Timbul dan Tenggelamnya Majalah Kebudayaan
Pengantar
Tulisan ini tidak berpretensi lengkap dan menyeluruh mengenai majalah kebudayaan. Ada kemungkinan beberapa majalah kebudayaan yang pernah terbit di Indonesia lolos dari pengamatan dari penulis.
Tulisan ini hanya bermaksud menarik perhatian pembaca terhadap majalah kebudayaan di Indonesia. Siapa tahu ada yang tertarik mengadakan penelitian yang serius dan komprehensif.
Timbul Tenggelam
Timbul tenggelamnya majalah kebudayaan (dalam tulisan ini mencakup pengertian majalah seni dan majalah sastra) di Indonesia, sesungguhnya bukanlah gejala baru. Sejarah kesusastraan Indonesia modern, misalnya, justru ditandai dengan timbul tenggelamnya puluhan majalah kebudayaan.
Tahun 1930-an, kita mengenai satu majalah kebudayaan, yakni Pujangga Baru yang diasuh oleh, antara lain, S. Takdir Alisyahbana dan Amir Hamzah. Terbit pertama kali tahun 1933, kemudian berhenti terbit tahun 1942. Sesudah Indonesia merdeka, majalah ini muncul kembali pada tahun 1948. Namun, hanya mampu bertahan hingga tahun 1953. Jadi, secara keseluruhan masa hidupnya hanya 16 tahun.
Tahun1940-an (setelah kemerdekaan), muncul beberapa majalah kebudayaan, yaitu Seniman di Solo (redakturnya antara S. Soedjojono dan Trisno Sumardjo, Arena (1948) di Yogyakarta, redakturnya antara lain Usmar Ismail), Gema Suasana (kemudian Gema, 1948-1951), dan Indonesia (1948-1965) di Jakarta, dari keempat majalah ini, ternyata hanya majalah Indonesia yang dapat berumur panjang (17 tahun). Selebihnya, mati di tengah jalan.
Tahun 50-an adalah tahun yang paling subur dalam sejarah majalah kebudayaan di Indonesia. Tidak kurang dari sepuluh majalah kebudayaan lahir dalam dekade ini, yaitu majaiah Basis (1951-sekarang), Zenith (1951-1954), Budaya (1953-1962), Kisah (1953-1956), Konfrontasi (1954-1962), Prosa (1955), Seni (1955), Zaman Baru (1955-1956), Sulawesi (1958), dan Pustaka dan Budaya (1959-1964). Dari kesepuluh majalah ini, ternyata hanya empat majalah yang mampu bertahan hingga tahun 1960-an (yaitu Basis, Budaya, Konfrontasi, serta Pustaka dan Budaya). Selebihnya, gugur satu per satu di tengah jalan. Selanjutnya, dari keempat majalah itu, hanya majalah Basis yang bisa menyeberang ke tahun 1970-an (untuk selanjutnya ke tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000-an).
Tahun 1960-an sendiri hanya tercatat lima majalah kebudayaan yang muncul, yaitu majalah Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Horison (1966-sekarang), Gelanggang (1966-1967), Tjerpen (1966-1967), dan Budaya Jaya (1968-1979). Dari kelima majalah ini, hanya dua majalah yang mampu melangkah ke tahun 1970-an (yaitu Horison dan Budaya Jaya). Seperti kita ketahui, hanya majalah Horison yang tetap awet hingga hari ini (tahun 2002).
Tahun 1970-an sebetulnya ada beberapa majalah kebudayaan terbit meski dalam skala kecil. Di antaranya adalah Tifa Sastra (1972-1980) terbitan Fakultas Sastra UI dan Trem (1977-1978; diasuh oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto) terbitan Surabaya.
Tahun 1980-an terbit satu majalah kebudayaan di Yogyakarta, yaitu Citra Yogya (1988-) yang ditangani antara lain oleh Linus Suryadi AG, Indra Tranggono, dan Sunardian Wirodono.
Tahun 1990-an terbit lima majalah kebudayaan, yaitu majalah Menyimak (1992; diasuh oleh Elmustian Rakhman dan Wise Marwin) terbitan Pekanbaru, Kalimas (1993; diasuh oleh Moes Loindong, Tengsoe Tjahjono, M. Shoim Anwar, dan Tjahjono Widarmanto) terbitan Surabaya, Kalam (1994; diasuh oleh Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, dll.), Cak (1994; diasuh oleh Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, Putu Wirata Dwikora, dll.) terbitan Denpasar dan Kolong (1995; diasuh oleh Dorothea Rosa Herliany dan Andreas Darmanto) terbitan Magelang. Dari lima majalah ini hanya majalah Kalam (terbit tiga bulanan) yang bertahan hingga sekarang. Sementara, Kolong setelah vakum beberapa lama, mulai tahun 2001 sempat muncul kembali dengan format barunya.
Tahun 2000-an terbit majalah Sastra (diasuh oleh Mursal Esten, Hasanuddin WS, dll.) di Bandung. Sayang, majalah Ini hanya bertahan kurang dari satu tahun, lalu mati. Kemudian ada pula majalah Berdaulat (2000; diasuh oleh Syaukani Al Karim, Merie Ibni Zairi, dll.) terbitan Pekanbaru.
Penelitian
Dari paparan singkat di atas, nyatalah bahwa banyak majalah kebudayaan yang terbit di Indonesia sejak tahun 1930-an hingga tahun 2000-an. Namun, hanya tiga di antaranya yang bertahan hidup hingga kini.
Dari sekian banyak majalah kebudayaan itu, majalah Basis-lah yang paling lama bertahan hidup (51 tahun), disusul dengan majaiah Horison (36 tahun), Indonesia (18 tahun), Pujangga Baru (16 tahun), dan Budaya Jaya (12 tahun). Selebihnya, tidak ada yang bisa hidup sampai sepuluh tahun. Beberapa di antaranya hanya bertahan beberapa tahun, bahkan ada yang tidak sampai setahun.
Dari kelima majalah kebudayaan itu, hanya dua yang bisa bertahan hingga sekarang, yaitu Basis dan Horison, Kita belum tahu apakah Kalam (1994-), dan Kolong, akan bertahan terus atau mengalami nasib serupa dengan kebanyakan majalah kebudayaan itu.
Sayang, sampai sekarang belum pernah diadakan penelitian mendalam dan serius mengenai timbul tenggelamnya majalah kebudayaan di Indonesia. Dengan demikian: kita tidak tahu persis kenapa satu majalah kebudayaan mati di tengah jalan. Lalu, kenapa ada juga satu-dua majalah kebudayaan yang bisa bertahan. Jadi, sampai sekarang kita hanya menduga-duga mengapa satu majalah mati muda dan mengapa majalah lain mampu bertahan lama. Jakob Sumardjo pernah menulis artikel “Pasang Surut Majalah Kebudayaan Indonesia” di harian Kompas, 13 Agustus 1974 dan kemudian dimuat kembali daiam buku E. Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: KPG, 2000, halaman 631-637). Menurut Jakob Sumardjo, “majalah-majalah budaya kita memang diasuh oleh orang-orang yang berkompeten.” Namun, Jakob juga menambahkan bahwa majalah-majalah kebudayaan bisa bertahan hidup karena beberapa hal. Pertama, majalah itu mempunyai sponsor keuangan. Kedua, gaji redaktur dan pegawai majalah terjamin. Ketiga, majalah itu bukan mengejar keuntungan komersial, tapi keuntungan kultural.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa majalah Basis dan Horison mampu bertahan hingga sekarang? Apa rahasianya? Apa kiatnya?
Di samping para pengasuhnya yang kompeten, ada kemungkinan kedua majalah (Basis dan Horison) ini pun memenuhi persyaratan yang disebutkan Jakob Sumardjo: (a) ada sponsor keuangan, (b) gaji pengelola majalah terjamin, (c) dan majalah itu tidak mengejar keuntungan komersial.
Kenapa muncul dugaan ini? Kalau hanya mengandalkan penjualan majalah Basis dan Horison, pastilah kedua majalah ini tidak bisa menutupi ongkos cetak (biaya produksi) mereka. Apalagi masih ditambah dengan menggaji karyawannya (redaktur, pegawai, dll,), Di samping itu, kita pun tahu bahwa majalah Basis dan Horison selalu sepi dari iklan.
Penutup
Meskipun data majalah kebudayaan di Indonesia belum lengkap, dari paparan singkat itu ada beberapa hal yang bisa disimpulkan.
Pertama, sekadar menerbitkan majalah kebudayaan tidaklah sukar. Yang sukar adalah memelihara dan mengelolanya agar tetap bertahan hidup.
Kedua, sebelum menerbitkan majalah kebudayaan, perlulah dikaji secara sungguh-sungguh perihal modal, SDM, dan kesejahteraan para pengelola majalah itu. Dengan demikian, tidak muncul majalah kebudayaan yang terbit beberapa nomor, setelah itu mati.
Ketiga, sebelum menerbitkan majalah kebudayaan perlulah ditetapkan dari awal apakah majalah itu mengejar keuntungan komersial atau tidak, Pengalaman menunjukkan, majalah kebudayaan yang mengejar keuntungan komersial tidak bisa hidup di Indonesia.
Keempat, penelitian mengenai majalah kebudayaan (dengan segala seluk-beluknya) di seluruh Indonesia sejak dulu hingga sekarang perlu dilakukan. Dengan demikian, kita mempunyai peta majalah kebudayaan Indonesia dengan segala permasalahannya.
Tulisan ini tidak berpretensi lengkap dan menyeluruh mengenai majalah kebudayaan. Ada kemungkinan beberapa majalah kebudayaan yang pernah terbit di Indonesia lolos dari pengamatan dari penulis.
Tulisan ini hanya bermaksud menarik perhatian pembaca terhadap majalah kebudayaan di Indonesia. Siapa tahu ada yang tertarik mengadakan penelitian yang serius dan komprehensif.
Timbul Tenggelam
Timbul tenggelamnya majalah kebudayaan (dalam tulisan ini mencakup pengertian majalah seni dan majalah sastra) di Indonesia, sesungguhnya bukanlah gejala baru. Sejarah kesusastraan Indonesia modern, misalnya, justru ditandai dengan timbul tenggelamnya puluhan majalah kebudayaan.
Tahun 1930-an, kita mengenai satu majalah kebudayaan, yakni Pujangga Baru yang diasuh oleh, antara lain, S. Takdir Alisyahbana dan Amir Hamzah. Terbit pertama kali tahun 1933, kemudian berhenti terbit tahun 1942. Sesudah Indonesia merdeka, majalah ini muncul kembali pada tahun 1948. Namun, hanya mampu bertahan hingga tahun 1953. Jadi, secara keseluruhan masa hidupnya hanya 16 tahun.
Tahun1940-an (setelah kemerdekaan), muncul beberapa majalah kebudayaan, yaitu Seniman di Solo (redakturnya antara S. Soedjojono dan Trisno Sumardjo, Arena (1948) di Yogyakarta, redakturnya antara lain Usmar Ismail), Gema Suasana (kemudian Gema, 1948-1951), dan Indonesia (1948-1965) di Jakarta, dari keempat majalah ini, ternyata hanya majalah Indonesia yang dapat berumur panjang (17 tahun). Selebihnya, mati di tengah jalan.
Tahun 50-an adalah tahun yang paling subur dalam sejarah majalah kebudayaan di Indonesia. Tidak kurang dari sepuluh majalah kebudayaan lahir dalam dekade ini, yaitu majaiah Basis (1951-sekarang), Zenith (1951-1954), Budaya (1953-1962), Kisah (1953-1956), Konfrontasi (1954-1962), Prosa (1955), Seni (1955), Zaman Baru (1955-1956), Sulawesi (1958), dan Pustaka dan Budaya (1959-1964). Dari kesepuluh majalah ini, ternyata hanya empat majalah yang mampu bertahan hingga tahun 1960-an (yaitu Basis, Budaya, Konfrontasi, serta Pustaka dan Budaya). Selebihnya, gugur satu per satu di tengah jalan. Selanjutnya, dari keempat majalah itu, hanya majalah Basis yang bisa menyeberang ke tahun 1970-an (untuk selanjutnya ke tahun 1980-an, 1990-an, dan 2000-an).
Tahun 1960-an sendiri hanya tercatat lima majalah kebudayaan yang muncul, yaitu majalah Sastra (1961-1964 dan 1967-1969), Horison (1966-sekarang), Gelanggang (1966-1967), Tjerpen (1966-1967), dan Budaya Jaya (1968-1979). Dari kelima majalah ini, hanya dua majalah yang mampu melangkah ke tahun 1970-an (yaitu Horison dan Budaya Jaya). Seperti kita ketahui, hanya majalah Horison yang tetap awet hingga hari ini (tahun 2002).
Tahun 1970-an sebetulnya ada beberapa majalah kebudayaan terbit meski dalam skala kecil. Di antaranya adalah Tifa Sastra (1972-1980) terbitan Fakultas Sastra UI dan Trem (1977-1978; diasuh oleh Nurinwa Ki S. Hendrowinoto) terbitan Surabaya.
Tahun 1980-an terbit satu majalah kebudayaan di Yogyakarta, yaitu Citra Yogya (1988-) yang ditangani antara lain oleh Linus Suryadi AG, Indra Tranggono, dan Sunardian Wirodono.
Tahun 1990-an terbit lima majalah kebudayaan, yaitu majalah Menyimak (1992; diasuh oleh Elmustian Rakhman dan Wise Marwin) terbitan Pekanbaru, Kalimas (1993; diasuh oleh Moes Loindong, Tengsoe Tjahjono, M. Shoim Anwar, dan Tjahjono Widarmanto) terbitan Surabaya, Kalam (1994; diasuh oleh Goenawan Mohamad, Nirwan Dewanto, Ayu Utami, dll.), Cak (1994; diasuh oleh Tan Lioe Ie, Putu Fajar Arcana, Putu Wirata Dwikora, dll.) terbitan Denpasar dan Kolong (1995; diasuh oleh Dorothea Rosa Herliany dan Andreas Darmanto) terbitan Magelang. Dari lima majalah ini hanya majalah Kalam (terbit tiga bulanan) yang bertahan hingga sekarang. Sementara, Kolong setelah vakum beberapa lama, mulai tahun 2001 sempat muncul kembali dengan format barunya.
Tahun 2000-an terbit majalah Sastra (diasuh oleh Mursal Esten, Hasanuddin WS, dll.) di Bandung. Sayang, majalah Ini hanya bertahan kurang dari satu tahun, lalu mati. Kemudian ada pula majalah Berdaulat (2000; diasuh oleh Syaukani Al Karim, Merie Ibni Zairi, dll.) terbitan Pekanbaru.
Penelitian
Dari paparan singkat di atas, nyatalah bahwa banyak majalah kebudayaan yang terbit di Indonesia sejak tahun 1930-an hingga tahun 2000-an. Namun, hanya tiga di antaranya yang bertahan hidup hingga kini.
Dari sekian banyak majalah kebudayaan itu, majalah Basis-lah yang paling lama bertahan hidup (51 tahun), disusul dengan majaiah Horison (36 tahun), Indonesia (18 tahun), Pujangga Baru (16 tahun), dan Budaya Jaya (12 tahun). Selebihnya, tidak ada yang bisa hidup sampai sepuluh tahun. Beberapa di antaranya hanya bertahan beberapa tahun, bahkan ada yang tidak sampai setahun.
Dari kelima majalah kebudayaan itu, hanya dua yang bisa bertahan hingga sekarang, yaitu Basis dan Horison, Kita belum tahu apakah Kalam (1994-), dan Kolong, akan bertahan terus atau mengalami nasib serupa dengan kebanyakan majalah kebudayaan itu.
Sayang, sampai sekarang belum pernah diadakan penelitian mendalam dan serius mengenai timbul tenggelamnya majalah kebudayaan di Indonesia. Dengan demikian: kita tidak tahu persis kenapa satu majalah kebudayaan mati di tengah jalan. Lalu, kenapa ada juga satu-dua majalah kebudayaan yang bisa bertahan. Jadi, sampai sekarang kita hanya menduga-duga mengapa satu majalah mati muda dan mengapa majalah lain mampu bertahan lama. Jakob Sumardjo pernah menulis artikel “Pasang Surut Majalah Kebudayaan Indonesia” di harian Kompas, 13 Agustus 1974 dan kemudian dimuat kembali daiam buku E. Ulrich Kratz (ed.), Sumber Terpilih Sejarah Sastra Indonesia Abad XX (Jakarta: KPG, 2000, halaman 631-637). Menurut Jakob Sumardjo, “majalah-majalah budaya kita memang diasuh oleh orang-orang yang berkompeten.” Namun, Jakob juga menambahkan bahwa majalah-majalah kebudayaan bisa bertahan hidup karena beberapa hal. Pertama, majalah itu mempunyai sponsor keuangan. Kedua, gaji redaktur dan pegawai majalah terjamin. Ketiga, majalah itu bukan mengejar keuntungan komersial, tapi keuntungan kultural.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah kenapa majalah Basis dan Horison mampu bertahan hingga sekarang? Apa rahasianya? Apa kiatnya?
Di samping para pengasuhnya yang kompeten, ada kemungkinan kedua majalah (Basis dan Horison) ini pun memenuhi persyaratan yang disebutkan Jakob Sumardjo: (a) ada sponsor keuangan, (b) gaji pengelola majalah terjamin, (c) dan majalah itu tidak mengejar keuntungan komersial.
Kenapa muncul dugaan ini? Kalau hanya mengandalkan penjualan majalah Basis dan Horison, pastilah kedua majalah ini tidak bisa menutupi ongkos cetak (biaya produksi) mereka. Apalagi masih ditambah dengan menggaji karyawannya (redaktur, pegawai, dll,), Di samping itu, kita pun tahu bahwa majalah Basis dan Horison selalu sepi dari iklan.
Penutup
Meskipun data majalah kebudayaan di Indonesia belum lengkap, dari paparan singkat itu ada beberapa hal yang bisa disimpulkan.
Pertama, sekadar menerbitkan majalah kebudayaan tidaklah sukar. Yang sukar adalah memelihara dan mengelolanya agar tetap bertahan hidup.
Kedua, sebelum menerbitkan majalah kebudayaan, perlulah dikaji secara sungguh-sungguh perihal modal, SDM, dan kesejahteraan para pengelola majalah itu. Dengan demikian, tidak muncul majalah kebudayaan yang terbit beberapa nomor, setelah itu mati.
Ketiga, sebelum menerbitkan majalah kebudayaan perlulah ditetapkan dari awal apakah majalah itu mengejar keuntungan komersial atau tidak, Pengalaman menunjukkan, majalah kebudayaan yang mengejar keuntungan komersial tidak bisa hidup di Indonesia.
Keempat, penelitian mengenai majalah kebudayaan (dengan segala seluk-beluknya) di seluruh Indonesia sejak dulu hingga sekarang perlu dilakukan. Dengan demikian, kita mempunyai peta majalah kebudayaan Indonesia dengan segala permasalahannya.
Pamusuk Eneste
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 4/November 2002