Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesona Toko Buku dan Penyebarannya

Dalam buku A Guide to Book Publishing (University of Washington Press, 1986), Datus C. Smith, Jr. mengungkapkan bahwa di dalam setiap negara yang telah maju atau pun yang sedang berkembang, industri buku merupakan industri kecil, jika dipandang dari segi keuangan. Namun, seperti tombol kecil dapat menggerakkan dan mengendalikan mesin raksasa, atau peralatan listrik dapat menyalurkan tenaga listrik ke daerah-daerah yang jauh, begitu pula penerbitan buku (industri buku) merupakan sebuah “kunci”. Kunci bagi perkembangan pendidikan, sosial dan ekonomi serta pembangunan bangsa dan negara yang sesungguhnya.

Dalam hal ini, salah satu support system industri perbukuan yang mempunyai peranan sangat penting adalah toko buku. Toko buku merupakan saluran distribusi yang paling umum digunakan oleh para penerbit dalam mendistribusikan produk-produknya agar mudah dijangkau konsumen. Bahkan, toko buku menjadi ujung tombak dan pendukung utama pemasaran setiap penerbit. Memang, saat ini banyak penerbit yang melakukan penjualan buku secara langsung kepada konsumen. Biasanya, hal ini dilakukan dengan cara mengikuti pameran atau pesta buku yang diadakan oleh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) atau lembaga-lembaga lainnya. Selain itu, ada juga penerbit yang mengadakan pameran atau pesta buku sendiri. Para penerbit buku sekolah bahkan melakukan penjualan langsung ke sekolah-sekolah.

Namun, berdasarkan hasil angket yang disebarkan kepada pengunjung Jakarta Book Fair 2002, mayoritas responden membeli buku di toko buku (85,8%), sedangkan sisanya membeli buku di pameran atau pesta buku (11,2%), di tempat-tempat penjualan buku murah, seperti di kawasan Senen, Kwitang, dan Jatinegara (19%), dan di tempat lainnya (0,6%).

Dengan demikian, salah satu kunci keberhasilan pendistribusian buku sangat ditentukan oleh penyebaran toko buku di seluruh wilayah Nusantara. Semakin banyak dan semakin merata kehadiran toko buku di setiap daerah, tentu akan sangat baik karena para konsumen bisa mendapatkan buku dengan mudah.

Berdasarkan hasil laporan mahasiswa Program Studi Penerbitan Politeknik Negeri Jakarta mengenai toko buku, saat ini paling tidak ada tiga toko buku besar yang mempunyai cabang di beberapa kota besar di Tanah Air. Ketiga toko buku tersebut adalah Gunung Agung, Gramedia, dan Karisma.

Toko Buku Gunung Agung didirikan pada 8 September 1953 oleh Tjio Wie Tay yang kemudian lebih dikenal dengan nama Haji Masagung (alm.) bersama The Kie Hoat. Gunung Agung yang berawal dari sebuah toko buku kecil di kaki lima yang berlokasi di Jalan Kramat Bunder, Jakarta Pusat, saat ini telah tumbuh dan berkembang menjadi 32 toko yang tersebar di beberapa kota di Pulau Jawa dan Bali. Dari 32 toko tersebut, 14 berada di Jakarta [Jakarta Pusat (5), Jakarta Selatan (3), Jakarta Barat (3), Jakarta Timur (2), dan Jakarta Utara (1)]; Bekasi (4); Depok (1); Tangerang (1); Bogor (2); Cirebon (1); Bandung (3); Semarang (1); Surabaya (2); Bali (3).

Gramedia merupakan nama yang tidak asing lagi dalam dunia perbukuan di Tanah Air. Demikian pula halnya dengan Toko Buku Gramedia. Toko buku ini dirintis oleh P.K. Ojong dan Jakob Oetama —yang juga pendiri Kelompok Kompas-Gramedia— pada 1970. Berawal dari sebuah toko buku kecil berukuran 25 meter persegi di Jalan Gajah Mada 104-107, Jakarta, kini Toko Buku Gramedia telah tumbuh dan berkembang menjadi sebuah toko buku besar dengan 48 cabang yang tersebar di beberapa kota besar di wilayah Nusantara. Gramedia memiliki visi dan misi yang mulia, yaitu turut mencerdaskan kehidupan bangsa, menuju masyarakat baru Indonesia yang berkehidupan Pancasila. Dari 48 cabang toko buku yang ada, 13 cabang berlokasi di Jakarta [Jakarta Pusat (4), Jakarta Selatan (2), Jakarta Utara (2), Jakarta Timur (1), dan Jakarta Barat (4); Bogor (2); Bekasi (1); Tangerang (3); Cirebon (1); Bandung (4); Semarang (2); Yogyakarta (2); Surabaya (3); Jember(1); Malang (2); Bali (2); Kupang (1); Bandar Lampung (1); Palembang (1); Padang (1); Pekanbaru (1); Batam (1); Medan (2): Balikpapan (1); Banjarmasin (1); Makassar (1); Manado(1).

Jika dibandingkan dengan dua toko buku sebelumnya, Toko Buku Kharisma bisa dibilang baru. Kendati baru berdiri sejak 14 November 1995, Toko Buku Kharisma berkembang dengan sangat pesat dan mampu bersaing dengan toko-toko buku besar yang hadir jauh lebih dulu. Toko buku ini didirikan oleh sekelompok orang yang dikepalai oleh dua orang doktor yang salah satunya bernama Dr. Lindon Saputra. Sekelompok orang tersebut mendirikan Toko Buku Karisma dengan modal bersama-sama. Pertama kali didirikan di Lippo Karawaci kemudian di Mal Puri Indah. Kini, Toko Buku Karisma mempunyai 28 cabang di beberapa kota di Indonesia: Jakarta (7), Depok (1), Bekasi (2), Tangerang (1), Bogor (1), Bandung (2), Semarang (1), Solo (1), Surabaya (2), Sidoarjo (1), Bali (1), Lombok(1), Batam (2), Palembang (1), Pontianak(1),  Makassar (2), dan Samarinda (1).

Berdasarkan data tersebut di atas dapat dilihat bahwa sebagian besar toko buku berada di Jakarta dan Pulau Jawa. Masih ada beberapa provinsi yang sama sekali belum terjamah oleh ketiga toko buku besar tersebut. Masyarakat Aceh, Maluku dan Papua, sampai saat ini belum bisa memperoleh buku secara mudah. Mereka belum dapat merasakan sejuknya ruangan toko buku dan ramahnya pelayanan para pramuniaga yang kerap dinikmati oleh masyarakat lain.

Jika kita kembali pada ungkapan Datus Smith di atas, bukan hal yang tidak mungkin bahwa salah satu faktor penghambat perkembangan pendidikan, sosial, dan ekonomi serta pembangunan di daerah-daerah tersebut karena terbatasnya toko buku yang ada sehingga akses mereka terhadap buku dan sarana informasi lainnya sangat terbatas. Bagi para pelaku bisnis yang bergerak di sektor toko buku, kondisi tersebut jelas menggambarkan bahwa ada peluang pasar yang belum tergarap. Terlepas dari berbagai pertimbangan, seperti faktor keamanan dan daya beli masyarakat, bukankah mereka juga sebuah peluang pasar yang patut dipertimbangkan?

Melvi
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 5/Desember 2002