Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pertikaian, Buku Laris, dan Tema Agama

Menilai pertikaian di Provinsi Maluku sejak akhir 1998, yang kemudian merembet ke Maluku Utara, sebagaimana diberitakan media massa, sebagai pertentangan agama bukanlah sebuah simpulan yang bijaksana. Demikian juga dengan pertikaian yang terjadi di Poso dan daerah-daerah lainnya. Bagaimanapun, kita berhak untuk memandang persoalan ini secara lebih kritis. Bahkan, tanpa harus menyelami  dan menggali persoalan ini lebih jauh lagi, kita akan segera sampai pada satu pemahaman bahwa pertikaian tersebut tidak dipicu, disebabkan, atau bersangkut paut dengan persoalan agama apalagi pertentangan antar agama. Kita bisa menyebut beberapa persoalan yang juga sering diangkat menjadi berita dalam berbagai media massa. Kasus besar seperti yang terjadi di Aceh, dengan menamakan diri Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang berkeinginan untuk mendirikan Negara (Kerajaan) Aceh yang sepenuh-penuhnya beralaskan ajaran agama pun sulit dikatakan karena diawali atau disulut akibat pertentangan atau pertikaian karena agama. Kita juga bisa menyurut ke belakang, pada persoalan-persoalan kekerasan berupa “amuk” yang terjadi di berbagai tempat di Indonesia, yang sering disebut-sebut karena pertentangan agama. Sebut saja misalnya peristiwa kerusuhan di Situbondo, Solo, Tasikmalaya, dan Mataram. Jika demikian, apa persoalan sesungguhnya sehingga kerusuhan-kerusuhan serta pertikaian-pertikaian yang memakan korban harta-benda dan nyawa manusia begitu banyak bisa terjadi di negeri kita? Bagaimana mungkin tragedi-tragedi itu dapat terjadi di kehidupan kita sebagai satu bangsa yang damai, yang menurut catatan sejarah dan para sosiolog, disebut-sebut sebagai bangsa yang berbudaya toleransi paling besar hampir di semua nilai dan aspek-aspek kebudayaan dan kehidupan sosialnya.

Apa perlunya melihat potongan cerita soal pertentangan agama di negeri Indonesia ini? Di negeri yang kehidupan makhluknya begitu beragam. Bukan hanya keanekaragaman dalam kehidupan tetumbuhan dan hewan, namun dari segi “budaya” manusia adalah tergolong bahkan tertinggi tingkat keragamannya. Ketiga kerajaan makhluk ciptaan Tuhan itu, tumbuhan, hewan, dan manusia, tingkat keberagaman terbesar ada di tanah Nusantara yang terikat dalam satu kesatuan: Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kita perlu sedikit berkilas balik pada peristiwa-peristiwa pertentangan tersebut karena jika diperhatikan dalam konteks perbukuan, maka menarik sekali fenomena yang bisa kita simak bersama. Pertama-tama adalah kenyataan bahwa buku-buku yang bertemakan agama kini diserap oleh masyarakat dengan antusiasme yang tinggi. Dalam hal ini, tidak termasuk kitab suci serta tafsiran atau turunannya. Fenomena ini muncul dalam bidang-bidang kajian yang beragam, baik fiksi maupun non-fiksi. Ambil contoh fenomena buku-buku politik yang mengambil agama sebagai alas utamanya. Ada puluhan buku berindukkan ajaran Islam, seperti karya Nurcholish Madjid, Kuntowijoyo, dan Jalaluddin Rakhmat serta Abdurrahman Wahid, bisa disebut merajai pasaran buku yang mengupas tema agama. Seakan-akan beriringan dengan peristiwa-peristiwa pertikaian yang tragis sebagaimana di atas, masyarakat justru tertarik mengonsumsi informasi dan pengetahuan tentang keagamaan. Buku-buku dengan berbagai tema beralaskan agama tersebut tampaknya bisa diterima luas dan dinikmati oleh masyarakat. Berbagai tema umum atau tema praktis dan sederhana yang diulas dan dikupas dengan beralaskan nilai-nilai keagamaan menjadi bacaan yang popular dan laris-manis. Bahkan, akhir-akhir ini semakin mendalam dan menajam persoalan-persoalan kemasyarakatan yang dikupas dan diulas dengan apik dengan memakai tinjauan dan sudut pandang agama. Yang harus digarisbawahi, buku-buku beralaskan keagamaan tersebut sama sekali tidak menjabarkan, bahkan melawan bentuk-bentuk keberagamaan yang kejam dan keji sebagaimana yang kita takutkan bersama.

Kedua fenomena atau kenyataan itu cukup memberikan gambaran keyakinan pada kita semua bahwa pertikaian di berbagai tempat di Indonesia ini boleh disebut bukan beralaskan sendi-sendi nilai keagamaan. Jelas sekali bahwa antusiasme masyarakat yang diperlihatkan dengan buku agama, khususnya buku-buku berdasarkan ajaran Islam, memperlihatkan kepada kita bahwa masyarakat semakin gandrung memahami dataran kehidupan yang bersendikan ajaran atau nilai keagamaan dengan wawasan yang jernih dan terbuka.

Di samping itu, akhir-akhir ini ada fenomena menarik berkaitan dengan tema di atas, yakni kemunculan Aa Gym, lengkapnya K.H. Abdullah Gymnastiar, pendiri Pondok Pesantren Daurut Tauhid. Pembicaraan dan pemikiran tokoh muda ini mengundang antusiasme banyak orang. Buku-bukunya juga cukup laris dibeli oleh masyarakat. Hal ini bisa jadi karena pemikiran-pemikiran beliau yang terasa menyejukkan bagi semua orang, tidak hanya bagi para pemeluk agama Islam. Dalam suatu kesempatan berceramah di daerah pertikaian Kabupaten Poso, beliau menyirami rohani pemeluk berbagai agama yang sedang bertikai, katanya: “melihat seorang anak manusia, janganlah melihat agamanya; tetapi hati nuraninya.” Aa Gym memang sebuah fenomena. Fenomena meredakan “pertikaian”, fenomena buku dalam tema-tema keagamaan yang beralaskan nilai-nilai ajaran Islam, sekaligus fenomena buku laris.

T. Jakob Koekerits
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 4/November 2002