Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Benarkah Enam Wali dari Cina?

Hanif Ismail, 21 tahun, mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta, serius membolak-balik buku berjudul Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa dan Timbulnya Negara-Negara Islam di Nusantara. ''Apa benar sebagian Wali Songo keturunan Cina?'' katanya. Padahal, selama ini yang diketahuinya dari banyak buku dan cerita, para wali itu berasal dari Arab. ''Ini kabar baru bagi saya,'' katanya.

Hanif adalah satu dari 200-an orang yang hadir dalam acara peluncuran buku karangan Profesor Slamet Muljana itu, Rabu malam pekan lalu. Acara di lantai II Toko Buku Toga Mas, Jalan Gejayan, Yogyakarta, itu dipenuhi mahasiswa yang terusik keingintahuannya soal latar belakang para wali. Terlihat ada wajah-wajah beberapa keturunan Tionghoa tertarik mengikuti acara ini.

Dalam peluncuran buku itu hadir dua pembicara. Yaitu Profesor Joko Suryo, 66 tahun, sejarawan dari UGM, dan Agus Sunyoto, 46 tahun, pemerhati sejarah dari Universitas Brawijaya, Malang. Agus Sunyoto ini juga penulis buku Suluk Abdul Jalil dan Suluk Malang Sungsang, dua buku yang berkaitan dengan kehidupan para wali.

Buku yang diluncurkan hari itu merupakan buku kedua Slamet Muljana. Buku pertama Slamet, Menuju Puncak Kemegahan, berisi sejarah Kerajaan Majapahit, dari kejayaannya sampai mangkatnya Patih Amangku Bumi Gadjah Mada. Buku kedua ini adalah kelanjutan buku Menuju Puncak Kemegahan. Buku ini menarik perhatian, karena mengisahkan pudarnya pengaruh Hindu di Jawa dan berkembangnya agama Islam.

''Buku ini kami nilai cukup penting, sehingga penerbitan ulangnya justru mendahului buku Menuju Puncak Kemegahan,'' kata Akhmad Fikri, Direktur LKiS, Yogyakarta, penerbit Runtuhnya Kerajaan Hindu-Jawa. Sebelumnya, buku ini pernah diterbitkan Penerbit Bhratara, Jakarta, pada 1968. Tapi lalu dilarang beredar oleh kejaksaan. Buku ini menjadi kontroversial ketika menceritakan peran Wali Songo.

Pasalnya, dalam buku ini ditulis bahwa sebagian dari Wali Songo berasal dari Cina. Ini berbeda dengan pendapat kebanyakan orang yang menganggap para wali itu keturunan Arab. Dikisahkan, pada pertengahan abad ke-15, Raden Rahmad atau yang dikenal sebagai Sunan Ampel adalah pendatang asal Yunan. Nama aslinya Bong Swi Hoo, cucu penguasa tertinggi Campa, Bong Tak Keng.

Ketika datang ke Indonesia, Raden Rahmad ini tanpa istri. Pada 1447, Raden Rahmad mengawini wanita keturunan Cina bernama Ni Gede Manila. Istri Sunan Ampel ini adalah putri Kapten Cina, Gan Eng Cu. Setelah perkawinan itu, masyarakat Islam Cina mulai menghilang di Pulau Jawa. Sunan Ampel lalu mulai membentuk masyarakat Islam Jawa.

Perlahan-lahan masyarakat keturunan Cina tidak lagi bisa berbicara berbahasa Cina. Termasuk anak Sunan Ampel, yaitu Sunan Bonang. Dalam buku ini ditulis, ''Putra Sunan Ampel yang bernama Bonang tidak lagi pandai berbahasa Tionghoa.'' Nama Bonang sendiri berasal dari bahasa Cina, Bong Ang, karena Sunan Ampel punya nama keluarga Bong.

Darah keturunan Cina juga mengalir pada Sunan Kalijaga. Seperti diketahui, Sunan Kalijaga adalah adik ipar Sunan Ampel. Ini berarti Sunan Kalijaga adik Ni Gede Manila anak dari Gang Eng Cu. Menurut buku ini, Sunan Kalijaga, yang waktu mudanya bernama Raden Said, teridentifikasi dengan nama Gan Si Cang.

Sedangkan Sunan Gunung Jati, yang dikenal dengan Syarif Hidayat Fatahillah, tak lain adalah putra Sultan Trenggana. Pada 1527, ia memimpin tentara Demak untuk menduduki Majapahit. Padahal, saat itu pemimpin tentara Demak ini dikenal bernama Toh A Bo. Maka, buku ini mengambil kesimpulan bahwa Sunan Gunung Jati adalah Toh A Bo, putra Tung Ka Lo, alias Sultan Trenggana.

Tak hanya keempat Sunan itu yang keturunan Cina. Sunan Giri, yang murid Sunan Ampel, juga berasal dari Cina. Ini dikaitkan dengan ayah Sunan Giri yang bernama Sayid Iskak, yang tak lain adalah paman dari Sunan Ampel alias Bong Swi Hoo sendiri. ''Demikianlah ia pun berasal dari Campa keturunan Bong Tak Keng,'' tulis buku ini. Sunan Kudus atau Jafar Sidik juga disinyalir keturunan Cina bernama Ja Tik Su.

Dalam buku ini setidaknya ada enam wali yang keturunan Cina. Banyaknya sunan yang dianggap keturunan Cina tak lepas dari sumber yang dipakai untuk menelaah masa-masa peralihan itu. Walaupun masih memakai Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda sebagai sumber, dominasi sumber yang didapat oleh Residen Poortman, yang pernah menggeledah Kelenteng Sam Po Kong di Semarang pada 1928, terlihat lebih menonjol.

Ketika itu, Poortman ditugasi pemerintah kolonial untuk menyelidiki apakah Raden Fatah itu orang Cina. Ia membawa lari seluruh arsip yang ada di kelenteng itu. Kesimpulan bahwa sebagian besar Wali Songo keturunan Cina bersumber dari naskah di Sam Po Kong itu.

Menurut Joko Suryo, buku ini cukup baik. ''Buku ini baik untuk dijadikan dasar melakukan penelitian lebih jauh,'' katanya. Di mata doktor sejarah lulusan Universitas Monash, Australia, itu, buku ini juga memberikan banyak informasi mengenai sejarah Indonesia sekitar abad ke-13 sampai ke-15 Masehi. ''Kita tahu sejarah Indonesia di masa itu sangat sedikit informasinya,'' katanya.

Untuk mengetahui hubungan Cina dan Belanda di Indonesia pada masa itu, memang buku ini cukup memberikan banyak informasi. Agus Sunyoto juga membenarkan bahwa Sunan Ampel memang masih keturunan Cina. ''Orang-orang di Jawa Timur pun mengakui bahwa Sunan Ampel itu masih keturunan Cina,'' kata Agus. Tapi Agus menolak jika dikatakan bahwa sebagian besar Wali Songo keturunan Cina.

Menurut Agus dalam bukunya, Suluk Abdul Jalil, ia telah membuktikan bahwa kebanyakan sunan berasal dari Arab. Agus malah menyesalkan metode yang dilakukan Slamet Muljana, yang tidak langsung melakukan pengujian di lapangan. ''Dalam menyebutkan Wali Songo keturunan Cina, dia hanya mengutip tulisan Residen Poortman,'' katanya.

Sementara itu, naskah asli yang disita Poortman dari Sam Po Kong sendiri sampai sekarang tak pernah ada. Agus mengambil contoh tokoh Bong Swi Hoo, yang dalam buku ini tak lain adalah Sunan Ampel. Menurut Agus, Bong Swi Hoo memang ada pada zaman Sunan Ampel. ''Tapi dia bukan Sunan Ampel,'' katanya. Hasil penelusuran Agus, Bong Swi Hoo adalah orang Cina yang turut mendirikan Masjid Ampel.

''Jadi, mereka itu memang hidup pada zaman yang sama,'' katanya. Bong Swi Hoo sendiri berasal dari Kamboja. Bahkan sampai sekarang, keturunan Bong Swi Hoo masih banyak di sekitar daerah itu. Masalah lemahnya penggalian sumber ini juga disoroti Joko Suryo. ''Walaupun Slamet sering menyebut prasasti sebagai sumber, dia tak maksimal menggunakan itu,'' kata Joko.

Pengkajiannya juga dianggap sangat terbatas. Joko Suryo mengatakan ada kesan bahwa nama-nama dicari dari sumber Babad Tanah Jawi, baru setelah itu Slamet mencari nama Cina-nya melalui naskah Sam Po Kong. ''Ini terkait dengan keahlian Slamet di bidang filologi,'' ujar Joko Suryo. Hal ini bisa saja mengundang kesalahan. Karena menyebutkan nama-nama Jawa dalam bahasa Cina sering dilakukan orang Cina.

''Hal ini juga terjadi pada zaman Belanda yang menyebut nama dan tempat menggunakan ejaan Belanda,'' katanya. Menurut Agus Sunyoto, disiplin ilmu Profesor Slamet Muljana, yang pernah mengajar di Fakultas Sastra Universitas Indonesia, bukan sejarah. "Ia adalah ahli bahasa atau ahli filologi,'' kata Agus. Dalam diskusi hari itu memang terlihat banyak kelemahan buku ini. Sayang, Slamet Muljana tak bisa lagi membela diri.

Slamet sudah meninggal beberapa tahun lalu. Penerbit LKiS malah belum bisa menemukan siapa ahli waris Slamet. ''Sudah kami cari tapi belum ketemu,'' kata Akhmad Fikri. Menurut dia, royalti buku ini tetap akan diberikan kepada ahli warisnya nanti jika mereka sudah ditemukan.

Sitaan Poortman Sulut Kontroversi
Sejak sekolah dasar, kita selalu dicekoki pelajaran sejarah tentang kerajaan-kerajaan yang ada di Nusantara. Cerita yang ditampilkan biasanya seragam dan seolah-olah punya pakem yang sama. Itu bisa dimengerti, karena selama ini kita mempelajari sejarah kerajaan, terutama kerajaan Hindu di Pulau Jawa, didasarkan dan dikutip dari sumber yang sama, Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda.

Keduanya dibuat pada zaman Kerajaan Mataram abad ke-17. Beberapa sejarawan sempat mempertanyakan kebenaran tulisan yang ada dalam Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Salah satunya adalah Slamet Muljana. Menurut dia, kedua cerita itu tak dirujuk ke sumber sejarah yang dapat dipercaya, yaitu prasasti dan karya sejarah tentang Majapahit, seperti buku Pararaton dan Negarakertagama.

Urutan kisah Kerajaan Majapahit sejak berdiri dampai runtuh ditulis dan dipahami secara populer oleh masyarakat Jawa melalui Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda. Uniknya, dalam kedua cerita itu, sejarah dijalin dengan dongeng. Sehingga sulit membedakan mana yang benar-benar fakta dan mana yang hanya dongeng.

Buku Slamet Muljana ini tak hanya menyandarkan kajiannya pada Babad Tanah Jawi dan Serat Kanda, juga pada naskah Kelenteng Sam Po Kong, Semarang, yang pernah ditulis oleh Poortman dan dikutip Mangaraja Onggang (M.O.) Parlindungan. Residen Poortman pada 1928 sempat menggeledah Kelenteng Sam Po Kong dan menyita tulisan berbahasa Cina yang umurnya mencapai 400 sampai 500 tahun.

Hasil dari bukti-bukti yang didapat Poortman itulah yang disusun M.O. Parlindungan dalam buku sejarah berjudul Tuanku Rao pada 1964. Dalam lampiran buku itu ada naskah berjudul "Peranan orang-orang Tonghoa/Islam/Hanafi di dalam perkembangan agama Islam di Pulau Jawa 1411-1564". Lampiran itu merupakan ringkasan hasil penyelidikan Residen Poortman.

Nah, kesimpulan buku Slamet Muljana bahwa sebagian Wali Songo berasal dari Cina atau keturunan Cina didasarkan pada lampiran itu. Dalam pengantarnya, peneliti LIPI Asvi Warman Adam memang menyayangkan Slamet Muljana yang hanya mendasarkan bukunya pada karya M.O. Parlindungan. Slamet tidak memeriksa sendiri naskah-naskah yang berasal dari Kelenteng Sam Po Kong.

Sawariyanto
Majalah Gatra edisi 28 / XI / 28 Mei 2005