Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pesan Calon Pengantin Kepada Istri dan Anaknya (Cerpen Arswendo Atmowiloto)

Istri dan juga anak-anakku, kita semua ini ibarat kata sepasang calon pengantin. Tinggal menunggu tanggal main, untuk bersanding dalam pelaminan. Saat itulah kita singkap kain rindu, kita tumpahkan segala gairah, kita sajikan menu rindu-cemburu-nafsu tanpa terburu-buru.

Walaupun demikian, sebagaimana layaknya calon pengantin kita harus berpuasa dari rasa ingin, dan mampu bersahabat dengan dingin. Kita menahan dari segala sesuatu, secara lahir dan batin. Bahkan untuk berpikir lain, kita rem agar lamunan kita tidak bermain ke sana kemari.

Dalam hidup ini ada bagian upacara. Banyak upacara, penuh dengan tata krama. Bahwa calon pengantin harus dipingit, supaya tidak disambar demit. Upacara yang kita jalani dulu, punya makna dan punya maksud. Tentulah itu berasal dari tradisi yang lebih purba, sejak nenek moyang kita bisa mengingatkan.

Hidupku sekarang ini juga bagian dari sebuah upacara. Ada sebuah pesta, di mana diperlukan ini dan itu. Kitalah kebelulan disuruh memerankan ini dan itu tadi. Pernah saya bertanya kepada kakek saya yang bekerja dengan pangkat tinggi di keraton kasunanan Surakarta Hadiningrat. Pangkatnya tinggi dan terhormat, sebagai bekel yang kemudian dinaikkan menjadi lurah. Pekerjaan utama kakek adalah menjadi edan-edanan. Berperan sebagai orang gila. Bersama beberapa abdi dalem yang lain, almarhum kakek saya menari-nari, memakai pakaian dan riasan yang aneh, lucu, dan menarik perhatian. Kadang bergulung di jalanan. Menari-nari tak jelas wujud tariannya. Waktu saya bertanya, kenapa kakek mau melakukan itu. Ini saya tanyakan karena saya diejek teman-leman, bahwa kakek saya benar-benar gila. Saya ingat betul kakek saya mengatakan bahwa beliau melakukan itu selain untuk pangkat, untuk mengabdi sebagai pegawai yang berbakti pada raja, Kenapa mau jadi edan-edanan? Jawab kakek: sebab saya diperlukan dalam upacara. Saya hanya berlaku edan mengawali perjalanan raja. Kalau raja berjalan di depan ke suatu tempat, saya berada di barisan paling depan. Lalu ngedan. Seolah-olah gila. Dengan demikian rakyat mengetahui bahwa dengan keberadaan saya, berarti raja mau lewat.

Itulah yang dikatakan kakek saya. Beliau di masa tugas belum tentu tiga bulan sekali ngedan. Tapi begitulah jenis pekerjaannya dan anggapan masyarakat pada kakek tak berubah. Kakek dijadikan gila demi kepentingan sebuah upacara.

Walau demikian, sebagaimana layaknya calon pengantin kita bisa membayangkan bahwa pesan ini ada hubungan dengan keinginan jorok serta kisah tentang cinta. Membayangkan jorok adalah dengan mengulangi adegan aku menggosok tubuhmu dengan minyak angin dan tubuhmu melenggok-lenggok. Tapi ini juga kisah cinta. Ingin aku segera mengusap pipimu dengan manja. Sebab di situ kutemukan bekas airmataku. Yang pernah menetes, membeku seperti es. Sebab di situ airmata kita menyatu, merintih bagai bersenyawa dengan airmata sebelum dan sesudahnya.

Istriku dan anak-anakku, sebagian bagian yang dikorbankan dari sebuah upacara penantian kita sebagai pengantin, kita bisa apa saja. Tapi yang terbaik tetap saja mendekat pada doa, baik hapalan ataupun yang spontan. Ajari lagi bagaimana cara mencintai tanah air dengan cara yang biasa-biasa. Ajari lagi bagaimana menjadi warga negara yang biasa-biasa. Ajari memakai pupuk yang bernama dendam dan getir, sehingga tak mempunyai bentuk dan menjadi air yang menghidupi bibit-bibit pengharapan. Sedapat mungkin berharap yang baik-baik saja, sebab sekarang ini begitu mudah dan murah tercurah terkabulnya keinginan kita.

Sebagaimana layaknya calon pengantin, kita harus berdandan. Kamu calon pengantinnya, dan anak-anak calon pengiringnya. Semua harus berdandan. Sudah beberapa saat ini aku membiarkan malaikat mendandani dengan semir putih di rambut, menambah keriput, dan perutnya dibuncitkan, dan sesekali sedikit ngilu di lutut terutama sebelah kiri.

Ini semua adalah bedak, ini adalah urapan supaya kita menjadi pengantin yang, mendekati, sempurna.

Istriku, kita ini calon pengantin istimewa. Sebab kita telah berpengalaman sebelumnya. Sebab kita sudah tahu siapa calon pasangan kita. Dan kalian anak-anakku sudah tahu siapa calon ayah dan ibumu. Sedemikian banyak pengalaman yang bisa menyatukan kita saat ini sehingga kala aku berkaca di air, aku bertanya wajah siapa yang ada di situ. Wajahku, wajahmu, wajah anak-anak, ataukah wajah kita semua yang telah menjadi satu?

Sebagai calon pengantin adalah wajar jika kita tak sabar. Ingin sesegera mungkin. Tapi semua ada saatnya. Buah di pohon tak bisa dipaksa muncul dan masak. Biji yang baru tumbuh tak bisa dipaksa langsung busuk dan menyemaikan bibit baru. Pernah aku bertanya dengan gaya puitis pada saat dingin embun terasa, saat langit tanpa awan sisa, saat purnama bisa diintip dari jendela tanpa kaca, saat-saat yang lainnya, apa arti penantian kita ini.

Sebagai calon pengantin resmi nantinya, apa yang terjadi sekarang ini menjadi tanda. Tanda luka, atau tanda apa saja. Yang menempel menjadi bagian dari hidup kita yang tergenapi tanpa bisa kita tolak. Seperti juga tumbuhnya kuku ini. Bisa dibikin rapi, bisa dibiarkan kotor, bisa dipakai untuk menggaruk bisa untuk mencakar. Bisa membuat malu, bisa membuat mual, bisa pula kita perlakukan dengan cara lain.

Lebih dari itu, bisa kita terima dengan cara apa saja.

Penerimaan, pada akhirnya. Bukan pemahaman, bukan penjelasan. Penerimaan, begitu pesan manjur para leluhur sebelum maknanya menjadi kabur. Penerimaan, adalah pesan kita bersama.

Istriku dan anak-anakku, hari tak ada mundur ke depan. Selalu maju ke belakang. Inilah paradoks yang membawa kepada titik pertemuan: ketika berjauhan kita demikian dekat, ketika berpisah kita demikian fasih, ketika diam kita berbicara banyak, ketika berpesan kita meletakkan pada harapan.

Sebagai layaknya orangtua dengan anak, kita merasakan betapa indah dan mulia saling diperdamaikan. Kita menjadi orangtua, tetapi juga anak. Kita melihat wajah kita pada anak-anak, sekaligus melihat wajah kita sebagai wajah anak-anak yang sama. Biarlah keadaan sebagai calon pengantin ini menjadi bagian dari upacara penerimaan itu tadi, mengatasi segala upacara yang pernah kita jalani, kakek jalani, upacara sebagai pengantin sebelum ini.