Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Perang Kata dalam Kongres IKAPI

Bising! Begitu mula-mula kesan saya tentang wacana dalam Kongres XV IKAPI (Ikatan Penerbit Buku Indonesia) 23-25 September 2002. Begitu banyak perang kata terjadi mengenai berbagai hal seperti ide buku murah, misi Ikapi, distribusi buku pelajaran, Dewan Buku Nasional, pembajakan buku, dan masih banyak isu yang lain. Huh, perang kata yang sia-sia!

Kemudian, berdering dalam pikiran saya ucapan filsuf Karl R.Popper yang berbunyi: “Kemungkinan terjadinya perang dengan kata sebagai ganti perang dengan pedang justru merupakan basis peradaban itu sendiri” (Lihat, Conjectures and Refutations: the Growth of Scientific Knowledge, Hartper Torchbooks, 1968, hlm. 373). Wah, mungkin saja ada gunanya menyelisik perang kata yang riuh dalam pertemuan besar para penerbit buku di Indonesia itu.

Buku Murah vs Buku Mahal
Dalam membuka Kongres XV IKAPI di istana negara, Presiden Megawati melontarkan tantangan bagaimana membuat buku murah, misalnya dengan memakai kertas merang. Saran untuk menurunkan harga buku lewat berbagai cara pernah disampaikan Ikapi, seperti termuat dalam risalah Membangun Dunia Baru Penerbitan Buku di Indonesia (1990), termasuk usul pembuatan kertas khusus untuk buku yang lebih murah daripada kertas yang lazim untuk mencetak buku.

Tetapi, Kafi Kurnia, seorang pakar pemasaran yang diundang untuk memperluas wawasan peserta kongres, menggebrak dengan ide bahwa buku justru harus mahal, agar royalti untuk pengarang juga tinggi. Menurut Kafi, ia ada empat naskah siap terbit yang sudah ditawar orang seharga Rp. 1,5 miliar. Itu hanya akan dilepas bila dibeli Rp. 2 miliar. Di sisi lain, tujuan penerbit pun tak lepas dari duit, Semuanya, kata Kafi, berujung pada duit.

“Soal harga buku murah atau mahal itu, menurut saya relatif,” begitu cetus seorang penerbit dalam Warta Kongres, 23 September, “Untuk memajukan dunia penerbitan buku di Indonesia harus ada kesatuan visi dan keputusan yang sifatnya strategis”.

Meskipun tidak mengandung usulan konkrit, tanggapan tersebut mengacu kepada gagasan tentang perlunya menyusun kebijakan perbukuan-nasional yang komprehensif.

Namun: ide Kafi tentang duit sebagai motivasi utama pengarang maupun usaha penerbitan buku disambut baik oleh sejumiah peserta kongres. Di antara mereka ada yang menekankan pentingnya membuat buku mahal tapi bermutu, ada pula yang secara umum menggarisbawahi tuntutan agar pengurus Ikapi mendatang mempunyai “sense of business” yang tajam. Suara dari kubu lain mengingatkan, bahwa visi dan misi Ikapi mengandung kombinasi antara orientasi bisnis dan idealisme, dan karenanya, komitmen untuk ikut serta mencerdaskan kehidupan bangsa menuntut anggota Ikapi mempedulikan masalah terjangkaunya harga buku bagi konsumen, sesuai dengan salah satu sasaran jangka pendek kepengurusan Ikapi 1998-2002. Paduan antara kedua orirentasi tersebut memang sepatutnya mencirikan anggota Ikapi sebagai penerbit yang tak hanya memburu profit. Seperti ditegaskan di dalam buku 50 Tahun Ikapi Membangun Masyarakat Cerdas (2000), sebagai pengusaha, penerbit harus bisa survive dan meraih laba, namun itu semua diperuntukkan bagi upaya membangun masyarakat cerdas, berkualitas dan berbudaya.

Upeti untuk Guru
Silang pendapat lain yang menghangat dalam kongres ini menyangkut masalah distribusi buku pelajaran. Penerbit yang langsung memasarkan buku peiajaran ke sekolah dituding telah merusak mental guru dengan saling berlomba memberi mereka bermacam upeti agar buku yang ditawarkan ke sekolah mendapat rekomendasi positif. Sebaliknya, penerbit buku sekolah mengklaim bahwa kegiatan mendistribusikan buku pelajaran sampai ke tempat-tempat terpencil seperti Sangir Talaut, Enggano, dan banyak yang lain, perlu mendapat penghargaan pemerintah. Tetapi seorang peserta lain menyebut persaingan keras dalam pemasaran buku pelajaran antara penerbit dan toko buku, atau antar penerbit buku sekolah bersifat alamiah saja, bak ayam mematuk cacing, dan elang menyambar ayam.

Debat lain menyangkut status Dewan Buku Nasionai (DBN), yang oleh Ikapi bersama asosiasi perbukuan yang lain telah dideklarasikan 18 September 2002. Ada yang menginginkan DBN sama sekali tidak terkait dengan pemerintah, agar tidak didikte olehnya. Pendapat lain menegaskan, kemitraan dengan pemerintah tetap dibutuhkan, sebab DBN bertujuan menyusun kebijakan perbukuan nasional yang kondusif bagi perkembangan perbukuan nasional sebagai ketentuan yang mengikat semua pihak. Selain itu, bila perbukuan nasional diurus oleh sektor swasta saja, dikhawatirkan aspek non-komersialnya terabaikan. Dalam hal yang dikatakan terakhir ini, pengalaman bertutur bahwa, meskipun pebisnis berhati lapang seperti Matsushita memandang profit bukan sebagai tujuan perusahaan, melainkan sebagai ujian validitas perusahaan, dalam praktiknya korporasi bersikap obsesif terhadap profit. Demikian sehingga terasa perlu terbitnya buku seperti Tiranny of the Bottom Line, Why Corporations Make Good People Do Bad Things (Ralph Easten).

Dugaan Presiden Megawati bahwa ada anggota Ikapi yang terlibat dalam pembajakan buku ditangapi dengan gerutuan bahwa banyak penerbit non-anggota Ikapi yang justru perlu ditindak karena melanggar hak cipta. Ikapi sendiri, yang telah lama membentuk tim pemberantasan pembajakan buku, menyatakan belum menerima laporan tentang anggotanya yang membajak buku. Untuk mengklarifikasi soal ini, ada usul agar Ikapi menyusun data base tentang semua judul karya asing yang lisensi penerjemahannya sudah dimiliki penerbit Indonesia. Mengenai pendisiplinan penerbit non-anggota Ikapi dalam hal hak cipta, Ikapi perlu bekerja sama dengan Dewan Hak Cipta, dan instansi pemerintah terkait.

Medan Kekuatan Sekaligus Medan Persaingan
Terjadinya pertarungan ide seperti tergambar di atas wajar saja. Sebab, kata Dr. Dhaniel Dakidae di depan peserta kongres, penerbitan buku dengan unsur kapital, tenaga kerja, dan bahasa, bermain dalam dunia ide, dunia literer, yang adalah suatu medan kekuatan sekaligus medan pertarungan. Di situ, setiap aliran dalam sastra, politik, kebudayaan, dan intelektual lainnya, mencari medannya masing-masing. Teori dunia literer yang diacu oleh Dakidae menjelaskan terjadinya persaingan ide dan kemungkinan unggulnya yang satu atas yang lain sehingga bisa memaksakan makna tertentu dalam diskursus publik. Tetapi sejauh yang bisa saya tangkap dari uraiannya di depan peserta kongres, teori tersebut tidak mengungkap rasionalitas sebagai penentu keunggulan tersebut. Atas pertimbangan itu, tulisan ini memilih untuk mengacu pada teori Karl R. Popper tentang “Dunia Ketiga”, yang merupakan dunia obyektif isi pikiran logis dari proses pemikiran subyektif, dunia teori, argumen, situasi problem, dan kritik dipandang dalam dirinya sendiri. Teori ini juga menjeiaskan terjadinya persaingan antar-ide, tetapi sekaligus memandang keberhasilan meyakinkan orang lewat argumen rasional berbeda dengan sukses memaksakan makna tertentu lewat propaganda atau kekuasaan. Untuk memanfaatkan perbendaharaan ide yang berjibun dalam “Dunia Ketiga”, menurut Popper orang harus bersikap rasional, terbuka, rendah hati, sedia belajar dari kritik. Menyoroti segala pertarungan ide dari perspektif teori “Dunia Ketiga” memungkinkan orang melihat kemungkinan adanya saling interaksi, fertilisasi, dan pengilhaman satu sama lain antar ide yang terlontar dalam diskursus publik. Dalam konteks Kongres XV Ikapi, adanya pendapat bahwa persaingan penerbit dan pengusaha toko buku, atau persaingan antar-penerbit dalam hal distribusi buku pelajaran, hanya merupakan peristiwa alamiah belaka, menantang orang untuk berpaling ke dunia gagasan etis yang perlu untuk mengendalikan hukum rimba. Dari situ muncul ide “memperhatikan etika distribusi buku yang sehat”, yang rumusan konkritnya masih harus dicari.

Contoh lain, ide buku murah melecut seorang peserta berpikir tentang GNP. Bila GNP naik, dan kesejahteraan masyarakat meningkat, persoalan buku mahal akan gugur. Hal ini mengingatkan orang akan kesimpulan Prof. Zigeo Minowa dari surveinya tentang perbukuan Indonesia dalam 1996 dan 1997. Menurutnya, pengorbanan ekonomis rakyat Indonesia dalam membeli buku sepuluh kali lebih tinggi daripada rakyat Jepang, Semakin tinggi GNP kita, semakin rendah pengorbanan ekonomis yang ditanggung oleh rakyat untuk membeli buku. Jadi, upaya membuat harga buku terjangkau oleh masyarakat banyak, bukan hanya urusan Ikapi maupun masyarakat perbukuan, melainkan urusan bangsa kita secara keseluruhan, dengan porsi terbesar di tangan pemerintah. Sebab, buku sebagai sarana pencerdasan dan peningkatan kesadaran etis bangsa merupakan suatu unsur vital dari kepentingan urnum, yang memang menjadi tugas pokok pemerintah.

Dari kongres XV Ikapi, tampak banyak persoalan yang menghadang organisasi ini. Adalah kenyataan, perkembangan Ikapi, seperti bisa disimpulkan dari buku 50 Tahun IKAPI Membangun Masyarakat Cerdas, tampak seakan berjalan di tempat. Bayangkan 50 tahun lalu, Ikapi mempunyai 5 cabang, dan kini cabang Ikapi baru berjumlah 7 di seluruh Indonesia. Contoh lain, sejak 1980-an, ketika Bapak Hutauruk, S.H. (almarhum) melaporkan dalam kongres IPA (International Book Publishers Association) produksi tahunan penerbit Indonesia menurut estimasi tak lebih dari 4.000 judul, sampai kini terpatok pada angka itu juga estimasi Ikapi tentang produk tahunan penerbit kita.

Begitu pun, masih ada benih harapan untuk maju. Sebab, dalam kongres yang sarat dengan perang kata itu pun, tampak bahwa pengurus Ikapi, baik yang lama maupun yang baru, secara eksplisit mengakui kritik sebagai sarana kemajuan, bahkan sebagai bagian kerja sama membangun peradaban di Indonesia.

Alfons Taryadi, Ketua I Himpunan Penerjemah Indonesia
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 5/Desember 2002