Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Mohammad Hatta dan Anak Rohaninya, Daulat Ra’jat

Menyambut peringatan 100 tahun kelahiran Mohammad Hatta pada tahun 2002, diterbitkan sejumlah buku yang mengenangkan proklamator asal Sumatera Barat ini. Di antara berbagai buku yang terbit, sangatlah menarik untuk memperhatikan secara khusus penerbitan koran Daulat Ra’jat dalam dua jilid, antara tahun 1931 hingga 1934.

Tulisan ini mencoba membahas penerbitan koran Daulat Ra’jat itu dalam dua sisi. Pertama, akan sedikit dibahas bagaimana sumbangan yang diberikan oleh penerbitan koran ini kepada pubiik hari ini dalam kerangka pemahaman tentang sejarah pers di Indonesia, terutama pada masa kolonial Belanda. Kedua, bahasan akan diberikan kepada sosok Hatta dan koran Daulat Ra’jat yang penulis sebut sebagai anak rohani seorang intelektual bernama Mohammad Hatta.

Sumbangan bagi Penulisan Sejarah Pers Indonesia
Menarik juga dalam 1-2 tahun belakangan ini muncul sejumlah buku yang memberikan bahan lebih banyak bagi pemahaman serta penulisan sejarah pers Indonesia. Ada buku yang khusus menyoroti tentang periklanan pada masa pemerintahan kolonial (Bedjo Riyanto, Iklan Surat Kabar dan Perubahan Masyarakat di Jawa Masa Kolonial 1870-1915, Yogyakarta: Tarawang, 2000), lalu juga buku reportase seorang wartawan perintis pers Indonesia, Abdul Rivai (Student Indonesia di Eropa, Jakarta: Kepustakaan Populer-Gramedia, 2000), dan juga penerbitan kembali karya kolektif tim LIPI yaitu Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia (Abdurrachman, Suryomihardjo ed., Jakarta: Penerbit Kompas, 2002, edisi pertama tahun 1980 diterbitkan oleh Leknas LIPI Bekerja sama dengan Litbang Departemen Penerangan). Masih ada beberapa buku lain juga sebenarnya; namun tiga ini sekadar menyebut yang terakhir muncul.

Penerbitan koran Daulat Ra’jat pada tahun ini perlu disambut gembira, karena penerbitan buku ini akan memberikan gambaran nyata kepada para pembaca tentang bagaimana isi koran pada zaman kolonial, terutama koran yang menunjukkan sikap oposisi kepada pemerintahan kolonial Belanda, sembari di sisi lain koran ini juga memberikan pendidikan politik kepada masyarakatnya. Arti penting penerbitan buku ini ialah memberikan bahan yang bisa langsung dibaca oleh peminatnya tentang koran yang dikeluarkan kurang lebih 70 tahun yang lalu.

Kalau bukan peminat sejarah ataupun peneliti khusus, agak sulit pembaca umum bisa menemui terbitan semacam ini. Biasanya pun para peminat sejarah atau para peneliti akan menemukan koran-koran tua seperti ini di Museum Nasional, Perpustakaan Nasional, atau dalam arsip-arsip pribadi para tokoh sejarah. Dengan penerbitan ini, maka koran Daulat Ra’jat bisa dibaca oleh khalayak yang lebih luas dari sekadar para peminat sejarah dan peneliti. Dari situ pembaca pun bisa mempelajari apa saja yang telah ditulis oleh para jurnalis atau pun para tokoh pergerakan kala itu.

Sangat jarang ada sebuah koran diterbitkan kembali dalam bentuk buku sebagai bahan dokumentasi. Akan tetapi, koran Daulat Ra’jat memang layak untuk diterbitkan kembali sebagai buku karena nilai historis yang dimilikinya sangat besar. Koran ini berkaitan erat dengan usaha pendidikan politik bagi masyarakat dan mencerminkan gambaran kalangan pergerakan tahun 1920-30-an yang biasa menerbitkan koran sebagai organ kepentingan politiknya (baca: kemerdekaan Indonesia). Sekadar memberikan konteks terhadap kemunculan koran ini, penting juga untuk disebutkan bahwa meskipun ketika itu sedang bersekolah di Belanda sejak awal Hatta terlibat dalam pendirian Koran itu sebagai hasil persetujuannya dengan Soedjadi, seorang tokoh pergerakan dari kelompok Merdeka di Jakarta. Keterangan tentang koran ini dapat kita baca dari memoir yang ditulis Hatta sendiri dan artikel yang ditulis oleh JD Legge, “Daulat Ra’jat and the Ideas of The Pendidikan Nasional Indonesia”, pada jurnal Indonesia dari Cornell University (No. 32, Oktober 1981).

Kita bisa membayangkan bagaimana proses yang terjadi di balik pendirian koran ini, betapa ide yang demikian brilian telah dikemas sedemikian rupa dengan segala keterbatasan alat komunikasi dan transportasi yang menghubungkan negeri Belanda dan negeri jajahannya, Hindia Belanda, pada masa itu. Sayang tak ditulis dengan cukup jelas berapa lama waktu dibutuhkan untuk sebuah surat dari Belanda untuk bisa sampai ke negeri jajahan. Dalam catatan memoir Hatta disebutkan bahwa perjalanan yang ia tempuh dari Hindia Belanda menuju negeri Belanda membutuhkan waktu 1 bulan perjalanan laut. Bisa dibayangkan itulah waktu tersingkat yang diperlukan untuk sebuah surat —berisi tulisan yang akan dimuat dalam koran Daulat Ra’jat beserta curah gagasan lainnya— dari negeri Belanda untuk sampai di negeri Hindia Belanda.

Mereka-mereka yang terlibat dalam Daulat Ra’jat antara lain: Sjahrir, Soedjadi, Murad, Sjahruzah dan Teguh. Daulat Ra’jat didirikan pada bulan September 1931, sebagai organ dari Golongan Merdeka yang didirikan oleh sejumlah orang eks anggota PNI sebelum Soekarno ditahan. Pada bulan Desember 1931, Golongan Merdeka ini bergabung dengan sejumlah kelompok lain dalam PNI Baru. Sjahrir pulang dari Belanda pada akhir tahun 1931 dan mengambil alih pimpinan koran ini semenjak edisi awal tahun 1932. Hatta baru pulang bulan September 1932 dan kemudian segera menjadi pimpinan redaksi Daulat Ra’jat. Baik Hatta maupun Sjahrir menjadi tulang punggung intelektual dari —dalam istilah Legge— kelompok nasionalis sekuler, dan setelah itu dalam koran Daulat Ra’jat ini kita akan melihat berbagai statement dari keduanya menyangkut strategi dan taktik perjuangan yang mereka lakukan.

Penerbitan kembali Daulat Ra’jat ini menarikjuga bila kita perhatikan pada berbagai aspek fisiknya. Misalnya dari soal tipografi huruf yang dipakai, besarnya koran tersebut (format) —apakah ini merupakan format yang sesungguhnya atau telah diperkecil atau diperbesar, tak ada keterangan dalam pengantar penerbitan ini —juga susunan keredaksiannya— di masa awal ada keterangan yang agak jelas tentang pengurus koran ini, namun belakangan keterangan tentang pengurus coba disebutkan “dewan redaksi” saja. Tidak pula disebutkan dalam pengantar terbitan ini, bagaimana koleksi koran ini didapat, apakah dari koleksi pribadi Moh. Hatta ataukah meminjam koleksi yang dimiliki oleh perpustakaan di Belanda, seperti di Universitas Leiden.

Sayang juga beberapa hal kecil yang menjadi penting untuk melengkapi keterangan tentang penerbitan ini juga tak muncul dalam pengantar buku ini. Misalnya, berapa jumlah sirkulasi koran ini, di mana dicetak, berapa jumlah pelanggannya. Dan harus diingat juga, koran ini memang koran propaganda, dan praktik jurnalistik sama sekali jauh dari keinginan para pengasuhnya, karena artikel yang termuat di sini lebih merupakan opini ataupun artikel yang memberikan pengetahuan kepada para pembacanya. Sama sekali tak berniat untuk menjadi surat kabar umum yang lebih menekankan fungsi informasi.

Sedikit pula catatan kecil tentang nama, Daulat Ra’jat yang dipakai koran ini mencerminkan pula ideologi pada zamannya, ketika banyak surat kabar pada waktu itu menekankan ideologi tertentu dalam penamaan korannya. Ada masa pada awal abad ke-20, ketika sejumlah koran mengambil ideoiogi ‘terang’ dan dicerminkan dengan penamaan sejumlah koran dengan nama “Suluh”, “Terang”, “Obor”, “Cahaya”, seakan hendak mengatakan bahwa koran-koran yang ada ini adalah mereka yang memberikan penerangan kepada masyarakat pembacanya. Kemudian ada masanya pula ketika sejumlah penerbitan menggunakan kata “Bergerak” dalam nama terbitannya. Pada masa yang kurang lebih sama digunakan juga kata “Ra’jat” (Rakyat dalam ejaan EYD) sebagai nama terbitannya. Daulat Ra’jat masuk dalam kategori terakhir ini.

Muhammad Hatta dan Pendirian Daulat Ra’jat
Bagi Hatta, Daulat Ra’jat mungkin menjadi semacam kelanjutan penyebaran ide yang telah ia lakukan dalam majalah milik Perhimpunan Indonesia, bernama Indonesia Merdeka. Keduanya merupakan anak rohani dari seorang intelektual dan pejuang kebangsaan, Mohammad Hatta. Ide-ide Hatta tentang dunia sekitarnya, tentang impiannya ke depan —Indonesia Merdeka— dan cara-cara mana yang bisa dilakukan untuk meraihnya, tertuang dalam dua terbitan tersebut.

Kembali kita coba bayangkan bagaimana suatu ide terbang melintas lautan, dan kemudian menjadi inspirasi bagi sesama kalangan pergerakan di tanah air. Inilah contoh nyata dari apa yang disebut oleh Ben Anderson sebagai “komunitas imaji yang menghasilkan nasionalisme lewat jasa perkembangan kapiialisme media cetak”. Berminggu-minggu majalah ini masuk dalam peti yang nantinya akan disebarkan di Hindia Belanda, dan kemudian menjadikan bacaan wajib bagi kalangan pergerakan, dan memberikan landasan argumentatif bagi perjuangan mereka selanjutnya.

Namun demikian, haruslah diakui bahwa pilihan sadar Hatta untuk melakukan pendidikan model semacam ini menghasilkan dikotomi dengan apa yang dirintis oleh Sukarno dan kawan-kawannya kala itu. PNI (Partai Nasional Indonesia) pimpinan Soekarno rupanya lebih memilih model pengorganisiran massa lewat mimbar-mimbar, lewat retorika panggung, daripada melakukan pengkaderan yang aktif dan intensif seperti yang dilakukan oleh Hatta dan kawan-kawannya dalam PNI Baru sebagai kepanjangan dari Pendidikan Nasional Indonesia.

PNI Baru lebih mementingkan pembentukan kader yang terpilih, yang memiliki pendidikan dan pengetahuan yang memadai, yang kemudian akan mendidik lagi kader-kader lainnya. Kelompok PNI baru ini percaya bahwa untuk melakukan massa aksi harus menanti waktu sampai gerakannya sudah cukup kuat dan memiliki disiplin, berpengetahuan, memiliki kesadaran politik, dan keanggotaan yang luas. Ini yang membedakan antara PNI Baru dengan PNI sebelumnya yang lebih mengandalkan pengumpulan massa berlindung di balik retorika Soekarno.

Oleh karena itu, tidak mengherankan buat kita jika membaca kembali koran Daulat Ra’jat ini adalah membaca pamflet politik yang berisi pengetahuan yang disampaikan oleh para elit partai kepada para kadernya. Dari situ kita akan mengagumi keluasan pengetahuan dan kedalaman bacaan Hatta dan para pengasuh koran ini. Berbagai peristiwa dunia seakan tak lepas dari ulasannya. Hatta dengan tegas menunjukkan pilihan ideologinya, ia menginginkan kemerdekaan Indonesia, namun dengan jalan mendidik warganya, bukan semata-mata mengangkat senjata. Hal ini terlihat jelas misalnya dalam salah satu artikel pada edisi 20 April 1932, ada satu tulisan Hatta yang sangat terkenal berjudul “Persatoean Ditjari, Per-Sate-an Jang Ada”. Di situ Hatta menyindir ‘mabok persatoean’ yang digelorakan Soekarno sehingga menghasilkan kondisi yang oleh Hatta disebut per-sate-an. Per-sate-an di sini maksudnya, hanya dengan bertumpu pada ide persatuan, maka segala perbedaan mau coba dinafikan, dan memang pada kenyataannya tak mudah untuk menyatukan antara kelompok ningrat atau bangsawan dengan kelompok buruh atau masyarakat biasa.

Penutup
Dalam memoir Hatta sebenarnya tak ada pembahasan langsung tentang mengapa Daulat Ra’jat berhenti terbit, namun yang bisa diduga adalah setelah Hatta ditangkap bersama Sjahrir dan dibuang ke Boven Digul. Daulat Ra’jat masih sempat terbit dua nomor ketika Hatta masuk penjara di Jakarta, namun setelah itu tidak terbit lagi. Hatta tak menguraikan lebih jauh mengapa koran pendidikan itu berhenti terbit.

Bagaimana pun juga, membaca kembali naskah-naskah klasik milik Hatta sebenarnya membuat diri kita malu, bagaimana mungkin dengan keterbatasan akses informasi dan teknologi pada zaman pertengahan abad ke-20 itu, orang seperti Hatta dengan konsisten menjalankan roda pendidikan partai baik dari luar dan dalam negeri. Sementara itu pada zaman kita hidup sekarang ini, ketika perjalanan melintas benua cuma ditempuh dalam hitungan jam di bawah usia satu hari dan perkembangan teknologi komunikasi pun berkembang pesat dan memungkinkan pengiriman pesan dari berbagai wilayah dunia membuat kita bisa mengetahui perkembangan dunia dalam waktu sekejap, tapi kekonsistenan sikap seperti Hatta, dengan luas dan dalamnya pengetahuan yang dimiliki, sangat jarang ditemukan di kalangan para elit partai politik atau pun person dalam pemerintahan masa kini.

Adakah kini kita tengah bermimpi tentang masa silam? Ataukah kita memang sekarang harus kembali belajar pada generasi Hatta-Sjahrir ini: Retorika tak cukup membentuk pengertian kepada massa politik dan pendidikan adalah hal penting yang harus diutamakan siapapun.

Ignatius Haryanto, jurnalis dan wakil direktur eksekutif Lembaga Studi Pers dan Pembangunan.
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 5/Desember 2002