Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perempuan: Tema Buku Imajiner atau Fakta?

Peristiwa pulangnya para tenaga kerja Indonesia (TKI) dari negeri jiran Malaysia membawa “soal” tersendiri. Sudah lebih dari sebulan ini peristiwa tersebut menghiasi hampir semua aspek pemberitaan dan halaman-halaman utama surat kabar serta berita-berita dan liputan khusus di media elektronik. Mereka kembali ke tanah air bagaikan pengungsi perang yang berbondong-bondong meninggalkan kampung halamannya. Jumlahnya lumayan besar. Menurut perkiraan yang dicatat oleh berbagai pihak, jumlahnya dapat mencapai setengah juta orang dewasa. Padahal ada juga yang telah berkeluarga, itu berarti jumlahnya bisa jauh melebihi yang didugakan. Peristiwa ini memang sudah membawa berita tersendiri. Namun, ada satu hal yang perlu diungkap sedikit dari soal TKI ini. Tidak ada yang aneh memang. Tetapi jika kita sedikit membalik-balik berita seputar TKI sebelum peristiwa “pulang berbondong-bondong” ini, ada kosakata lain yang sering dipakai, yaitu TKW singkatan dari Tenaga Kerja Wanita. Tanpa kata Indonesia di belakang. Mungkin redaktur media massa sudah yakin bahwa masyarakat pembaca sudah mengerti kalau yang dimaksudkan dengan singkatan TKW adalah TKl yang wanita. Jadi, tidak perlu penjelasan tambahan atas warga negara atau asal-usulnya. Nah: justru di sini pertanyaannya. Apakah ini hanya karena “keseleo” dalam menulis belaka dari para redaktur surat kabar atau televisi? Kita berharap memang ini hanya “keseleo”. Sebab. bila ini bukan “keseleo”, berarti suatu kesadaran penuh dalam menuliskannya. Artinya, pembaca secara sadar digiring oleh suatu “imajinasi” dari reporter media massa untuk melihat persoalan TKI, khususnya “puiang berbondong-bondong” secara bulat tanpa membedakan dalam persoalan gender.

Dalam konteks sekarang ini, persoalannya memang seputar TKI dan tidak objektif bila dibeda-bedakan antara persoalan TKW (TKI yang wanita) dan TKI yang pria. Pertanyaannya sekarang, apakah dengan menyebut TKI persoalannya tenaga kerja saja sehingga masyarakat pun memahami persoalan itu sebagai persoalan “ketenagakerjaan” belaka? Tidak ada kaitan dengan masalah gender atau bertumpu pada aspek biologis? Apakah memang demikian? Rasa-rasanya tidak. Dalam banyak hal, kesadaran kita tidak menerima bahwa persoalan yang kita nyatakan itu sesungguhnya mengandung faktor gender yang kental. Kita sering tanpa sadar mengenyampingkan bahwa secara objektif setiap persoalan harus disadari mengandung aspek biologis. Dengan demikian: ketika kita menulis TKI, seakan-akan “netral” untuk mengatakan semua tenaga kerja, baik wanita maupun pria. Tidak ada kesadaran lain ingin membedakan.

Kesadaran seperti ini mungkin ada benarnya. Namun, mungkinkah itu terjadi? Rasanya perlu disangsikan. Hampir sulit dipastikan bahwa secara sadar kita bisa dengan tegas menempatkan setiap persoalan sesuai dengan “kategori biologis”-nya, sekalipun itu sebaiknya menjadi keharusan. Ambil contoh singkatan yang sering digunakan sebagaimana penjelasan di atas. Atau, apakah yang dimaksud dengan TKI sekadar soal ketenagakerjaan belaka dan apakah yang dimaksud dengan TKW khusus menyangkut “tenaga kerja wanita” saja? Adakah pekerjaan-pekerjaan tersebut dibedakan berdasarkan kategori biologis? Jika ada TKW, berarti harus ada TKP atau TKL (Tenaga Kerja Pria atau Tenaga Kerja Lelaki). Tetapi jelas sekali, kita tidak pernah menemukan istilah seperti ini. Mengapa pembedaan hanya ditegaskan untuk kelamin wanita? Apakah harus ada perbedaan fakta antara wanita dan pria? Mengapa sebagai wanita harus lebih dijelaskan lagi identitas dirinya sementara khusus untuk leiaki tidak perlu ditegaskan lagi?

Kenyataan fakta-fakta bahasa demikian ini sering diabaikan orang. Padahal, harusnya kita cukup jeli melihat bahwa faktanya memang ada pembedaan dan perbedaan berkaitan dengan wanita. Baik itu soal-soal yang menyangkut faktor-faktor pembeda secara gender ataupun atas kesadaran yang dibangun oleh pergaulan sosial yang panjang dalam suatu masyarakat tertentu. Dalam masyarakat industri, sejak diawali dengan “revolusi industri”, pembagian secara tegas dalam kerja sosial-ekonomi masyarakat sangat ditonjolkan, sehingga wanita dipinggirkan. Dalam masyarakat agraris atau dalam hubungan-hubungan sosial yang lebih sederhana hampir tidak kita temukan dominasi yang kuat hanya dari satu kategori biologis, apakah wanita atau pria. Pembagian peran itu dilakukan secara baik menurut keperluan komunitasnya. Justru karena kenyataan yang memunculkan pembedaan secara sosial terhadap wanita, perlu disadari bahwa “tema perempuan” bukanlah sekadar tema yang imajiner.

Melongok perkembangan perbukuan di Indonesia, persoalan atas gender tersebut menarik sekali untuk disimak. Sebut saja soal tema-tema yang tegas memperhatikan soal-soal biological reductionism alias gender dalam buku-buku yang beredar luas di pasar. Kesadaran untuk membedakan tema-tema yang sudah “bias gender” ini sudah boleh disebut suatu gerakan tersendiri dalam masyarakat perbukuan kita. Bahkan ada penerbit yang khusus menerbitkan hal-hal yang berkaitan dengan wacana “pembebasan” dan “penyadaran” wanita dari konsep-konsep atau tema-tema yang dianggap masih “bias gender”, sekalipun disadari bahwa pemahaman mengenai gender pada dasarnya berhubungan langsung dengan budaya atau perkembangan peradaban politik dunia Barat umumnya.

Memang banyak sekali perempuan Indonesia yang terlibat langsung dalam dunia perbukuan Indonesia. Bahkan tidak sedikit penerbit-penerbit dipimpin oleh perempuan. Namun, boleh dibilang sedikit sekali atau hampir tak ada penerbit umum yang memperhatikan “tema-tema khusus” menyangkut kejuangan perempuan dalam masyarakat kita. Khususnya yang menyangkut penyadaran pada perempuan mengenai posisi sosialnya yang sering dipinggirkan sekaligus diuntungkan oleh kemajuan zaman yang bernuansa Barat ini. Kita bahkan tidak gampang menemukan karya dari para penulis yang notabene perempuan yang mengungkapkan tema penyadaran perempuan atau sifat-sifat kejuangan perempuan dalam masyarakat. Justru jika disimak, penulis besar seperti Pramoedya Ananta Toer (PAT) adalah satu dari sekian banyak pengarang besar kita yang dalam hampir semua karyanya menampilkan “ketokohan” perempuan serta begitu “dominan”-nya perempuan dalam pergerakan kemasyarakatan di Indonesia. Dalam kacamata PAT, peranan perempuan bukan sekadar “emansipasi” wanita melainkan “pencerahan masyarakat luas (khususnya Jawa)” yang diawali oleh tokoh wanita seperti R.A. Kartini. Perjuangan Kartini bukan hanya ingin mengangkat derajat wanita Jawa, melainkan sekaligus melakukan pencerahan dan pendobrakan terhadap kultur yang menindas, tidak saja perempuan tetapi seluruh “kasta” dalam masyarakat.

Jika menengok ke belakang, memang sulit menemukan tokoh wanita dalam dunia perbukuan kita apalagi sebagai pengarang atau penulis buku. Tokoh politik mungkin jauh lebih banyak. Baru dalam dasawarsa terakhir ini, banyak sekali perempuan yang menantang perubahan “budaya” dalam masyarakat Indonesia modern sekarang ini. Penulis perempuan tidak hanya bergelut pada tema cerita yang menokohkan perempuan, namun lebih jauh lagi “bercerita” dengan kesadaran yang lebih menjangkau masyarakat luas ketimbang “sentimen gender”-nya. Untuk menyebutkan satu per satu rasanya tidak perlu. Memang, kalau kita sedikit jeli, ada satu genre dalam perbukuan kita, yaitu komik, yang sepertinya tidak disentuh oleh komikus atau pengarang perempuan. Setidaknya, komik yang sudah pernah muncul atau beredar di masyarakat. Di sinilah letak titik berangkat baru yang diharapkan bagi kejuangan perempuan Indonesia dalam dunia perbukuan. Apalagi tema-tema pencerahan untuk masyarakat kita tidak harus terjebak dalam kategori biologis demikian itu, Masyarakat kita membutuhkan tema-tema pencerahan yang mendobrak alam pikiran yang bias gender dewasa ini.

T. Jacob Koekerits
Majalah Mata Baca Vo. 1 / No. 3 / Oktober 2002