhan dalam dialog The Jakarta Club Maret 1996, dengan Michael Porter, seorang pakar “Corporate Strategy” sebagai pembicara. Di situ, Porter mengatakan salah satu prasyarat agar suatu perusahaan dapat unggul bersaing ialah kemampuan menciptakan pasar domestik yang terbuka, karena daya saing hanya bisa terbentuk dalam suasana kompetisi. Menurutnya, kelompok usaha yang ingin berhasil harus memfokuskan bisnisnya pada sektor tempat mereka bersaing. Sejumlah pakar manajemen Indonesia menilai bahwa, pada saat membuat strategi, Porter terlalu berfokus pada bagaimana menjadi kompetitif, padahal basis perusahaan dalam jangka panjang tidak dilentukan oleh kapasitasnya mengalahkan pesaing, melainkan oleh kemampuannya melayani masyarakat. Menurut mereka, kompetensi penting yang harus dikembangkan oleh dunia bisnis bukannya bagaimana mengalahkan pesaing, melainkan bagaimana mampu melayani secara luar biasa (Warta Ekonomi, 18/03/1996, him. 35).

Cinta Pengetahuan dan Tanggung Jawab
Bila raison d'etre suatu perusahaan adalah layanan kepada masyarakat, adalah tepat bahwa rumusan misi Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) dibuka dengan kata-kata "Ikut mencerdaskan kehidupan bangsa," Secara pribadi saya senang diikutsertakan dalam tim perumusan visi dan misi IKAPI dalam tahun 1999, Buku 50 Tahun IKAPl Membangun Masyarakat Cerdas (2000, hlm, 121) mencatat bahwa Arselan Harahap, Ketua Umum PP IKAPI, 1998-2002, dalam mengawali kepengurusannya, memilih untuk merumuskan kembali visi dan misi IKAPI sebagai sebuah organisasi profesi penerbit, yakni mengembangkan unsur bisnis dan idealisme. Sesuai dengan latar belakang berdirinya IKAPI, penerbit yang terhimpun di dalamnya perlu menegaskan ulang komitmen untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa. Sebagai pengusaha, penerbit harus survive dan meraih laba, namun itu semua diperuntukkan bagi upaya membangun masyarakat cerdas, berkualitas dan berbudaya.

Terangkai dengan rumusan visi dan misi adalah nilai-nilai yang diperjuangkan oleh IKAPI. Uraian Arselan Harahap "Visi, Misi;dan Nilai-nilai Dasar Ikatan Penerbit Indonesia" (Lih. Alfons Taryadi, ed: Buku dalam Indonesia Baru, 1999), mencantumkan 5 butir nilai, yakni cinta pengetahuan, kerja keras, jujur, terbuka, dan tanggung jawab. Adalah menarik bahwa di Kelompok Kompas Gramedia (KKG), nilai-nilai jujur, terbuka, dan kerja keras termasuk di antara nilai-nilai yang perlu dihayati oleh warganya. Tentang cinta pengetahuan, makalah saya: "Kiat Penerbit Menghadapi Era Globalisasi" untuk Sarasehan "Peluang dan Tantangan dalam Menyongsong Era Pasar Bebas" di Jakarta, 31 Juli 1996, menyebutnya sebagai salah satu sikap dasar yang perlu dikembangkan oleh penerbit. Ilham untuk itu adalah tulisan Peter F. Drucker "Post-Capitalist Society" (Harper Business, 1994), yang menggambarkan "masyarakat pengetahuan" dengan ciri-cirinya antara lain pengetahuan sebagai aset pertama dan utama; perumusan misi, strategi dan hasil secara jelas; dan tanggung jawab serta kontribusi sebagai ganti kekuasaan dan kontrol.

Metanoia
Dalam bukunya, The Fift Disciplines The Art and Practice of The Leanring Organization (1992, 223, 224), Peter M. Senge, salah seorang guru manajemen laris masa kini, mengatakan membangun visi perusahaan hanyalah sepotong dari segugus kegiatan besar yaitu mengembangkan "ide-ide pengemudi arah" sebuah perusahaan, visi, maksud atau misi, dan nilai-nilai dasar. Suatu visi yang tak konsisten dengan nilai-nilai yang sehari-hari dihayati oleh karyawan akan gagal mengilhami antusiasme sejati, sekaligus memupuk sinisme terang-terangan. Ide-ide pengemudi arah perusahaan itu menjawab tiga pertanyaan kritis: 'Apa?', 'Mengapa?' dan 'Bagaimana?'. Visi adalah 'Apa?' —masa depan yang kita upayakan untuk kita bangun. Misi adalah 'Mengapa?'-nya jawaban perusahaan atas pertanyaan 'Mengapa kita ada?', Organisasi-organisasi besar memiliki tujuan yang mentransen kebutuhan pemegang saham dan karyawan; mereka berupaya menyumbang kepada dunia secara unik, menambahkan suatu sumber nilai yang berbeda. Nilai-nilai dasar menjawab pertanyaan-pertanyaan: Bagaimana kita ingin bertindak, sesuai dengan misi kita, menempuh jalan untuk mencapai visi kita.

Dalam buku tersebut, Senge menjelaskan makna pembelajaran, yang tak identik dengan pemahaman. Pembelajaran menukik ke jantung pengertian apa itu manusia. Lewat pembelajaran kita menciptakan diri kita lagi. Pembelajaran melibatkan pergeseran fundamental atau gerakan budi, atau apa yang disebut 'metanoia', Pembelajaran melibatkan pemahaman-pemahaman baru, tingkah laku, 'berpikir' dan 'bertindak' yang baru (The Fifth Disciplines. 13, 174).

Dari uraian Senge di atas jelas bahwa, 'the how' dalam manajemen tak hanya mencakup masalah teknik dan segala yang dilabeli 'pragmatisme'. Begitu juga dengan penjelasan Stephen R,Covey tentang 'Matriks Manajemen Waktu' (The 7 Habits of Highly Effective People, 1989, hlm. 151). Quadrant II dalam matriks tersebut memuat hal-hal penting dan tidak urgen dengan kandungan aktivitas seperti: pencegahan, kegiatan pengembangan kapasitas produktif, membangun hubungan-hubungan, mendeteksi kesempatan-kesempatan, perencanaan, perumusan misi pribadi, relaksasi. Quadrant II ini erat terkait dengan kebiasaan ke-7, yakni 'mengasah gergaji yang berarti memupuk segala kemampuan yang kita gunakan untuk berproduksi, bekerja demi layanan kepada masyarakat. Agar efektif, kita harus memiliki waktu-waktu untuk kegiatan seperti belajar, membaca, bermeditasi, berdoa, berolah raga.

Dari uraian di atas, jelas bahwa 'the what', 'the why' dan 'the how' organisasi apa saja, termasuk bisnis, saling berkaitan, dan semuanya penting. Tanpa 'the what' kita tak tahu apa yang akan kita lakukan. Tanpa 'the how' kita tak tahu bagaimana bertindak untuk mencapai 'the what' yang kita impikan. Tanpa meyakini 'the why' perusahaan kita, kata Drucker, organisasi kita akan segera kehilangan kepercayaan diri; kebanggaan, dan kemampuan berkinerja.

Refleksi saya ini mungkin dapat menjadi pembanding terhadap pendapat Frans Parera yang mengatakan, jawaban atas 'mengapa'-nya perbukuan di Indonesia tak bisa diharapkan "dari buku-buku Peter F. Drucker dan kawan-kawannya dari ilmu manajemen modern yang melihat gejala kultural dan civilization dari aspek mismanagement."

Mengandalkan Egoisme Manusia
Dalam sejarah ekonomi muncul para ekonom yang melihat bisnis sebagai bagian sistem pasar yang betul-betul swatantra, secara mutlak terlepas dari lingkungan etika budaya dunia kehidupan, sehingga karenanya menolak penerapan moral di bidang bisnis. Seorang di antara mereka ialah Lord J. M Keynes, yang menandaskan kemajuan ekonomi hanya dapat dicapai dengan sepenuhnya menggunakan gaya perkasa egoisme manusia, yang oleh agama dan kearifan tradisional dihimbau untuk dilawan. Sejalan dengan pemikiran itu, Anthony Jay: dalam bukunya Machiaeveili Kiat Sukses Bisnis Tanpa Etika (Terj: Happy Pitoyo, Penerbit Halirang: 1996) menyatakan, satu-satunya cara terbaik untuk meneliti sebuah organisasi dan cara pengelolaannya bukanlah berdasar apakah ia bertentangan dengan moral atau tidak, atau mencari bukti-bukti apakah usaha tersebut terhormat ataj tidak. Yang harus dilakukan ialah melihatnya sebagai pola keberhasilan atau kegagalan, pertumbuhan atau kemunduran.

Dengan adanya aliran faham seperti itu dalam ekonomi, tak aneh bila sejarah bisnis bertabur dengan segala macam skandal entah itu laporan fiktif, kecurangan, perang fitnah, pemalsuan produk-produk laris, pembuangan seenaknya barang-barang yang beracun, penggelapan pajak, kolusi pebisnis dengan pejabat, serta bentuk-bentuk korupsi yang lain.

Terlepas dari penilaian kotor-tidaknya praktik ekonomi, adalah bermanfaat menganalisis secara objektif dampak negatif pelaksanaan bisnis atas dasar faham tertentu. Dengan tinjauan kritis-reflektif, dampak neo-liberalisme yang mulai berkembang di pertengahan tahun 1970-an digambarkan oleh B. Herry Priyono dalam makalah "Antara Uang dan Pendidikan" untuk "Simposium Komitmen Pendidikan Bermakna dalam Membangun Indonesia Baru" yang diselenggarakan oleh Yayasan Bhumiksara, Desember 2002 di Jakarta. Di situ dikemukakan, neo-liberalisme secara mendasar menjungkirkan trias-economica, atau kaitan instrinsik antara tiga faktor dalam ekonomi-politik klasik, yaitu tanah, modal dan tenaga kerja. Menurut neo-liberalisme, manusia pertama-tama dan terutama adalah homo economicus. Cara kita melaksanakan transaksi jual-beli dalam kegiatan ekonomi bukanlah satu dari berbagai model hubungan antar manusia, melainkan satu-satunya model hubungan yang mendasari semua tindakan dan hubungan antar manusia, entah itu persahabatan, keluarga, atau pun pendidikan. Dengan kata lain, tindakan dan hubungan antar pribadi mau pun tindakan dan relasi lain adalah ungkapan dari model hubungan menurut kalkulasi untung-rugi individual yang berlaku dalam transaksi-ekonomi.

Tinjauan tersebut sesuai dengan pengamatan penulis buku Jihad vs McWorld (1996). Dalam buku itu, Benyamin R. Barber, Profesor Ilmu Politik di Rutgers University, mengkonstatasi bahwa dunia komersialisme global telah membuat setiap orang menjadi konsumen, bukan warga negara. Dalam sistem ekonomi yang terpusat pada fungsi pasar sebagai penentu nilai segala komoditas dan sebagai regulator apa yang menjadi perolehannya dalam produk sosial, kata Eric Fromm (On Being Human, 1999, hlm. 33) orang telah mentransformasikan diri menjadi komoditas sehingga ia mengalami hidupnya sebagai kapital untuk diinvestasikan secara menguntungkan. Dalam budaya demikian, tak mengherankan bila televisi yang sepenuhnya terjerat oleh jejaring komersialime hanya bisa melihat siswa sekolah semata-mata sebagai calon konsumen, bukan calon warga negara dan kritikus. Di sini, bisa dipahami bila Frans Parera mengamati, budaya finansial adalah gejala dominan penerbit. Suatu pengamatan tentang pilihan judul-judul yang diterbitkan oleh kebanyakan penerbit buku dewasa ini menunjukkan bahwa urusan the bottom line sering menjadi penentu kebijakan produk sebuah penerbitan buku, terutama di masa-masa krisis.

Justru mengingat hal itu semua, dalam diskusi tentang kebijakan dan strategi pengembangan perbukuan nasional, saya menekankan pentingnya buku sebagai pembawa wawasan kritis terhadap gejala budaya masa kini yang sebagai karya manusia secara dialektik berbalik memasung kebebasan manusia sebagai subjek kebudayaan. Memang perlu menganalisa buku sebagai produk industri, yang menjadi garapan the know-how dalam berbagai bidang, dan rawan terhadap dampak kondisi maupun kebijakan sosial-politik-ekonomi, Namun, buku juga harus dimaknai sebagai sarana untuk tidak sepenuhnya terserap dalam arus budaya masyarakat masa kini melainkan tetap memelihara ruang kebebasan untuk menggugatnya. Dalam hal ini kita bisa belajar dari Drucker (1992, 98) yang menegaskan bahwa: the new organization must be in a community but cannot be of it. Ini berarti perbukuan, dalam melayani masyarakat, tidak boleh tenggelam dan terhanyut oleh arus budaya masa kini, tetapi harus mentransenkannya.

Buku sebagai Produk Kebudayaan
Saya tidak ingin masuk terlalu jauh dalam persoalan "kebingungan leksiokograf untuk memahami dan menjelaskan apa itu peradaban". Sebab, di antara para cerdik-pandai terdapat silang pendapat tentang kesamaan dan perbedaan antara pengertian 'peradaban' dan 'kebudayaan'. Betapa simpang-siur adu pendapat tentang pengertian 'peradaban' dan 'kebudayaan' antara para pakar dari pelbagai bidang ilmu seperti Kroeber dan Kluckhohn (antropolog), F. Braudel (sejarawan), Alfred Weber (sosiolog), Oswald Spengier (filsuf), Koentjaraningrat (antropolog) yang bisa dibaca dalam buku Supratigna Rahardjo (2002) Peradaban Jawa, Dinamika Pranata Politik, Agama, dan Ekonomi Jawa Kuno. Namun, ada baiknya menengok kesimpulan Supratigna Rahardjo dari silang pendapat itu.

Menurut Supratigna Rahardjo, dalam tradisi pemikiran Barat istilah peradaban (civilization) memiliki perkembangannya sendiri, di samping dikenal juga istilah kebudayaan (culture). Dalam sejarah penggunaannya, kedua istilah itu dapat dibedakan atau bahkan dipertentangkan karena dianggap mewakili gejala yang berlainan; tetapi juga dapat saling dipertukarkan, karena dianggap mengacu kepada gejala yang sama. Kecenderungan terakhir ini berlaku juga dalam penggunaan kedua istilah di atas dalam bahasa Indonesia.

Selanjutnya, menurut Pratigna, istilah peradaban umumnya dipakai untuk menjelaskan kebudayaan dalam arti yang lebih terbatas, yakni gejala-gejala sosial-budaya yang terutama muncul dalam masyarakat kompleks yang biasanya dikaitkan dengan salah satu atau kombinasi dari munculnya tanda-tanda sebagai berikut: kehidupan kota, pembelahan masyarakat, dan kehidupan bernegara. Sementara itu, istilah kebudayaan tetap digunakan dalam artinya yang paling umum, baik dalam tradisi Barat maupun dalam tradisi Indonesia. Tampaknya hingga kihi belum ada kesamaan sikap dalam penggunaan istilah peradaban, Ini memberi keleluasaan bagi pemakai untuk memilih sendiri definisi atau konsep yang dinilai reievan dengan kebutuhannya.

Dengan mempertimbangkan apa yang dikatakan oleh Supratigna Rahardjo, di sini saya ingin mengacu pada buku Prof. Dr. P.J. Zoetmulder, Cultuur Oost en West (1951) dalam memahami pengertian 'kebudayaan' dan 'peradaban'. Pada intinya, 'kebudayaan' (cultuur) menurut Zoetmulder mengandung asumsi mengenai makna dan nilai kehidupan dalam keseluruhannya, sementara 'peradaban' (civilizatie) hanya mempunyai nilai kegunaan, dan menerima nilainya dari 'kebudayaan' dan tidak vice versa. Diukur dari nilainya, dan diteropong dari adanya, 'peradaban' merupakan suatu perkembangan alamiah dari 'kebudayaan', dan karenanya keduanya tidak saling bertentangan, Tetapi tanpa faktor-faktor kebudayaan, seperti ilmu pengetahuan, kerja sama, kesadaran akan kewajiban, tak mungkin terjadi perkembangan 'peradaban'. Penting untuk dicatat, menurut Zoetmulder 'kebudayaan', merupakan suatu keutuhan yang harmonis. Harus ada proporsi di antara elemen-elemennya. Bila tak ada harmoni, tak ada kebudayaan. Namun dinamika dalam keduanya adalah dinamika yang dinamis.

Dalam konteks pengertian 'kebudayaan' seperti yang dikonsepkan oleh Zoetmulder, buku merupakan produk 'kebudayaan' sejauh ia berfungsi sebagai sarana proses humanisasi dalam kepenuhan dimensinya yang mencakup aras fisik, sosial, mental, dan sosial-spiritual dengan pencarian ke arah makna dan nilai kehidupan. Kata kunci untuk itu semua, pada hemat saya, adalah kesadaran etis. Karena itulah dalam rumusan misi Dewan Buku Nasional saya memperjuangkan ditambahkannya kata-kata "dan menumbuhkan kesadaran etis masyarakat Indonesia" pada rumusan: "Meningkatkan produksi buku nasional serta pemanfaatannya sebagai sarana yang penting untuk mencerdaskan kehidupan bangsa". Adalah kesadaran etis masyarakat yang perlu ditumbuhkan agar bila terjadi perkembangan berlebihan pada faktor-faktor peradaban tertentu seperti pranata-pranata sosial, teknologi, dan praktik ekonomi sehingga mendatangkan disliquibrium pada kebudayaan, masyarakat berani berkata tidak. Seperti ditegaskan oleh filsuf van Peursen (Strategi Kebudayaan, 1976, hlm. 187, 192), kita harus menguasai bahaya-bahaya yang telah kita bangkitkan sendiri secara etis, dengan mengadakan perubahan-perubahan politis, sosial, dan legislatif, yang berpangkal pada tanggung jawab kita. Menurut van Peursen, lapangan yang dinilai etika kini jauh lebih luas daripada dulu; etika bukan lagi sejumlah kaidah bagi perorangan, mengenai apa yang halal dan haram, tetapi berkembang menjadi etika makro, yaitu: merencanakan masyarakat kita sedemikian rupa sehingga kita belajar mempertanggungjawabkan kekuatan-kekuatan yang telah kita bangkitkan sendiri. Kini, bagi masyarakat Indonesia, diperlukan kebijakan dan strategi bagaimana perbukuan bisa menjadi sarana ampuh untuk menunjang proses humanisasi Indonesia dengan antara lain menumbuhkan kesadaran tentang etika makro.

Konsep Zoetmulder tentang 'kebudayaan' sebagai suatu keutuhan yang harmonis dengan peringatannya akan bahaya-bahaya yang muncul dari penekanan berat-sebelah pada faktor-faktor tertentu 'peradaban' menunjuk kepada peranan yang bisa dimainkan oleh sebuah Dewan Buku Nasional dengan peta arah ke mana perbukuan seharusnya didorong, disertai strategi-strategi pemupukan potensi yang bisa diharapkan sebagai pelaku, pendorong, pendukung, pengilham perkembangan perbukuan di Indonesia. Dari van Peursen kita belajar memperlakukan kebudayaan bukan sebagai kata benda, melainkan suatu kata kerja: suatu strategi atau master plan bagi masa depan.

Oleh: Alfons Taryadi
Majalah Mata Baca Vol. 1 / No.7 / Februari 2003