Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Terbit dan Tenggelamnya Penerbit Alternatif Yogya

“Berdirinya Shalahuddin Pers menandai kemunculan penerbit alternatif Yogya,” ucap Buldanul Khuri. Menurut alumni Shalahuddin Pers ini, organisasi Jamaah Shalahuddin UGM mendirikan penerbitan tersebut pada tahun 1983. Buku-buku yang diterbitkan oleh Shalahuddin Pers memiliki ciri khas yang menginspirasi kemunculan penerbit-penerbit alternatif Yogya di masa depan. Hal ini terlihat dari buku-buku Shalahuddin Pers yang mengedukasi pembacanya dengan konten wacana kritis. Penerbit yang didirikan oleh Ahmad Fanani ini menerbitkan berbagai karya yang bertemakan wacana agama yang sebelumnya tidak pernah dilakukan oleh penerbit lain. “Kami pernah menerbitkan buku Ali Syari’ati dan kumpulan cerpen Muhammad
Diponegoro,” ungkap Buldanul.

Adhe Ma’aruf, pimpinan penerbit Jendela, menjelaskan bahwa wajah perbukuan di Yogya kala itu turut diramaikan oleh munculnya penulis-penulis baru yang dikenalkan oleh Shalahuddin Pers. Salah satu penulis yang menerbitkan karya awalnya dari Shalahuddin Pers adalah Emha Ainun Najib, atau yang sekarang lebih dikenal dengan sapaan Cak Nun. Shalahuddin Pers juga pernah menerbitkan karya pertama Kuntowijoyo mengenai teori sejarah, sebelum dirinya dikenal sebagai pemikir berpengaruh Indonesia. Namun, bagi Mustofa Wazir Hasyim selaku alumni dari Shalahuddin Pers, aktivitas penerbitan kala itu juga menemui berbagai hambatan. Pasalnya, hak kebebasan berpendapat saat itu dihambat oleh kontrol ketat dari pemerintahan Orde Baru (Orba). Ia mencotohkan, ketika Mustofa bekerja pada lembaga pers Harian Masa Kini. “Ketika kami memberitakan peristiwa penguburan anggota PKI, beberapa tentara datang dengan ancaman pemberedelan,” tutur Mustofa.

Mustofa menambahkan bahwa penerbit kala itu harus menyesuaikan konten yang diterbitkan agar tidak ditutup secara paksa. Hal ini dilakukan karena beberapa konten tertentu dilarang disebarkan pada masa pemerintahan Orba. Salah satu bentuk penyesuaian tersebut dialami oleh Shalahuddin Pers. Penyesuaian itu terjadi pada buku yang mengusung tema revolusi Iran. “Tema tulisan yang memuat konten Syi’ah diubah agar lebih mudah diterima oleh pemerintah dan masyarakat yang mayoritas beragama Islam aliran Sunni,” ujar Mustofa.

Represi dari pemerintahan Orba tidak membuat para penerbit alternatif berdiam diri. Perlawanan dilakukan oleh sekumpulan mahasiswa Institut Agama Islam Nasional Yogyakarta (IAIN) Yogya melalui Lembaga Kajian Islam dan Sosial (LKiS). Bagi Ahmala Arifin, kepala redaksi LKiS, kegiatan penerbitan kala itu merupakan sebuah gerakan perlawanan terhadap represi Orba. Gerakan itu dilakukan dengan kajian
dan bedah buku yang dilakukan di lingkungan kampus yang saat ini bernama Universitas Islam Nasional (UIN) Sunan Kalijaga. “Kami mengeluarkan buku Kiri Islam yang mengkritik pemerintahan Orba lewat sudut pandang Islam,” pungkas Ahmala.

Setelah Orba, Adhe berpendapat bahwa reformasi mempermudah kebebasan berpendapat yang sebelumnya direpresi. Akibatnya, berbagai penerbit alternatif berdiri untuk menerbitkan buku-buku yang sebelumnya dilarang beredar, seperti buku yang memiliki konten kiri layaknya komunisme. Pada tahun 1998, penerbit Media Presindo muncul, lalu setahun kemudian, penerbit Jendela, Indonesia Perak, dan Yayasan untuk Indonesia juga turut meramaikan dunia penerbitan alternatif. Setelah tahun 1998, ada 114 penerbit alternatif didirikan (Jurnal Balairung 34, 2001:72).

Ciri khas yang dimiliki penerbitan alternatif Yogya bagi Adhe dipengaruhi oleh latar belakang pelaku penerbitan itu sendiri. Menurut Adhe, pelaku penerbit alternatif Yogya merupakan kelompok yang mencintai buku. Sebagai pecinta buku, mereka menganggap penerbitan sebagai sebuah kerja kebudayaan. Bersamaan dengan kesamaan latar belakang tersebut, penerbit alternatif di Yogya memiliki kesamaan dalam tema yang diangkat. Hal ini terjadi akibat para penerbit alternatif Yogya selektif dalam memilih karya yang akan diterbitkannya, agar dapat mengedukasi masyarakat. Berbagai buku yang diterbitkan oleh penerbit alternatif Yogya bahkan didapat dari skripsi sarjana. “Saya sudah menerbitkan skripsi Eka Kurniawan sebelum penerbit mayor menyadari potensinya,” kata Adhe.

Walaupun sempat mengalami masa kejayaan, Wawan Arif selaku Wakil Ketua Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) Yogya mengatakan bahwa penerbit alternatif Yogya mengalami masa surut setelah tahun 2005. Ia menjelaskan bahwa terdapat tiga faktor yang mempengaruhi surutnya penerbit alternatif Yogya. Ketiga faktor tersebut adalah faktor redaksi, produksi, dan distribusi. Wawan mengakui bahwa penerbit alternatif Yogya tidak menguasai semua faktor tersebut. “Meski didukung oleh sistem redaksi yang terorganisir dalam pemilihan karya-karyanya, hal tersebut tidak didukung oleh sistem produksi dan distribusi produk yang baik,” ucap Wawan.

Buruknya penerbit alternatif dalam mengelola fase produksi dan distribusinya juga diakui oleh Mustofa. Baginya, kedua permasalahan itu terjadi karena para penggerak penerbit alternatif tidak memiliki pengalaman di bidang manajemen. Kurangnya pengalaman itu mengakibatkan modal penjualan tidak kembali, sehingga penerbit mengalami kerugian. Mustofa juga menjelaskan bahwa permasalahan sistem pembayaran yang diterapkan toko buku selaku distributor mengakibatkan biaya distribusi buku melambung. Menurut Salman Faridi, pemimpin penerbit Bentang, beberapa toko buku bahkan ada yang memalsukan laporan penjualan. Penerbit akhirnya mengalami kerugian akibat distributor meraup keuntungan berlebih. “Kami lebih sulit melakukan produksi lagi akibat biaya pengeluaran lebih tinggi,” tambah Mustofa.

Ahmala menambahkan, kemunduran penerbit alternatif Yogya diperparah oleh faktor pembaca buku itu sendiri. Ahmala menjelaskan bahwa selera pasar yang lebih beragam merubah tren buku di kalangan mahasiswa selaku konsumen terbesar dari penerbit alternatif Yogya. Bagi Ahmala, salah satu hal yang mempengaruhi perubahan ini berasal dari semakin mudahnya akses informasi yang didapatkan pembaca melalui internet. Perubahan ini membuat mahasiswa tidak lagi menggunakan buku cetak sebagai sumber informasi saat mengerjakan makalah atau skripsi. Selain itu, perubahan ini terjadi ketika para pembaca mulai meninggalkan buku wacana kritis sebagai bentuk gerakan perlawanan akibat suasana politik yang sudah berubah. “Hilangnya Orba sebagai musuh bersama membuat mahasiswa enggan berpikir kritis seperti saat perlawanan dilakukan dulu,” jelas Ahmala.

Bagi Ahmala, kondisi pembaca yang berubah turut mempengaruhi konten buku dari penerbit alternatif Yogya. Perubahan ini terlihat pada kecenderungan pembaca untuk membeli buku-buku praktis yang mudah dipahami ketimbang buku kritis. Padahal, kehadiran buku praktis hanya berguna bagi pembaca yang memiliki orientasi pragmatis. Ia mencotohkan, mahasiswa yang mempelajari otomotif hanya membeli buku otomotif saja, sehingga pembaca tidak mengalami perkembangan di luar disiplin ilmunya sendiri. Melihat perubahan ini, Ahmala menduga bahwa para penerbit mengubah konten bukunya agar tetap laku di pasaran. Ia menambahkan, perubahan ini bukanlah hal yang menguntungkan penerbit serta konsumen. Pada akhirnya, Ahmala berharap agar para mahasiswa tidak hanya membaca buku praktis saja. “Pengembangan diri pembaca melalui buku-buku kritis harus tetap dilakukan untuk memperluas wawasan,” harap Ahmala.

Amal, Bernard, Ami
Balkon Balairung Press Edisi Spesial 2016