Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Tata Kelola Penerbitan Buruk, UGM Press Tuai Kritik

Pada 1959 masa pemerintahan Soekarno, Prof. Dr. Prijono, Menteri Pendidikan Pengajaran dan Kebudayaan mengeluarkan instruksi menteri. Instruksi tersebut dikenal dengan nama “Sapta Usaha Tama dan Pancawardhana”. Salah satu poin instruksi tersebut adalah pembangunan kecerdasan masyarakat. Hal itu memicu Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIPOL) UGM mendirikan percetakan ditingkat fakultas. Kebijakan tersebut bertujuan untuk memudahkan sivitas akademik FISIPOL dalam mencari literatur.

Akan tetapi, sejak 30 Juni 1971, Prof. Soeroso Prawirohardjo, selaku Rektor UGM melalui SK Rektor UGM No. UGM/40/P/C mengambil alih percetakan tersebut di bawah wewenang PT. Gama Multi. Hal ini sebagai langkah untuk melebarkan sayap ke lingkup universitas, tak hanya FISIPOL. Nama percetakan tersebut pun berubah menjadi Gama Press. Selain itu, Gama Press tidak hanya sebagai percetakan, melainkan juga sebagai penerbitan yang berorientasi pada laba layaknya PT. Gama Multi.

Kemudian, pada 2013 Gama Press berubah fungsi menjadi Unit Penunjang Universitas, yang hanya berorientasi pada akademik, berbeda pada saat menjadi unit usaha. Gama Press bertanggung jawab kepada Wakil Rektor III Bidang Penelitian dan Pengabdian Masyarakat, serta di bawah pengawasan Badan Penerbit dan Publikasi (BPP). Nama Gama Press pun juga berubah menjadi UGM Press hingga saat ini.

Sejak BPP membawahi UGM Press, mereka menawarkan program hibah penelitian kepada sivitas akademik UGM yang selanjutnya diterbitkan dalam bentuk buku. Harno Dwi Pranowo, selaku Kepala BPP, menuturkan bahwa program tersebut berupa pemberian dana hibah dengan syarat melakukan penelitian. Ia menjelaskan bahwa sivitas akademik bukan hanya dosen, tetapi juga mahasiswa UGM pada jenjang S2 dan S3. “Program hibah belum kami fokuskan ke mahasiswa S1, karena jangka waktu S1 yang hanya satu tahun untuk menggarap buku yaitu hanya pada saat skripsi, ” terang Harno.

Ia menambahkan, langkah ini ditujukan untuk memotivasi sivitas akademik UGM agar mau menulis dan menerbitkan di UGM Press. Harno mengatakan, dosen lebih memilih untuk penelitian di luar UGM. Selain itu, program tersebut juga untuk meningkatkan kualitas tulisan dan produktivitas penelitian. “Menurut kami, penelitian di UGM perlu didorong lagi, karena minat penelitian untuk UGM sedang lesu,” terang Harno.

BPP juga telah menetapkan prosedur program hibah ini. “Penulis mengajukan proposal penelitian kepada kami, kemudian diseleksi oleh tim seleksi dari kami juga,” terang Harno. Ia pun melanjutkan, setelah itu penulis yang terpilih menyerahkan naskah hasil penelitian kepada BPP. Kemudian, mereka akan melakukan pendampingan dari proses pengeditan hingga proses cetak. Setelah melewati proses cetak, penulis akan mendapatkan insentif kurang lebih 15 juta rupiah, tetapi itu semua belum termasuk potongan pajak dan biaya lainnya.

Ana Nadya Abrar, dosen Ilmu Komunikasi UGM, yang tahun ini menerbitkan buku “Menatap Jurnalisme Masa Depan” di UGM Press, mengaku menerima insentif sebesar 15 juta rupiah tersebut. Hal itu karena ia menerbitkan melalui program hibah. Namun, menurutnya mekanisme tersebut tidaklah adil bagi penulis. Ia pun mencontohkan dengan pengandaian apabila buku meledak di pasaran. Buku tersebut dimungkinkan meraup untung lebih dari 15 juta. Pada akhirnya, keuntungan penerbit menjadi lebih banyak dan royalti bagi penulis pun seharusnya bertambah. Nyatanya, apabila menggunakan mekanisme program hibah, hal itu tidak berpengaruh pada insentif penulis. Bahkan, kemungkinan terjadi ketimpangan keuntungan antara penulis dan UGM Press.

Senada dengan Abrar, Aprinus Salam, dosen jurusan Sastra Indonesia UGM, yang juga pernah menerbitkan buku melalui program hibah pun menyatakan pendapatnya. Ia menuturkan bahwa, mekanisme dari BPP terlalu kaku dengan prosedur proposal hingga revisi. Ia pun menambahkan, jika prosedur sedemikian rumit akan menurunkan minat untuk menerbitkan buku di UGM Press, terutama melalui progam hibah. Selain mekanisme, desain tata letak pada buku di UGM Press mempengaruhi minat menerbitkan penulis. Aprinus mencontohkan dengan buku yang ia tulis yaitu “Politik dan Budaya Kebudayaan”. Pada buku tersebut, Aprinus mengatakan bahwa, desain muka sama sekali tidak imajinatif dan tidak bisa mencerminkan isinya.

Sementara itu, Abrar mengutarakan pendapatnya mengenai UGM Press yang ia anggap sebagai percetakan karena hanya mencetak hasil seleksi BPP. “Sebagai penerbitan, seharusnya yang menentukan layak cetak atau tidak adalah UGM Press, bukan BPP” terang Abrar. Harno berdalih prosedur itu disebabkan UGM Press secara struktural berada dibawah naungan BPP. “Sehingga penentuan standar dari BPP dan UGM Press tidak dapat dipisah,” jelas Harno.

Meski ditentukan BPP, Syamsul Maarif selaku koordinator bagian Penerbitan UGM Press menyatakan bahwa UGM Press memiliki idealitas tersendiri. Idealis yang dimaksudkan, UGM Press memiliki preferensi dengan buku-buku perkuliahan sains dan teknologi (saintek). Hal tersebut berbeda dengan penerbit seperti Resist Book yang memiliki preferensi buku- buku wacana. Meskipun demikian, UGM Press tetap mencetak buku sosio humaniora (soshum) karena sebagai unit penunjang universitas.

Idealitas semacam itu juga mengundang kritik dari Abrar. Ia menyatakan bahwa UGM Press seharusnya mampu imbang pada setiap kluster. Menurutnya, UGM Press jangan hanya memfokuskan diri memasok buku-buku diktat Saintek. “UGM Press jangan hanya membawa nama UGM, namun juga membawa pesan sebagai penerbitan universitas yang bisa menaungi semua kluster,” terangnya.

Syamsul menuturkan, sebenarnya UGM Press juga menerapkan mekanisme lain dalam menerbitkan karya, yaitu melalui inisiatif sendiri. Seperti yang dilakukan empat mahasiswa silvagama Fakultas Kehutanan UGM yang berjudul “Cerita dari Timur: Catatan Perjalanan Ekspedisi Taman Nasional”. Novita Ratna Dewi, sebagai salah satu penulis buku tersebut menuturkan bahwa mereka langsung datang ke kantor UGM Press di bagian redaksi untuk menyerahkan naskah jadi. Setelahnya, akan melewati proses seleksi dari UGM Press dan pada akhirnya yang terpilih akan dicetak. Ia juga menambahkan bahwa UGM press juga menerapkan royalti kepada mereka sebesar 15%. Royalti akan diberikan satu tahun dua kali, pada Januari dan Juni.

Berbeda dengan program hibah, Syamsul menjelaskan mekanisme ini bisa diikuti semua sivitas akademik di UGM baik dari saintek ataupun soshum. Sivitas akademik mulai dari jenjang S1 sampai S3, bahkan menerima sivitas akademik luar UGM. “Walaupun tetap memegang idealitas, hal ini akan menjadi kesempatan bagi sivitas akademik secara berimbang dari berbagai kluster,” tungkas Harno.

Puri & Haekal
Balkon Balairung Press edisi Spesial 2016