Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Rendahnya Minat Baca Mahasiswa Yogyakarta

Dewasa ini, kesadaran akan pentingnya budaya membaca mulai terbangun secara global. Hal tersebut salah satunya dipelopori oleh UNESCO dengan menyelenggarakan International Book Year pada tahun 1972. Acara yang bertujuan untuk mempromosikan pentingnya membaca buku ini disambut baik dan kemudian diikuti oleh negara-negara anggota UNESCO. Tiga tahun berselang, Richard Bamberger menerbitkan buku “Promoting The Reading Habit”. Dalam buku tersebut, Bamberger menjelaskan bahwa lingkungan baca seseorang memengaruhi minat bacanya.

Senada dengan Bamberger, Mustafa (2012) menjelaskan bahwa lingkungan yang kurang mendukung berpengaruh terhadap rendahnya minat baca. Ia beranggapan faktor rendahnya minat baca masyarakat di Indonesia adalah aksesibilitas buku yang sulit dan harga buku yang mahal. Hal tersebut didukung dengan hasil studi UNESCO yang menyatakan bahwa minat baca masyarakat Indonesia berada di kisaran 0,01%. Itu artinya hanya ada satu dari 1000 orang yang berminat untuk membaca.

Dalam dunia akademik, khususnya lingkup mahasiswa, membaca diperlukan baik untuk menyelesaikan tugas perkuliahan maupun menambah pengetahuan. Lingkungan baca yang demikian membuat aktivitas membaca bagi mahasiswa tak lagi sebatas kewajiban namun juga kebutuhan. Maka dari itu wajar apabila minat bacanya tinggi, terlebih jika akses terhadap buku mudah. Di Yogyakarta misalnya, menurut Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah Yogyakarta, terdapat sekurang-kurangnya 2.684 perpustakaan. Dengan sumber buku yang sedemikian melimpah, aksesibilitas terhadap buku di Yogyakarta sewajarnya tergolong mudah. Namun, apakah minat baca mahasiswa yang berstudi di Yogyakarta tinggi?

Berangkat dari pertanyaan tersebut, divisi riset BPPM Balairung Universitas Gadjah Mada (UGM) menyelenggarakan jajak pendapat guna mengukur minat baca mahasiswa di Yogyakarta dan hubungannya dengan aksesibilitas terhadap buku. Responden dipilih dengan metode non-probability quota, yaitu pemilihan sesuai kriteria tertentu sampai memenuhi kuota yang telah ditentukan. Total terdapat 120 responden yang dipetakan dan dibagi secara proporsional menurut empat zona. Zonasi digunakan agar pembagian responden merata dan representatif. Zona utara merupakan mahasiswa yang berkuliah di UGM dan Universitas Negeri Yogyakarta; zona timur dari UPN Veteran Yogyakarta dan Universitas Atma Jaya Yogyakarta; zona selatan dari Universitas Ahmad Dahlan dan Institut Seni Indonesia Yogyakarta; zona barat dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Universitas Janabadra. Data diambil menggunakan kuesioner tertutup yang disebarkan secara online pada tanggal 19-30 Juni 2016.

Mengacu dari hasil riset ini, ditemukan bahwa aksesibilitas buku di Yogyakarta tergolong mudah. 54,2 persen responden menyatakan dapat dengan mudah mengakses buku yang diinginkan. Sisanya 45,8 persen mengungkapkan masih kesulitan. Harga buku pun di Yogyakarta dianggap terjangkau oleh 52,5 persen responden, sedangkan 47,5 persen lainnya menyatakan sebaliknya.

Dengan harga buku yang terjangkau, responden cenderung mengakses buku dengan cara membeli sendiri. Sedikitnya 44,2 persen responden memilih cara tersebut untuk mengakses buku. Temuan yang menarik dari hasil jajak ini adalah rendahnya minat responden untuk meminjam buku di perpustakaan. Cara ini paling banyak dipilih oleh 20,8 persen responden. Hal itu mengindikasikan perpustakaan belum menjadi pilihan utama responden untuk mengakses buku. Cara lainnya seperti membaca lewat e-book dan meminjam dari teman dipilih berturut-turut oleh 12,5 dan 10,8 persen responden.

Namun, meski aksesibilitas buku tergolong mudah, tingkat minat baca responden malah memiliki kecenderungan yang sebaliknya. Mayoritas responden, yaitu 50,8 persen, membaca buku kurang dari 2 jam per hari. Persentase tersebut terus menurun seiring bertambahnya durasi baca buku. Hasil tersebut jauh dari standar UNESCO yang menyarankan untuk membaca 4-6 jam per hari. Padahal, di negara-negara maju, masyarakatnya rata-rata dapat membaca selama 6-8 jam dalam sehari. Paling banyak hanya 16,7 persen responden yang membaca buku lebih dari 4 jam sehari.

Tidak hanya itu, rendahnya minat baca responden juga ditunjukkan oleh sedikitnya responden yang telah membaca secara teratur, yakni hanya 4,2 persen. Tingginya akumulasi persentase responden yang belum membaca secara teratur menunjukkan bahwa membaca belum menjadi suatu kebiasaan. Setidaknya 67,5 persen responden hanya membaca di waktu luang, bahkan 19,2 persen membaca hanya saat ada tuntutan. Sementara itu sisanya sebanyak 9,2 persen membaca di saat yang lain.

Dari segi banyaknya buku yang selesai dibaca dalam sebulan, sebagian besar responden telah menamatkan paling tidak satu buku. Hal tersebut setara dengan konsumsi buku di negara maju seperti Jepang yang membaca rata-rata satu buku per bulan. Terhitung 41,7 persen responden menyatakan telah menyelesaikan satu sampai dua buku. Sedangkan 38,3 persen belum merampungkan satu buku pun. Selebihnya, 20 persen telah menamatkan lebih dari dua buku.

Selain lingkungan baca, menurut Bamberger ketersediaan waktu adalah faktor yang memengaruhi minat baca seseorang. Semakin banyak waktu yang tersedia untuk membaca semakin tinggi potensi minat bacanya. Hal tersebut diperkuat oleh data hasil jajak yang menunjukkan bahwa responden yang mengikuti komunitas minat bacanya lebih rendah dibanding dengan yang tidak. Dari segi durasi baca buku, responden yang mengikuti komunitas memiliki persentase 3,3 persen lebih rendah dibanding yang tidak. Pun demikian saat dibandingkan menurut banyaknya buku yang dibaca dalam satu bulan, terdapat perbedaan sebesar 3,9 persen.

Dapat ditelaah bahwa meskipun aksesibilitas terhadap buku mudah, minat baca responden tergolong rendah. Teori Mustafa dan Bamberger, dalam konteks responden dalam penelitian ini tidak sepenuhnya berlaku. Kemudahan dalam mengakses buku tidak memengaruhi minat baca responden. Hal itu justru menjadi kenyataan yang ironis. Akses buku yang mudah dan sumber buku yang melimpah belum dimanfaatkan secara optimal oleh responden. Menilik peran dan kewajibannya sebagai kaum intelektual, responden yang notabene mahasiswa sepatutnya gemar membaca. Namun, ternyata minat bacanya tidak jauh berbeda dengan masyarakat pada umumnya.

Dwiky
Balkon Balairung Edisi Spesial 2016