Obituari H.B. Jassin (1917-2000)
Hans Bague Jassin bukanlah seorang paus sastra, melainkan seorang pencatat yang piawai. Juga seorang perawat sastra Indonesia yang telaten.
Seorang paus menahbiskan, memimpin hirarki, memerintah atas nama lembaga. Jassin tidak. Ada yang mengatakan bahwa lelaki yang cenderung pendiam ini (gamang bicara di depan umum) menahbiskan Chairil Anwar, juga sekian banyak angkatan sastra. Sesungguhnya ia cuma mengumumkan apa yang layak, yang wajar diterima oleh publik. Ketika tak seorang pun memperhatikan Chairil, Jassinlah yang berani mempertanggungjawabkan, menyurung ke depan publik, si penyair Medan itu. Jassin tajam membaca apa yang belum mampu dibaca zaman dan lingkungannya.
Namun, bila ia mengumumkan sejumlah angkatan sastra —dengan menerbitkan sekian bunga rampai— itu dilakukannya bukan terutama dengan pamrih seorang pembaptis, melainkan dengan ketekunan seorang pencatat yang bekerja sendirian dengan stamina yang mengagumkan. Ia tak putus-putus menjadi redaktur pelbagai majalah sastra dan budaya sejak 1940-an sampai ambang alaf ketiga ini: Poedjangga Baroe, Balai Pustaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, Bahasa dan Budaya, Seni, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetabuan, dan Horison. Hanya seorang Jassin yang bisa mengalami rentangan terpanjang sastra modern Indonesia di abad 20 ini: hidup di dalamnya, menyaksikan pasang surut dan pasang naik kaum penulis, tanpa memihak salah satu generasi. Angkatan sastra, bagi Jassin, pada dasarnya hanya pembagian, (dan bukan cerminan sebuah ide sastra), bagaikan rak-rak dalam dokumentasinya yang berimpit-impit itu.
Kritik sastra Jassin bukanlah kritik sastra yang lazim sebagaimana dipercayai kaum ilmuwan sastra, melainkan hasil catatannya sebagai redaktur majalah sastra: “pragmatis,” sebuah penilaian berdasarkan kepekaan dan akal sehat, barangkali untuk diperdebatkannya dengan redaktur lain, sebelum akhirnya diuarkan ke publik sastra. Inilah yang kita baca, misalnya dalam 4 jilid Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Memang Jassin tak selamanya tepat dan tajam. Banyak penulis cemerlang yang luput dari kuterianya. Sementara, pada usia larutnya, ia begitu toleran: semua karya bernilai di matanya.
Keteguhan lelaki kelahiran Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Juli 1917 ini pernah menghantarnya pada masa-masa sulit. Meski ia cuma menjalankan kehidupan sastra, ada saatnya kekuatan lain, entah itu bernama “Negara” atau “masyarakat,” yang menganggap sastra bukan sekadar sastra. Ia dikeluarkan dari Lembaga Bahasa Departemen P dan K dan Universitas Indonesia pada 1964 karena ikut meneken Manifes Kebudayaan. Ia dianggap “menghina Tuhan” karena menerbitkan cerpen Langit Makin Mendung pada 1968; dan ia dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ia mengalami tekanan ketika menerbitkan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia pada 1978.
Kontroversi semacam itu tak meredakan keteguhan Jassin. Lebih dari seorang redaktur yang tabah, ia juga pemburu dan penyimpan yang keras kepala. Di antara waktunya mengajar, membaca, menulis, dan menerjemahkan, Jassin, yang di puncak kesehatannya mengaku hanya tidur 4 jam sehari, membangun dokumentasinya sendiri. Ia bukan hanya menyimpan naskah asli, surat-surat penulis, buku dan majalah: ia berburu ke pasar loak, ke mana saja, juga membuat kliping sendirian. Hasilnya sebuah dokumentasi —raksasa untuk Sastra Indonesia— yang kian memenuhi rumahnya di Jalan Arimbi, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Dokumentasi itu kemudian dilembagakan, dibuka untuk publik, sebagai Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, berkat jasa Gubernur Ali Sadikin.
Tak akan sulit kita bersepakat bahwa Pusat Dokumentasi Sastra itulah karya Jassin yang terbesar. Siapa pun yang akan meneliti sastra Indonesia modern tidak mungkin mengabaikannya. Itulah kerja besar yang dilakukannya sejak awal 1940-an: dengan keringat sendiri, dengan kantung sendiri (juga dengan dukungan istrinya, Arsiti).
Keberadaan Pusat Dokumentasi Sastra menjadi begitu berharga ketika semua pihak hanya berseru-seru tentang pelestarian budaya dan pentingnya belajar dari sejarah, namun tak kunjung memelihara perpustakaan, museum, arsip dan lembaga dokumentasi lain dengan serius.
Jassin adalah sebuah subversi bagi kelaziman, bagi pengumuman. Sebuah teladan yang tak pernah lekang: ternyata orang seoranglah yang merawat khazanah sastra Indonesia, sementara di seberangnya, negara yang mestinya punya tanggung jawab untuk itu justru berlaku filistin sekalipun mengaku “mencerdaskan bangsa”.
Kita semua berduka cita atas berpulangnya H.B. Jassin pada 11 Maret 2000 ke hadapan Allah.
Jurnal Kalam No. 15 tahun 2000
Seorang paus menahbiskan, memimpin hirarki, memerintah atas nama lembaga. Jassin tidak. Ada yang mengatakan bahwa lelaki yang cenderung pendiam ini (gamang bicara di depan umum) menahbiskan Chairil Anwar, juga sekian banyak angkatan sastra. Sesungguhnya ia cuma mengumumkan apa yang layak, yang wajar diterima oleh publik. Ketika tak seorang pun memperhatikan Chairil, Jassinlah yang berani mempertanggungjawabkan, menyurung ke depan publik, si penyair Medan itu. Jassin tajam membaca apa yang belum mampu dibaca zaman dan lingkungannya.
Namun, bila ia mengumumkan sejumlah angkatan sastra —dengan menerbitkan sekian bunga rampai— itu dilakukannya bukan terutama dengan pamrih seorang pembaptis, melainkan dengan ketekunan seorang pencatat yang bekerja sendirian dengan stamina yang mengagumkan. Ia tak putus-putus menjadi redaktur pelbagai majalah sastra dan budaya sejak 1940-an sampai ambang alaf ketiga ini: Poedjangga Baroe, Balai Pustaka, Mimbar Indonesia, Zenith, Kisah, Sastra, Bahasa dan Budaya, Seni, Buku Kita, Medan Ilmu Pengetabuan, dan Horison. Hanya seorang Jassin yang bisa mengalami rentangan terpanjang sastra modern Indonesia di abad 20 ini: hidup di dalamnya, menyaksikan pasang surut dan pasang naik kaum penulis, tanpa memihak salah satu generasi. Angkatan sastra, bagi Jassin, pada dasarnya hanya pembagian, (dan bukan cerminan sebuah ide sastra), bagaikan rak-rak dalam dokumentasinya yang berimpit-impit itu.
Kritik sastra Jassin bukanlah kritik sastra yang lazim sebagaimana dipercayai kaum ilmuwan sastra, melainkan hasil catatannya sebagai redaktur majalah sastra: “pragmatis,” sebuah penilaian berdasarkan kepekaan dan akal sehat, barangkali untuk diperdebatkannya dengan redaktur lain, sebelum akhirnya diuarkan ke publik sastra. Inilah yang kita baca, misalnya dalam 4 jilid Kesusastraan Indonesia Modern dalam Kritik dan Esei. Memang Jassin tak selamanya tepat dan tajam. Banyak penulis cemerlang yang luput dari kuterianya. Sementara, pada usia larutnya, ia begitu toleran: semua karya bernilai di matanya.
Keteguhan lelaki kelahiran Gorontalo, Sulawesi Utara, 31 Juli 1917 ini pernah menghantarnya pada masa-masa sulit. Meski ia cuma menjalankan kehidupan sastra, ada saatnya kekuatan lain, entah itu bernama “Negara” atau “masyarakat,” yang menganggap sastra bukan sekadar sastra. Ia dikeluarkan dari Lembaga Bahasa Departemen P dan K dan Universitas Indonesia pada 1964 karena ikut meneken Manifes Kebudayaan. Ia dianggap “menghina Tuhan” karena menerbitkan cerpen Langit Makin Mendung pada 1968; dan ia dihukum satu tahun penjara dengan masa percobaan dua tahun. Ia mengalami tekanan ketika menerbitkan Al-Quranul Karim Bacaan Mulia pada 1978.
Kontroversi semacam itu tak meredakan keteguhan Jassin. Lebih dari seorang redaktur yang tabah, ia juga pemburu dan penyimpan yang keras kepala. Di antara waktunya mengajar, membaca, menulis, dan menerjemahkan, Jassin, yang di puncak kesehatannya mengaku hanya tidur 4 jam sehari, membangun dokumentasinya sendiri. Ia bukan hanya menyimpan naskah asli, surat-surat penulis, buku dan majalah: ia berburu ke pasar loak, ke mana saja, juga membuat kliping sendirian. Hasilnya sebuah dokumentasi —raksasa untuk Sastra Indonesia— yang kian memenuhi rumahnya di Jalan Arimbi, Tanah Tinggi, Jakarta Pusat. Dokumentasi itu kemudian dilembagakan, dibuka untuk publik, sebagai Pusat Dokumentasi Sastra H.B. Jassin, di Taman Ismail Marzuki, berkat jasa Gubernur Ali Sadikin.
Tak akan sulit kita bersepakat bahwa Pusat Dokumentasi Sastra itulah karya Jassin yang terbesar. Siapa pun yang akan meneliti sastra Indonesia modern tidak mungkin mengabaikannya. Itulah kerja besar yang dilakukannya sejak awal 1940-an: dengan keringat sendiri, dengan kantung sendiri (juga dengan dukungan istrinya, Arsiti).
Keberadaan Pusat Dokumentasi Sastra menjadi begitu berharga ketika semua pihak hanya berseru-seru tentang pelestarian budaya dan pentingnya belajar dari sejarah, namun tak kunjung memelihara perpustakaan, museum, arsip dan lembaga dokumentasi lain dengan serius.
Jassin adalah sebuah subversi bagi kelaziman, bagi pengumuman. Sebuah teladan yang tak pernah lekang: ternyata orang seoranglah yang merawat khazanah sastra Indonesia, sementara di seberangnya, negara yang mestinya punya tanggung jawab untuk itu justru berlaku filistin sekalipun mengaku “mencerdaskan bangsa”.
Kita semua berduka cita atas berpulangnya H.B. Jassin pada 11 Maret 2000 ke hadapan Allah.
Jurnal Kalam No. 15 tahun 2000