Syed M. Naquib Al-Attas: Menembus Langit, Menghunjam Bumi
Tokoh yang pemikiran dan karya-karyanya ditapak tilas dan dikritisi buku ini, bukan saja besar dalam dunia pemikiran, tapi sekaligus bertangan dingin melahirkan institusi pendidikan berkelas dunia; Profesor Syed Muhammad Naquib Al-Attas. Almarhum Profesor Fazlur Rahman, guru pembimbing Nurcholish Madjid di Universitas Chicago, pernah berkomentar kepada penulis buku ini, "Ia adalah pemikir jenius yang dimiliki dunia Islam."
Prof. Wan Mohd Nor Wan Daud, penulis buku yang juga sahabat Al-Attas, memulai buku ini dengan meletakkan persoalan pendidikan dalam konteks sejarah peradaban. Betapa mendasarnya soal pendidikan bagi dunia Islam, menurutnya, sudah disadari sejak gagalnya superioritas militer Khilafah Turki Utsmani (Ottoman) dalam upaya menduduki kota Wina, Austria, 1683.
Bagaimanapun, sejak zaman Romawi sampai sekarang, bidang militer dianggap cermin utama keunggulan sebuah peradaban. Di dalamnya bukan saja dapat terlihat pencapaian teknologi tercanggih, tapi juga bisa dibaca ketinggian disiplin manusia, kecerdasan, dan integritas kepribadian para jenderal dan prajuritnya. Sejak kegagalan Wina, kekalahan demi kekalahan --baik militer maupun diplomasi-- dialami oleh dunia Islam.
Sejak itu, para pemikir maupun pemimpin politik Islam memfokuskan perhatiannya pada pembangunan kembali reruntuhan peradaban. Dan itu diawali dari pendidikan. Kata saktinya adalah "modernisasi", yang kerap diartikan "westernisasi". Di dalamnya terkandung solidaritas kebangsaan, semangat inovasi, serta kebangkitan membongkar status quo.
Tren ini berlanjut pada pertengahan abad ke-20 ketika banyak bangsa Muslim merdeka dari penjajah Barat. Bangsa-bangsa baru ini menoleh pada pendidikan sebagai alat utama membangun kembali dirinya, meraih kemakmuran, dan ikut berperan serta dalam "zaman baru". Titik inilah yang dikritisi Al-Attas melalui Message to the Muslims (Risalah untuk Kaum Muslimin), yang diterbitkannya awal tahun 1973.
Menurutnya, kebanyakan pemimpin Muslim hanya memperhatikan dan bergantung pada sebab-sebab eksternal kemunduran umat Islam. Mereka berusaha memperbaiki keadaan dengan dua cara: membaratkan Islam melalui sistem pendidikan, atau, dalam kasus Kemal Attaturk, membuang jauh-jauh Islam dari bangsanya.
Bagi Al-Attas, kesimpulan dan langkah ini merupakan kesalahan. Menurutnya, persoalan pendidikan yang paling asas adalah konsep tentang ilmu (al-'ilm). Pendidikan sebagai wahana pengembangan, transfer dan penyebarluasan ilmu, tidak semata-mata bertujuan untuk kemakmuran sosial ekonomi dan politik, tetapi juga diarahkan pada tujuan spiritual.
Aspek pendidikan Islam sama kompleksnya dengan Islam itu sendiri. Dalam konsep Al-Attas pendidikan Islam harus jelas konsep-konsep metafisikanya, ilmunya, dan manusianya. Pendidikan bukan hanya menanamkan ilmu, tapi juga menanamkan adab yang meliputi ta'lim dan tarbiyah.
Tujuan pendidikan Islam bukan hanya menghasilkan warga negara yang baik dan terampil, berguna bagi negara, tapi menjadi manusia beradab. Individu-individu beradab akan melahirkan masyarakat beradab yang menghasilkan peradaban.
Karenanya, sebuah universitas harus menggambarkan manusia universal (insan kamil) dan bukan manusia sekuler. Inilah yang ditekankan Al-Attas sebagai metode tawhid. Gagasannya merupakan gambaran tentang eratnya hubungan antara ilmu dan amal. Kosep ini terwujud dengan berdirinya International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), pada 1988.
Wan Mohd Nor mengurai sistem pemikiran sahabatnya itu ke dalam tujuh bab: Pandangan Hidup Metafisikal; Ilmu Pengetahuan dan Mengetahui; Makna dan Tujuan Pendidikan; Gagasan dan Kenyataan Universitas Islam; Isi Kurikulum dan Metode Pendidikan; Islamisasi Pengetahuan Kontemporer: Dimensi Teoritis dan Kontribusi Praktis; serta yang terakhir, Respon terhadap Islamisasi Pengetahuan Kontemporer.
Buku ini berbeda dengan buku Saiyidain tentang pemikiran Iqbal yang dipetik dari prosa dan puisi pujangga besar Pakistan itu. Wan Mohd Nor menyelami 26 buku dan monolog serta sekitar 400 artikel dan makalah kuliah karya Naquib Al-Attas sepanjang hidupnya.
Dari karya pertamanya Rangkaian Ruba'iyat (Dewan Bahasa dan Pustaka (DBP) Malaysia, 1959), hingga pidato ilmiah berjudul "The Corruption of Knowledge" di depan Kongres Agama-agama Dunia di Istambul, 1985. Banyak karyanya yang sudah diterjemahkan ke bahasa lain seperti Arab, Persia, Turki, Urdu, Malayalam, Indonesia, Prancis, Jerman, Russia, Bosnia, Jepang, Hindi, Korea, dan Albania.
Versi asli buku ini, The Educational Philosophy and Practice of Syed Muhammad Naquib Al-Attas: An Exposition on the Original Concept of Islamization --yang diterbitkan ISTAC pada 1998, mendapat liputan luas dalam jurnal-jurnal ilmiah di Malaysia, London, Kairo, India, Bosnia, Pakistan, dan Afrika Selatan.
Al-Attas sangat menghayati metafora konsep pohon, syajarah, dalam Al-Quran: dahannya menjulang ke langit dan akarnya menancap ke bumi. Konsep metafisikanya menempuh batas-batas supra-rasional yang melangit dan praktik-praktik kependidikannya mengakar kuat di bumi. Itulah yang disajikan Wan Mohd Nor.
Ironi Sang Jenius
"Saudara lihat ini," kata Profesor Wan Mohd Nor Wan Daud seraya menepuk kursi tamu dari kayu mahoni yang kokoh dengan motif ukiran yang indah, di ruang kerjanya. "Kalau ini dicuri lalu dijual ke luar negeri, saya masih bisa mengenalinya di mana pun ditemukan," ia menambahkan. Bukan karena ditempeli transmitter pelacak, tetapi karena desain ukirannya khas buah tangan Prof. Syed Muhammad Naquib Al-Attas.
Lemari, rak, kusen pintu dan jendela, interior, ornamen, air mancur, tata letak bangunan, musala, bahkan taman di kampus International Institute of Islamic Thought and Civilization (ISTAC), semua didesain sendiri oleh Naquib Al-Attas. Inspirasinya diambil dari semua negeri Muslim, terutama Maghribi, Kordoba, dan Melayu.
Kampus indah itu terletak di bukit permai Damansara, di tengah kota Kuala Lumpur yang supersibuk. Merasakan suasananya yang khusyuk dan berkarakter filosofis, kita seakan mulai berkenalan dengan sosok Naquib Al-Attas. Ia adalah perwira militer lulusan Sandhrust, Inggris, dan ikut bertempur melawan pemberontak komunis Malaysia. Al-Attas juga seorang pemikir, seniman, sekaligus arsitek bangunan yang teliti dan cekatan.
Lahir di Bogor, 5 September 1931, ia dibesarkan sebagai keturunan ulama Indonesia asal Hadramaut yang bersatu dengan keturunan bangsawan Johor, Melayu. Meskipun sangat kritis terhadap asas filsafat dan kebudayaan Barat, ia sendiri produk pendidikan Barat. Tingkat master di bidang Islamic Studies ditempuhnya di MacGill University, Montreal, dan tingkat S-3 ditempuhnya di SOAS (School of Oriental and African Studies), University of London.
Dalam hal ini, ia seperti melanjutkan kiprah pemikir besar Pakistan, Mohammad Iqbal. Penguasaannya terhadap kalam, falsafah, dan tasawuf menjadi rujukan internasional, terutama karya-karyanya tentang Nuruddin Al-Raniri dan Hamzah Fansuri.
Sejak awal 1988, Al-Attas bekerja keras membangun ISTAC, dibantu kawan-kawannya para pemikir dari lima benua, muslim dan non-muslim. "Framework ISTAC berdisiplin pada tradisi dan khazanah intelelektual Islam dengan intensitas tinggi menyelami persoalan Timur dan Barat, " kata Ugi Suharto, satu-satunya periset senior asal Indonesia. ISTAC tidak seperti pusat Islamic Studies sejenisnya di Montreal, Leiden, Chicago, London, Edinburgh, ataupun Cambridge yang didirikan pastor dan pendeta orientalis.
Sayangnya, ketika dunia mengakui Al-Attas dan ISTAC, justru di negerinya sendiri, Malaysia, ia tidak dihargai. Mula-mula kontraknya distop, walaupun profesor seusianya (72 tahun) masih boleh aktif di institusi lain. "Ia sangat sehat, masih mampu memberi kuliah dan memimpin," kata Hamid Fahmy Zarkasyi, kandidat doktor asal Indonesia.
Anugerah Ilmiah atas nama Abu Hamid al-Ghazzali yang disandangnya lebih dari lima tahun dihapus tanpa alasan jelas. Al-Attas kini dilarang mengajar dan membimbing tesis di institusi yang dibangunnya sendiri. Beasiswa untuk mahasiswa mancanegara diputus. ISTAC kini jadi fakultas di bawah Universitas Islam Antarbangsa, Malaysia.
Wisnu Pramudya, Pemimpin Redaksi Majalah Hidayatullah.
Majalah Gatra edisi 48 / IX / 18 Oktober 2003