Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Torey Hayden: Nyanyian di Perhentian Terakhir

Matanya menerawang. ''Sekolah ini mengingatkanku pada saat mengajar Sheila,'' kata Torey Hayden, ketika berkunjung ke SD Luar Biasa di kawasan Srengseng, Jakarta Selatan, Senin lalu. Memorinya berputar pada kejadian di awal 1970-an. Saat itu, usianya masih 22 tahun.

Torey, kini 55 tahun, ketika itu mengajar di sebuah sekolah luar biasa di California. Muridnya anak-anak bermasalah, dari yang mencoba bunuh diri, autis, sampai penderita skizofrenia. Mereka adalah anak-anak buangan yang ditampik di kelas lain. Kelasnya dijuluki "kelas sampah" --Torey menyebutnya sebagai julukan sayang. "Saya adalah perhentian terakhir sebelum mereka masuk rumah sakit jiwa," kata Torey.

Sheila tentulah yang paling gawat di "terminal" itu. Dia dikirim ke kelas Torey setelah menculik dan membakar anak berusia tiga tahun hingga nyaris mati. Ketika itu, Sheila berumur enam tahun. Wataknya khas anak jalanan: sangat agresif dan selalu membangkang. Ia juga pantang menitikkan air mata, baik ketika sedih, marah, maupun kesakitan.

Sheila memang korban "broken home". Ayahnya seorang pemabuk, dan ibunya meninggalkan dia di jalanan saat berusia empat tahun. Dengan kesabaran dan kasih yang mendalam, Torey menyentuh hati Sheila dan teman-temannya yang lain untuk kembali menemukan "hidup". Di balik sisi gelap, mereka menyimpan potensi luar biasa. Sheila, misalnya, ternyata punya IQ di atas 180.

Torey Hayden kemudian menyalin perjumpaan dengan Sheila itu menjadi sebuah buku, One Child. Buku yang oleh penulisnya hanya diniatkan sebagai catatan pribadi itu ternyata laris manis. "Sudah lama sekali tidak ada buku yang memberikan efek emosional sedahsyat One Child," tulis New York Times.

Torey pun segera menjadi lema baru sebagai penulis laris. Sejak itulah, buku-bukunya deras mengalir. Sebagian besar ditulis berdasarkan pengalamannya sebagai guru sekolah luar biasa. Kesepuluh bukunya sudah diterjemahkan di 32 negara. Torey kini sedang menyiapkan bukunya yang ke-11: Twilight Children. Akan dipublikasikan pada November 2004 di Italia, dan di Amerika Serikat, Maret 2005. "Di Indonesia mungkin baru Mei 2005," katanya.

Sebelumnya, tujuh buku Torey diterbitkan Qanita Mizan. Buku pertamanya, Sheila: Luka Hati Seorang Gadis Kecil alias One Child, mencetak bestseller di Indonesia. Sheila terjual hingga lebih dari 35.000 kopi. Pun buku-bukunya yang lain, sepeti Kevin: Belenggu Masa Lalu, Jadie: Tangis Tanpa Suara, dan Venus: Duka Lara Si Anak Cantik. Penjualan seluruh bukunya di Indonesia hampir mencapai angka 100.000 eksemplar.

Kata Torey, yang pernah mengajar di lima negara bagian Amerika Serikat itu, buku-buku yang ditulisnya bukan untuk menggugah rasa kasihan. Apalagi untuk mengundang pujian. Semuanya didedikasikan sebagai jawaban bagi orang-orang yang bertanya tentang rasa frustrasi dalam pekerjaannya bersama anak-anak sakit mental. 'Ini adalah nyanyian bagi jiwa manusia. Sebab, gadis kecil ini sama dengan kita semua. Dia mampu bertahan,'' tulisnya di pengantar buku Sheila.

Paruh pertama September ini, master bidang pendidikan khusus dari Montana State University itu bersafari ke tiga kota di Indonesia. Torey mengisi serangkaian acara, mulai book signing, workshop, hingga ceramah umum di Jakarta, Bandung, dan Yogyakarta.

Di tengah padatnya acara di Indonesia, ibu satu putri yang kini menetap di North Wales, Inggris, ini diwawancarai wartawan Gatra Astari Yanuarti dan Aulia Chloridiany di Hotel Nikko Jakarta, Selasa pekan lalu. Berikut petikannya:

Bagaimana rasanya berada di Indonesia?
Saya bukan orang yang terlalu sering berjalan-jalan. Jadi, ini pengalaman pertama saya ke bagian dunia ini. Dan ini hebat. Memang capek sekali (ia menempuh 15 jam penerbangan dari Wales, Inggris --Red.).

Apa yang membuat Anda mau datang ke sini?
Saya sangat tertarik untuk datang. Karena bagi saya, ini sangat membanggakan bahwa kisah seorang guru biasa di sebuah kelas biasa di pedesaan Amerika dapat menjangkau jarak sejauh ini dan lintas budaya. Ini sungguh sangat bermakna bagi saya. Saya punya pengalaman serupa di Jepang (buku Torey sangat laris di Jepang).

Tapi, Anda bukanlah guru biasa. Buku-buku Anda sangat menyentuh?
Tidak. Saya hanyalah seorang guru biasa (sambil tergelak). Saya hanya mengerjakan yang sedang saya inginkan saat itu. Saya menulis buku pertama saya, One Child (tokoh utamanya seorang gadis cilik dengan IQ di atas 180 tapi punya gangguan emosional bernama Sheila) untuk diri saya sendiri karena saya suka menulis.

Pengalaman bersama Sheila sangat berarti bagi saya. Itu mengubah hidup saya. Saya ingin mengenangnya dengan tulisan saya. Menulis bagi saya ibarat fotografi. Jika kamu menulis dengan baik, kamu bisa menengoknya sewaktu-waktu di perpustakaan. Kamu bisa merasakan perasaan kamu waktu itu.

Ketika mulai menulis kisah Sheila, saya tidak berencana membuat buku. Pada saat menyelesaikannya, saya baru sadar ternyata panjang juga, ya, dibandingkan tulisan-tulisan saya yang lain (tertawa). Saya baru berpikir, ini bisa dijadikan buku.

Benarkah One Child ditulis hanya dalam waktu 42 hari?
Sebenarnya hanya butuh delapan hari untuk menulisnya. Terhitung 42 hari hingga menandatangani kontrak dengan penerbit. Saya beruntung, penerbit pertama yang saya hubungi bersedia menerbitkan.

Kenapa Sheila begitu istimewa dibandingkan murid-murid Anda lainnya?
Ada yang tak biasa dalam diri Sheila. Dia sangat cerdas. Dia bisa mengartikulasikan perasaan. Karena dia anak-anak, sering kita tak menganggapnya (tertawa pahit). Dia sering bertanya banyak hal dengan jujur. Itu pengalaman yang tak biasa. Mencoba mengerti dan menjelaskan. Sheila punya dampak yang besar bagi saya.

Masih tetap kontak dengan Sheila?
Sayangnya sudah kehilangan kontak. Dia pasti sudah dewasa sekarang, hampir 40 tahun. Dia punya restoran dan tidak menikah.

Mengapa Anda lebih banyak menulis buku nonfiksi daripada fiksi?
Sebenarnya saya tidak pernah bercita-cita jadi guru anak-anak berkebutuhan khusus, apalagi menjadi penulis. Meski saya suka menulis. Waktu kecil, saya suka berkhayal. Saya menyendiri di taman belakang dan menulis, menulis, menulis. Saya menggambarkan dunia dengan lembar demi lembar tulisan. Saya hanya suka menulis.

Itulah yang terjadi. Saya suka menulis fiksi. Tapi, ketika saya menulis Sheila, saya berpikir, aha inilah buku! Dan ternyata dikategorikan sebagai nonfiksi karena berdasarkan kisah nyata. Dan ketika dipublikasikan, mendapat sambutan cukup baik. Di Amerika mendapat pujian "ini buku bagus". Dan mereka menawarkan untuk menulis buku lagi.

Di antara buku-buku karangan Anda, mana yang paling Anda sukai?
Pastinya, One Child. Itu buku saya yang masih perawan (tergelak). Seperti melahirkan bayi pertama. Saya sangat menikmati menulis buku-buku selanjutnya, tapi rasanya tetap berbeda.

Apa yang membuat Anda ingin mengajar anak-anak berkebutuhan khusus?
Ketika sekolah, saya murid yang pintar. Jadi arogan mungkin. Saya terlalu bangga dengan itu. Sekali waktu, saya mendapat pengalaman bekerja dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Pertama kalinya saya merasa tidak ada apa-apanya. Saya merasa tertantang. Itu menyentuh sisi kemanusiaan saya.

Apa yang sebenarnya dibutuhkan oleh mereka?
Saya kira dihormati, merasa diterima, merasa sama, merasa dikenali, perasaan seperti manusia biasa. Kau dan aku memang berbeda. Tapi kita sama saja sebagai manusia. Menghormati mereka sama seperti kita.

Pasti butuh kesabaran, dan Anda berhasil melakukannya. Bagaimana caranya?
Ya, pasti butuh kesabaran. Saya melakukannya dengan mengalir saja. Langkah terbesar untuk melakukan perubahan adalah kepekaan dari diri sendiri. Ada orang-orang yang butuh bantuan kita, dan kita harus membangun empati kita. Adalah wajar saja merasa tidak sabar. Tapi bagaimana menghadapi ini sebagai suatu perjalanan.

Kenapa berhenti mengajar, padahal banyak anak-anak yang butuh didikan Anda?
Jika saya melanjutkan mengajar, apakah anak-anak Indonesia bisa merasakan ajaran saya? Saya tidak akan bisa mempengaruhi anak-anak di Indonesia. Saya menyadari, sebagai seorang guru, saya tidak merasa terlalu istimewa. Kenyataannya, banyak guru yang jauh lebih bagus di luar sana. Jika saya bisa memanfaatkan kemampuan saya untuk menginspirasi orang-orang muda untuk mengajar, membangkitkan semangat guru-guru yang sedang lelah mengajar, saya bisa menjangkau lebih banyak anak-anak daripada saya tetap di dalam kelas.

Bagaimana rasanya mendidik putri Anda, Sheena, yang normal, sementara Anda biasa berhadapan dengan anak-anak berkebutuhan khusus?
Sebenarnya Sheena bukan gadis normal. Dia mengalami proses kelahiran yang amat sulit. Ini mempengaruhi otak kiri dan tubuhnya. Untungnya, kerusakannya tak seberapa parah. Dia mengalami kesulitan berbicara. Sampai umur tiga tahun, dia mendapat pendidikan khusus. Dia juga lambat melangkah, berjalan, berlari. Saat ini mungkin tidak terlalu terlihat, tapi dia gampang lelah. Ini mempengaruhi penglihatannya. Dia tak dapat melihat dengan jelas. Bola matanya bergerak tak berkoordinasi.

Adakah perbedaan saat mengasuh anak sendiri dan murid yang juga berkebutuhan khusus?
Ya, ini sungguh kejutan besar buat saya. Saya harus ekstra sabar menghadapi anak-anak orang lain yang berkebutuhan khusus, dan saya terkadang tidak sabar menghadapi anak sendiri (tertawa). Ini mungkin karena Anda punya keterikatan khusus dengan anak Anda. Anda sadari bahwa anak Anda adalah yang terpenting buat Anda. Murid saya bisa datang dan pergi, tapi Sheena akan selalu ada buat saya.

Majalah Gatra edisi 45 / X / 25 September 2004