Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pasar E-book Sepi, Langkah Penerbit Setengah Hati

Pada tahun 1949, Angela Ruiz Robles, seorang guru berkebangsaan Spanyol memperhatikan satu kesulitan murid-muridnya. Mereka harus mengangkut setumpuk buku dengan materi yang berbeda-beda, untuk satu hari kegiatan belajar mengajar di sekolah. Timbul keinginan dalam diri Angela untuk meringankan beban murid-muridnya.

Ia kemudian berusaha menciptakan sebuah alat pembaca buku otomatis. Berbentuk seperti koper kecil, alat ini kemudian memungkinkan murid-muridnya membaca beberapa buah buku dalam satu perangkat. Alat ciptaannya ini pun menjadi prototipe pembaca e-book modern seperti Kindle atau Nooks.

Seiring dengan perkembangan teknologi, kini seseorang hanya memerlukan sebuah gawai untuk mengakses e-book. Adanya website hingga platform yang menyediakan jasa layanan e-book, memungkinkan masyarakat untuk mendapatkan buku-buku digital. Pasar e-book pun mulai bermunculan di masyarakat.

Menghadapi berkembangnya pasar baru ini, para penerbit di Indonesia mulai ikut serta dalam dunia perbukuan digital. Beberapa penerbit seperti Kompas Gramedia, Kanisius, dan bahkan penerbitan kampus layaknya UGM Press, kini telah merintis penerbitan digitalnya masing-masing.

Penerbit Kanisius misalnya, telah memberi perhatian terhadap e-book sejak sepuluh tahun yang lalu. Akhirnya pada tahun 2011, Kanisius membentuk satu divisi bernama digital publishing. Rini memaparkan, divisi ini dibentuk untuk mengeksplorasi penerbitan digital lebih dalam lagi, mulai dari format digital publishing, pengkonversian, hingga ke pemasaran. “Seandainya nanti medianya sudah bukan lagi tercetak, berarti penerbit harus siap,” tambahnya.

Selain Kanisius, penerbit Bentang Pustaka juga telah melakukan persiapannya dalam mengantisipasi kemunculan pasar digital. Salman Faridi, CEO Bentang, memaparkan bahwa penerbitannya telah memproduksi e-book sejak beberapa tahun terakhir. Ia memandang perkembangan digital telah membuat konsumen terbiasa dengan bacaan yang lebih pendek dari segi jumlah halaman. “Mungkin 50 halaman sudah ideal. Coba anda bayangkan kalau baca teori ekonomi 400 halaman, tidak kebayang kan?” tutur Salman menjelaskan.

Meski demikian, penerbitan buku digital ternyata tetap belum menjadi fokus utama penerbit-penerbit tersebut. Data Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) menyebutkan bahwa 95% penerbit belum tertarik untuk mengembangkan penerbitan digitalnya sendiri saat ini. Selain itu, data IKAPI juga menunjukkan bahwa sejak 2010 pasar e-book hanya bertumbuh 2%.

Kurangnya prioritas penerbit terhadap e-book juga menjadi perhatian Irfan Adam, Head of Content MOCO Aksaramaya, salah satu platform penyedia layanan buku digital di Indonesia. Ia mengatakan bahwa penerbit cenderung masih memiliki cara pikir konvensional. “Belum ada kemauan besar dari penerbit untuk memproduksi buku dalam dua bentuk (cetak dan digital),” ujarnya. Padahal, menurutnya lagi, penerbit perlu memberikan lebih banyak pilihan judul bagi pembaca di platform digital agar e-book menjadi lebih populer.

Hal ini berujung pada penjualan buku digital yang masih lebih sedikit dibandingkan buku cetak. Eka Indarto, anggota tim riset di Information and Communication Technology for Development UGM menyebutkan, perbandingan penjualan buku cetak dengan buku digital hanya satu banding lima hingga satu banding enam saja.

Di sisi lain, sedikitnya keuntungan yang didapat dari penjualan buku digital juga menjadi alasan penerbit. Contohnya penerbit Kanisius yang per tahun hanya mendapatkan sekitar 70 juta saja dari penerbitan digital, dibandingkan dengan omzet penjualan buku cetak Kanisius yang mencapai 40 milyar. Rini menambahkan bahwa pendapatan dari buku digital tersebut masih lebih rendah dari investasi yang diberikan Kanisius.

Namun demikian, hal ini tidak menyurutkan keinginan penerbit seperti Kanisius untuk berinvestasi lebih banyak pada buku digital di masa depan. “Kalau pasarnya memang jadi lebih masif dan perkembangannya menjadi sangat pesat, ya mungkin terpaksa kita (penerbit) lakukan itu,” jelas Direktur Kanisius.

Lesunya pasar ebook selain bergantung dari sisi penerbit, juga bergantung dari sisi konsumennya. Saat ini pembaca cenderung lebih memilih buku cetak konvensional dibanding e-book. Hartmantyo misalnya, mahasiswa Departemen Sosiologi ‘11 UGM ini menuturkan bahwa ia jauh lebih nyaman menggunakan buku cetak dibanding e-book “Kalau baca buku digital perlu listrik dan nggak bisa mobile ke mana-mana, terlebih aku nggak tahan di depan layar laptop terlalu lama,” terang pria yang memiliki koleksi buku lebih dari 200 judul ini.

Hartmantyo juga menyoroti masih adanya masyarakat di Indonesia yang kesulitan untuk mengakses internet, terlebih mengakses e-book. “Akses internet di beberapa daerah masih susah. Sewaktu aku KKN di Maluku Tenggara, untuk buka Google aja butuh 5 menit, itu belum sampe ke websitenya. Alhasil kami waktu itu nggak bisa mengakses internet,” jelasnya.

Kendatipun saat ini pasar e-book belum begitu populer, Drs. Budhy Komarul Zaman, Dosen Departemen Ilmu Komunikasi UGM, menyebutkan bahwa munculnya buku digital adalah suatu hasil terobosan yang tidak dapat ditolak oleh masyarakat. “Secara pragmatis, arahnya memang ke digital nanti,” terangnya.

Hal tersebut diamini oleh Eka Indarto. Ia menyebutkan bahwa orang akan semakin nyaman menggunakan e-book setelah mendapatkan kemudahan melalui perkembangan teknologi. Terlebih, menurutnya kini terdapat pertumbuhan dari aspek pembaca digital. “Generasi-generasi baru sudah menempatkan internet sebagai sumber utama informasi. Artinya, kalau dia mau mencari kedalaman informasi, pasti lari ke electronic literature,” terang Eka.

Harmantyo sebagai seorang pembaca mengaku turut merasakan hal tersebut. Selama ini ia menggunakan e-book ketika ada tugas atau diktat rujukan dosen yang mengharuskan untuk mengakses buku digital. Buku digital pun banyak menolong dirinya ketika membutuhkan akses ke buku yang tidak terjangkau secara fisik di sekitar Jogja. “Misal kalau ingin beli buku terbitan Oxford, daripada mengirim dalam bentuk fisik yang butuh biaya kirim juga, lebih baik membeli atau mengakses e-book-nya,” ungkapnya.

Eka Indarto juga menambahkan bahwa hal yang penting bagi pelaku penerbitan adalah menstrategikan model media yang diterima masyarakat. Hal tersebut ditekankan agar penerbit mampu menghadapi pasar buku digital. “Kedua model ini, yakni cetak dan digital, lekat dengan masyarakat. Tinggal bagaimana penerbit mampu mengelola segmen dan bagimana mereka mampu me-maintenance segmen itu secara terus menerus,” paparnya.

Menurut Eka, penerbit juga harus mampu memanfaatkan teknologi baru untuk membangun integrasi dengan berbagai industri. “Teknologi baru di dalam pengembangan platform digital itu mampu melakukan agregasi dan integrasi baik dari aspek user, konten maupun konteks. Artinya di sini, seorang penerbit dapat melakukan integrasi dengan berbagai industri,” pungkasnya.

Sultan, Krisanti, Fitria
Balkon Balairung Edisi Spesial 2016