Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menyoal Buku Bacaan Remaja

Canfield, dkk. (1998) dalam Persembahan buku Chicken Soup for the Teenage Soul, 64 Kisah tentang Kehidupan, Cinta, dan Pembelajaran, menulis: “Dengan penuh cinta, kami mempersembahkan buku ini bagi semua remaja teman kami dan yang telah mengajari kami melalui pengetahuan mereka bahwa klta semua memiliki sesuatu yang penting untuk berbagi dengan orang lain.”

Kalimat yang sederhana itu secara mendalam mengungkapkan penghargaan terhadap kaum remaja, disertai kasih sayang, rasa bersahabat, sikap hormat, rendah hati, dan keterbukaan. Suatu sikap yang pas untuk mengantar klta masuk dalam wacana tentang buku bacaan remaja.

Usia Remaja
Istilah remaja biasanya digunakan untuk menunjuk kepada periode dari awal masa pubertas sampai masa dewasa. Ada yang mengatakan masa remaja merentang dari umur 12-18 tahun. Pendapat lain menganggap masa tersebut muiai dari 12-19 tahun. Adapula yang membagi masa remaja menjadi dua tahap, yaitu tahap remaja awal (14-17 tahun untuk laki-laki dan 13-17 untuk perempuan) dan tahap remaja akhir (17-21 tahun baik untuk laki-laki maupun perempuan). (Funk & Wagnalls, 1971; Sanusi, et al., 1996)

Di kalangan penerbit buku di Indonesia, biasanya kategori bacaan remaja ditujukan kepada golongan pembaca usia 12-21 tahun. Demikian jawaban yang saya peroleh dari Penerbit Mizan, Angkasa, Kanisius, dan Pustaka Antara pada 1999. Penanggung jawab bacaan fiksi di Penerbit Gramedia Pustaka Utama, Listiana Srisanti, mengatakan, bacaan remaja seperti Serial Lupus ditujukan kepada usia 12-18 tahun.

Dipandang dari segi usia, kaum remaja merupakan segmen pasar yang besar, Dalam tahun 1998, penduduk Indonesia yang berusia 15-19 tahun berjumlah 22,1 juta, sedangkan siswa SLTP 3,3 juta dan siswa SLTA 4,9 juta (Media Scene, 1997/1998: 30-31). Tidak mengherankan bila segmen pasar buku remaja dianggap sangat potensial dan perlu digarap lebih serius, seperti pernah dikemukakan oleh Aida Yusuf Achmad dari Pustaka Antara. Pendapat yang sama juga disampaikan oleh Putut Widjanarko dari Mizan, Dadi Pakar dari Angkasa, dan I. Puja Rahardja dari Kanisius. (Taryadi, 1999: 3)

Tidak Gampang
Meskipun mempunyai pasar potensial, buku bacaan remaja merupakan garapan yang sulit. Tak gampang menerbitkan buku yang menarik bagi kaum remaja, kata Puja Rahardja, Dadi Pakar menekankan sulitnya menemukan naskah yang pas dan pengarang yang mengena di hati remaja. Menurut Putut Widjanarko, sulit mencari naskah yang layak di bidang buku bacaan remaja. Dari luar negeri, kata Putut, harus dicari yang ada nilai Islamnya, karena ini memang merupakan concern Mizan. “Dari dalam negeri sulit ditemukan penulis yang memahami dunia remaja dengan baik.”

Kesulitan menemukan naskah yang pas untuk remaja, mungkin terkait dengan kenyataan tentang kompleksnya masa remaja. Dalam buku Memahami Gejolak Masa Remaja, Dr. James E. Gardener (1990:10) menceritakan komentar beberapa sejawatnya tentang persoalan kaum remaja yang membikin pusing. Seorang temannya, ketika tahu ia sedang menulis tentang remaja, langsung membayangkan bahwa cerita yang ditulisnya itu tentu seram. Seorang kawan yang lain mengatakan, buku yang mencoba memberikan bimbingan menghadapi remaja pastilah isapan jempol belaka. Bahkan, pada suatu jamuan makan, seorang psikolog ternama memberikan saran kepadanya, cara terbaik menangani remaja dengan mengunci mereka di dalam gudang di saat mereka berusia 12 tahun, lalu melepaskannya kembali nanti, ketika mereka berusia 20 tahun.

Dr. James E. Gardener sendiri mempunyai pendapat sama tentang kerumitan  masalah remaja. Menurutnya, tak ada periode kehidupan manusia yang sesulit masa remaja. Masa remaja adalah masa yang sangat aneh dan rumit. Begitu banyak terjadi dalam suatu penggalan masa yang begitu singkat. Hanya dalam beberapa tahun mereka sudah pindah dari anak-anak menjadi orang dewasa, dari suatu keadaan ketergantungan mutlak menuju kebebasan. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila timbul kegalauan.

Pandangan tersebut senada dengan yang dikemukakan oleh novelis Zara Zettira ZR ketika ditanya mengapa ia ingin tetap menulis di bidang fiksi populer remaja. “Karena,” kata novelis yang tujuh karyanya pernah beredar lewar Penerbit Gramedia Pustaka Utama, “remaja itu orang yang paling perlu ditolong. Mereka sedang kritis identitas. Problem itu membuat mereka frustrasi, dan mereka belum bisa mengatasinya sendiri. Biasanya perasaan minoritas dan kebingungan dirasakan oleh remaja.” (Membaca, 1 November 1995: 24).

Puja Rahardja dari Kanisius pun mengungkapkan pendapat serupa. “Kelompok remaja,” katanya, “merupakan kelompok tanggung, masa yang ‘rumit’, labil, dengan perubahan psikis yang cepat sehingga sulit ditangani. Karenanya, tidak banyak penerbit yang memperhatikannya. Justru karena itu, kami ingin memperhatikan mereka” (Taryadi, 1999:4).

Tekad untuk memperhatikan remaja dengan misalnya menerbitkan buku bacaan untuk mereka ataupun buku tentang seluk-beluk remaja didukung oleh kenyataan bahwa betapapun rumit masalah mereka, kehidupan remaja bukan tidak bias dipahami (Gardener: 9). Mengikuti jejak Jean Piaget, psikolog Swiss yang kondang, Dr. James Gardener, Direktur Children’s Center di Venice, California, yang terkenal dengan diagnostik serta psikoterapiknya dengan anak-anak dan remaja itu, telah mengamati, berinteraksi, berpikir, dan belajar banyak dari anak-anaknya sendiri. Metode demikian tampaknya juga dipakai oleh Dr. Seto Mulyadi, seperti ditunjukkan dalam buku-buku yang ia tulis untuk Penerbit Elex Media Komputindo. Salah satu bukunya berjudul Memacu Bakat dan Kreativitas (1998).

Perhatian Penerbit terhadap Kaum Remaja
Seberapa besar perhatian penerbit terhadap kaum remaja? Berapa penerbit buku Indonesia memproduksi buku-buku bacaan remaja?

Tak jelas berapa persis jumlah penerbit yang menerbitkan buku bacaan remaja di Indonesia. Selama ini, para penerbit anggota Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) dibagi ke dalam golongan penerbit yang memproduksi buku teks sekolah (40%), buku anak-anak (20%), buku sekolah dan buku anak-anak (10%), sisanya (30%) menerbitkan segala jenis buku untuk orang dewasa (Sitepu, 1996). Rupanya, yang disebut sebagai buku anak mencakup juga buku bacaan remaja (Atmaja, 1985).

Dalam Pameran Buku Indonesia (14-19 September 1999) di Istora Senayan, yang diikuti sekitar 100 penerbit, kebanyakan peserta menggelar buku-buku untuk orang dewasa dalam bidang-bidang seperti agama, keterampilan, manajemen, ilmu-ilmu sosial, sains, humaniora, psikologi, pendidikan, dan buku umum (seperti ensiklopedi, kamus olahraga, dan rumah tangga). Hanya sedikit penerbit yang menyediakan buku-buku kategori bacaan remaja, seperti Penerbit Kanisius, Mizan, Gramedia Pustaka Utama, Elex Media Komputindo, Grasindo, Yayasan Andi, BPK Gunung Mulia, Balai Pustaka, Pradnya Paramita, Angkasa, dan Pustaka Sinar Harapan.

Menurut Putut Widjanarko, Mizan telah menerbitkan buku-buku untuk remaja sejak 1985, dan bahkan mempunyai lini sendiri yang diberi nama Mizan Sahabat Remaja Muslim. Beberapa judul dalam kategori ini, misalnya Petualangan Putri Waha, Kisah-kisah dari Mesir, Jalan Pintas ke Surga, Kumpulan Kisah Wanita Jaman Nabi dan Para Sahabat, Persinggahan Para Malaikat, Kumpulan Kisah Keluarga Nabi.

Di samping itu, Mizan juga menerbitkan buku Seri Rumah Masa Depan, menemani serial televisi dengan sutradara Ali Shahab yang cukup populer sewaktu ditayangkan. Semuanya berjumlah empat judul. Mengikuti genre Lima Sekawan, Mizan juga menerbitkan karya lokal Seri Tiga Sahabat tahun 1986 dengan judul Sindikat Pemeras dan Operasi Camar Hitam. Mizan juga memproduksi buku sejarah nabi untuk remaja sebanyak 24 jilid, dan Seri Kisah Sahabat Nabi. Buku-buku bacaan remaja tersebut, menurut Putut Widjanarko, tanpa pretensi menggurui ingin memperkenalkan dan memperdalam nilai-nilai Islam.

Penerbit Kanisius, menurut I. Puja Raharja, sejak awal 1990-an, sudah memulai menerbitkan buku dalam kategori Pustaka Remaja, Contoh produknya, antara lain Biarkan Kami Bicara tentang Sekolah dan Cita-cita, dan Kecil Bahagia, Muda Foya-foya, Tua Kaya Raya, Mati Maunya Masuk Surga, Remaja tentang Hedonisme. Judul-judul tersebut merupakan karya “Sanggar Talenta”, suatu tim pengarang remaja yang dibentuk Penerbit Kanisius. Selain itu, bisa disebut beberapa judul bacaan fiksi, misalnya Mari Cinta Puspa dan Janji Nina.

Dadi Pakar, editor Penerbit Angkasa, mengatakan, sejak ada pembelian buku bacaan untuk SLTP, lebih intensif sekitar 1986, Penerbit Angkasa menerbitkan buku cerita, keterampilan, sains dan matematika. Hal itu didorong oleh kenyataan bahwa memang ada proyek-proyek pengadaan buku bacaan anak dan remaja, di samping ada pasar bebas untuk buku-buku jenis itu. Tentu saja, ada motivasi untuk menyediakan bacaan edukatif bagi mereka, terutama dalam hal buku-buku non-fiksi.

Sementara itu, menurut Ibu Aida Yusuf, Pustaka Antara menerbitkan buku-buku kategori remaja hanya secara kebetulan. “Karena ada kenalan yang memberikan tulisannya berupa makalah-makalah seminar,” katanya. Karena itu, sampai November 1999, Pustaka Antara baru menerbitkan dua judul di tahun 1979, yaitu Bimbingan Sex untuk Remaja (Dr. H. Ali Akbar/Yusuf Abdullah Puar), dan Mengenal dan Memahami Masalah Remaja (Sanusi, Badri dan Syafruddin sebagai editor).

Yang Mengasyikkan
Belakangan ini, sering terdengar suara cemas tentang aspek negatif buku bacaan remaja terjemahan dari karya asing. Sebut saja seri Goosebumps, yang penuh cerita horor mengenai hantu, mumi, roh gentayangan, ataupun zombie. Seri ini laris terjual. Anak-anak melahap habis buku-buku itu, meski tebalnya sekitar 160 halaman tanpa dihiasi gambar sama sekali terkecuali ilustrasi cover yang menarik.

Dalam Simposium Perbukuan Nasional di Jakarta akhir Mei 1996, seorang pendidik, Drs. Drost, S.J., menekankan pentingnya menyediakan bagi anak-anak buku yang kena pada selera mereka. “Mereka (anak-anak),” kata Drost, “ingin berkhayal, membangun dunia antah-berantah, karena sebentar lagi mereka harus mendaratkan diri lagi pada meja belajar penuh dengan buku pelajaran yang menyebalkan.” Oleh karena itu, ia menganjurkan agar untuk mereka disediakan “buku-buku yang sesuai dengan selera mereka, bukan buku menurut selera orang tua.” Karenanya, kata Drost, lebih baik disediakan buku terjemahan yang digemari anak-anak daripada buku asli yang mereka tolak (Taryadi, 1996).

Kini mari kita bandingkan pendapat di atas dengan apa yang dikemukakan oleh Mary Leonhardt (1997) dalam buku Parents Who Love Reading, Kids Who Don’t, berikut ini:
“Sangatlah penting, bacaan yang Anda sarankan pada anak mestinya bacaan yang menyenangkan,” (1997:42)

“Sebenarnya, buku tidaklah harus ‘murahan’ — istilah siswa saya untuk buku fiksi pasaran— selama itu benar-benar mengasyikkan.” (1997: 2)

“Buku-buku yang mudah dipahami sangat bermanfaat bagi penanaman minat baca mereka. Carilah buku-buku yang demikian. Dukunglah anak-anak Anda untuk membaca buku-buku tersebut. Anak-anak akan segera mencari buku yang lain. Buku yang terlalu gampang akan membosankan mereka. Akan tetapi, biarkan itu terjadi secara alamiah. Jangan terburu-buru. Biarkan anak-anak membaca buku-buku yang membuat mereka merasa bahwa mereka adalah pembaca yang baik (1997:45). Tentu saja: selain yang gampang, buku-buku yang kita sodorkan kepada anak atau siswa kita haruslah buku-buku yang benar-benar mengasyikkan,” (1997:47)

Dalam buku 99 Cara Menjadikan Anak Anda “Keranjingan” Membaca, Mary Leonhardt juga menulis: “Jangan terlalu cemas untuk membuat anak-anak Anda hanya membaca buku-buku yang ‘baik’.”

Mengenai dalilnya itu, ia menandaskan, buku-buku seperti Goosebumps dan Babby-Sitters Club sebenarnya jauh dari definisi bacaan yang bagus. Namun justru buku-buku inilah, menurut Mary, membawa anak-anak kepada kecintaan membaca. Pada waktunya nanti, anak-anak akan bosan dengan buku-buku komik dan fiksi, tetapi saat itu kemampuan baca mereka akan lebih cepat dan lebih baik. Berawal dari kecintaan kepada satu atau dua buku, kecintaan membaca secara umum dapat berkembang. Jadi, carilah buku-buku yang menarik dan mengasyikkan itu (1999: 35, 38).

Uraian Leonhardt membuat saya ingat akan pengalaman saya sendiri dengan anak-anak saya. Ketika mereka masih anak-anak dan remaja, saya biasa memberikan mereka oleh-oleh komik dan novel-novel remaja. Tanpa diinstruksi, mereka berebut membaca buku-buku itu. Belum satu minggu setumpuk novel dan komik itu sudah mereka lahap habis.

Selain itu, mereka juga tak pernah saya suruh membaca apa yang biasa disebut orang “sastra serius”. Namun, di perpustakaan keluarga saya, terdapat sejumlah karya sastrawan Indonesia, seperti Chairil Anwar, Rendra, Putu Wijaya, Y.B. Mangunwijaya, Nh, Dini, Sapardi Djoko Damono, Iwan Simatupang, dan banyak nama yang lain. Belakangan saya tahu, anak bungsu saya bukan saja membaca novelnya Putu Wijaya dan Iwan Simatupang, melainkan juga menjajal terjemahan karya Krishnamurti, The Freedom from the Known.

Dengan pengalaman kecil tersebut, saya mendukung ide Mary Leonhardt untuk mengembangkan kemampuan dan minat baca anak-anak dan remaja melalui buku-buku yang membuat mereka menjadi pembaca yang asyik. Rupanya kedua buku karya Leonhardt, yang piawai daiam mendorong anak-anak untuk gemar membaca itu, oleh para ahli perpustakaan dikategorikan sebagai buku yang dapat membantu orang tua dalam mendampingi anak-anak remaja dalam kegiatan membaca.

Dari Remaja untuk Remaja
Kegiatan membaca sebenarnya merupakan satu unsur dari siklus kegiatan baca-tulis.

Kebiasaan membaca mendorong orang menulis dan hasil kegiatan menulis merangsang orang untuk membaca. Di Australia, Starfish Publications menerbitkan buku yang ditulis oleh anak untuk anak. Suatu contoh, Kelvin (9 tahun) dan Lincoln Stein Berger (11 tahun) mengarang buku Rapunsel, 50 Pengalaman yang Menegakkan Bulu Roma, sedangkan Janice Yee (9 tahun) menghasilkan karya Hidup Menurut Pandangan Adikku. Penerbit Mizan di Bandung, di tahun 1993, pernah meluncurkan Cerita Anak Merdeka, yang memuat cerita-cerita tulisan anak-anak berusia 9-14 tahun (Taryadi, 1995).

Dalam bidang buku fiksi untuk remaja, Penerbit Gramedia Pustaka Utama di tahun 1986 mulai menerbitkan karya penulis remaja dengan gaya remaja. Yang pertama Hilman Hariwijaya dengan Serial Lupus yang disambut antusias oleh kalangan remaja. Rintisan Hilman diikuti oleh para penulis segenerasi dengannya, seperti Zara Zettira, Arini Suryokusumo, Bubin Lantang, dan Gustin Suradji. Sejak 1986, karya Hilman yang diterbitkan Gramedia Pustaka Utama berjumlah 70 judul, di antaranya ditulis bersama Boim L, dan satu bersama Zara Zettira. Kini buku Hilman terbitan Gramedia Pustaka Utama yang beredar di pasar mencapai 2.326.000 eksemplar. Novelnya pertama Tangkaplah Daku, Kau Kujitak kini sudah mengalami cetakan ke-12, sedangkan dua novel berikutnya, cetakan ke-11.

Bagaimana dengan buku bacaan remaja karya terjemahan? Adalah menarik, bukan hanya karya fiksi seperti seri Harlequin dan Goosebumps yang laris, melainkan juga karya non-fiksi seperti Chicken Soup for the Teenage Soul, karya Jack Canfield, Mark Victor Hansen, dan Kimberly Kirberger, terbit 1997. Patut dicatat, buku tersebut telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Femmy Syahrani, dan diterbitkan oleh Penerbit Gramedia Pustaka Utama, 1998. Buku ini cukup laris. Terjual 3.718 eksempiar (1998), 16.710 eksemplar (1999) dan 7.162 (2000).

Mengingat isinya yang membuat trenyuh pembaca, tua ataupun muda, buku karya Jack Canfield, dkk. itu bisa dijadikan suatu model buku bacaan non-fiksi bagi remaja di Indonesia. Tampaknya bacaan remaja jenis ini kurang tersedia di Indonesia. Padahal, situasi kaum remaja di Indonesia saat ini, justru sangat memerlukan buku bacaan yang memberikan inspirasi ke arah sikap-sikap mulia, seperti yang terkandung dalam kisah-kisah Chicken Soup for the Teenage Soul.

Menggugah Kedewasaan
Tak lama seteiah Chicken Soup for the Teenage Soul beredar, tim penulisnya setiap hari menerima ratusan surat yang berisi cerita-cerita, puisi-pisi, ucapan-ucapan terima kasih, dan permintaan akan buku kedua sesegera mungkin. Suatu sukses besar. Pada tahun pertama penerbitannya, buku ini terjual tiga juta eksemplar.

Rekor penjualan semacam itu oleh para pengarangnya dibaca sebagai ungkapan kebanggaan dan penghargaan para remaja terhadap buku ini. “Kalian,” tulis Canfield dkk. “adalah salah satu yang memperlihatkan kepada dunia bahwa jika sebuah buku ditulis dengan menghargai dan menghormati remaja, kalian akan memberikan tanggapan positif.” (Canfield, dkk., 2000: xxi). Di situlah, menurut para penulis itu, letak kebahagiaan mereka yang sebenarnya.

Buku Chicken Soul for the Teenage Soul memerlukan waktu dua tahun untuk penulisan, pengumpulan materi, dan penyuntingan. Buku ini, menurut pengakuan para pengarangnya, menjadi kerja penuh cinta kasih bagi mereka semua. “Salah satu kebahagiaan terbesar dalam penciptaan buku ini,” tulis mereka, “adalah bekerja bersama ratusan remaja dan orang dewasa yang tidak hanya menyumbangkan waktu dan perhatian mereka kepada proyek ini, tetapi juga hati dan jiwa mereka....” (Canfield, dkk, 1998: xiv)

Di dalam buku ini terdapat berbagai kisah tentang impian yang terwujud, dan cinta yang tak sampai, tentang upaya mengatasi malu dan selamat dari usaha bunuh diri. Ada cerita tentang kemenangan dan ada pula kisah yang begitu memilukan. Semuanya mengenai remaja. Lebih dari separo jumlah kisah dalam buku ini ditulis oleh remaja. Sebagai contoh, sajak “GadisTetangga” ditulis oleh Amanda Dijkstra (14 tahun), yang bercita-cita menjadi penulis. Melissa Esposito (16 tahun), dalam esai “Hari Lahir” menggambarkan perasaannya menyambut kelahiran adiknya kedua, Kathryn, yang ternyata tidak menimbulkan kegelisahan seperti pernah dialaminya dengan kelahiran adiknya pertama, Emma.

Tulisan lain, “Abangku” oleh Lisa Gumenick (15 tahun), melukiskan bagaimana sikap kakaknya terhadap pekerjaan. “Tak ada pekerjaan,” tulisnya tentang sang abang, “yang terlalu besar atau terlalu kecil. Ia mengabdikan seluruh dirinya pada pekerjaan itu.” Dari teladan sang abang, Lisa menarik pelajaran penting yang tak mungkin diajarkan dengan kata-kata. “Kalau aku bekerja keras untuk mendapatkan apa yang kuinginkan, kalau aku tetap mencoba setelah ditolak, cita-citaku juga dapat terwujud. Inilah pemberian yang masih kugenggam dalam hatiku. Berkat abangku, aku percaya akan kehidupan.” (Canfield, dkk.,1998:58)

Ashley Hodgson (15 tahun), dalam esai “Mengejar Impian”, menceritakan kesannya yang mendalam ketika dengan terpincang-pincang ia mengikuti lomba lari 3.200 meter. Ternyata ada seorang gadis yang menyorakinya bukan agar ia menang, melainkan agar ia terus lari dan tidak menyerah. Dari situ ia menarik pelajaran bahwa kekuatan dan keberanian tak selalu diukur dengan medali dan kemenangan. Orang terkuat tak selalu orang yang menang, tetapi orang yang tak menyerah saat kalah. (Canfield, dkk., 1998: 237)

Tidak kalah mendalam refleksi Katie Leicht (17 tahun) dalam artikel “Hidup Bukan Tentang Itu”. Setelah mengatakan, hidup bukan masalah ini dan masalah itu, Katie menulis bahwa hidup adalah masalah siapa yang kita cintai dan kita sakiti. Masalah perasaan tentang diri kita sendiri, Masalah kepercayaan, kebahagiaan; dan welas asih. Hidup adalah masalah menghindari rasa cemburu, mengatasi rasa tak peduli, dan membina kepercayaan. Masalah menghargai orang apa adanya dan bukan karena apa yang dimiliki. Yang terpenting, hidup adalah masalah memilih menggunakan hidup kita untuk menyentuh hidup orang lain dengan cara yang tak tergantikan dengan cara lain. Hidup adalah masalah pilihan-pilihan itu. (Canfield.dkk., 1998:109)

Buku ini bertaburkan kata-kata bijak dari tokoh-tokoh besar dalam sejarah, Sebut saja Robert Louis Stevenson, Mark Twain, Epictetus, St. Fransiscus Asisi, Lao-Tsu, Plato, Ralph Waldo Emerson, Benjamin Franklin, Mahatma Gandhi, Eleanor Roosevelt, Rumi. Namun, buku ini juga mencantumkan kata-kata arif dari para pemikir remaja. Perhatikan kutipan berikut ini.

Pada dasarnya kita semua hanya ingin dicintai. (Jamie Yellin, 14 tahun)

Yang penting dalam hidup ini adalah cara kita saling memperlakukan satu sama lain. (Hana Ivanhoe, 15 tahun)

Bersahabat dekat dengan seseorang itu membutuhkan banyak pengertian, waktu dan rasa percaya. Dengan semakin dekatnya masa hidupku yang tidak pasti, teman-temanku adalah hartaku yang paling berharga. (Brynn Miller, 18 tahun)

Anda tak akan tahu kebahagiaan yang ditimbulkan oleh kebaikan hati. (Bree Abel, salah seorang dari kelompok remaja yang membantu pemilihan naskah buku ini)

Kutipan-kutipan di atas, seperti halnya sumbangan tulisan para remaja yang dimuat dalam buku ini, merupakan bukti dari kenyataan yang diungkapkan Canfield, dkk. dalam Persembahan buku mereka, yaitu bahwa kita semua, tak terkecuali para remaja, memiliki sesuatu yang penting untuk berbagi dengan orang lain.

QL yang Cemerlang
Buku lain yang merupakan “mutiara” di antara buku bacaan remaja ialah Quantum Learning (selanjutnya disingkat QL) karya Bobbi Deporter dan Mike Hernacki, 1992. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Alwiyah Abdurrahman, dan diterbitkan oleh Penerbit Kaifa, Bandung, 1999. Dalam tahun itu juga, dari Februari sampai November, buku ini dicetak lima kali.

QL merupakan seperangkat metode dan filsafat pembelajaran yang dengan pendekatan holistik mengembangkan cara belajar alamiah, nyaman dan menyenangkan, seperti dialami oleh manusia pada awal masa pertumbuhannya. Dalam Fisika Quantum dikenal rumus massa kali kecepatan cahaya kudrat sama dengan energi. Semua kehidupan adalah energy. Tubuh manusia adalah materi yang juga energi. Sebagai pembelajar, kita bertujuan meraih sebanyak mungkin cahaya, interaksi, hubungan, interaksi agar menghasilkan energi cahaya. Ini, bagi kita para pembelajar, berarti mampu merasakan dalam diri kita aliran cahaya keberadaan yang terjadi jika semua energi kita disalurkan menuju solusi-solusi yang berhasil.

Diilhami oleh Fisika Quantum, QL didefinisikan sebagai “interaksi yang mengubah energi menjadi cahaya”. Di dalamnya tergabung sugestologi (sugesti pasti mempengaruhi hasil situasi belajar), teknik pemercepatan belajar, studi neurolinguistik (hubungan antara bahasa positif dan tindakan positif), nilai-nilai dan keyakinan, serta metode dan teori-teori kunci seperti teori belahan otak kanan dan kiri, teori otak triune, pilihan modalitas (visual, auditorial, kinestetik), pendidikan holistik, belajar berdasarkan pengalaman, metaphoric learning, dan simulasi permainan.

Terdapat sejumlah sikap dasar yang digarisbawahi oleh QL. Sebut, antara lain sikap positif yang disebutnya sebagi aset dasar kita yang paling berharga. Sejalan dengan sikap tersebut, sangat penting bahwa kita selalu mengharapkan yang terbaik. Dengan kata lain, mental juara mendorong kita betul-betul menjadi juara. Sementara kegagalan hanya dipandang sebagai umpan balik, yang akan membawa kita kepada keberhasilan. Betapapun kecilnya, keberhasilan perlu kita rayakan, sebab akan memperkuat kemampuan kita untuk berhasil.

Selain itu QL juga menekankan pentingnya sikap proaktif, yaitu bertanggung jawab terhadap hidup kita sendiri. Bila proaktif, kita niscaya berupaya untuk belajar aktif, yaitu belajar dari setiap situasi. Motivasi untuk belajar ini ditimbulkan dari kesadaran bahwa perluasan pengetahuan akan memperluas pilihan, sementara peningkatan pilihan merupakan peningkatan kekuatan pribadi. Dari sisi lain, perlu disadari bahwa keadaan pikiran yang ideal untuk belajar optimal diciptakan ketika kita memperluas zona keamanan kita (bergerak dari ruang pribadi di rumah ke sekolah/tempat kerja untuk selanjutnya ke masyarakat) dan mencoba hal-hal baru.

Dari segi keterampilan akademis, QL menekankan pentingnya bagi anak-anak ataupun para remaja untuk belajar dan berlatih mengenai bagaimana belajar secara efektif. Bisa disebut misalnya teknik-teknik membuat catatan yang efektif, yaitu teknik membuat peta pikiran dan catatan tulisan dan susun (untuk mencatat pikiran pembicara sekaligus merekam kesan serta tanggapannya sendiri). Teknik menghafal yang efektif antara lain dengan memakai asosiasi visual dan sistem cantolan. Teknik menulis yang baik antara lain dengan membuat pengelompokan ide, menulis cepat, membuat deskripsi yang hidup, dan lain-lain. QL juga mengajarkan teknik membaca cepat dan berpikir kreatif.

Narkoba Tak Berpengaruh
Bagaimana hasil QL? Seperti ditemukan oleh Dr. J. Vos Groenendal dalam disertasi doktoralnya, QL efektif untuk meningkatkan hasil pembelajaran, seperti kenaikan IP seorang gadis dari 1,8 menjadi 4,8. Hasil yag lebih penting lagi ialah peningkatan kemampuan untuk menikmati belajar dan peningkatan motivasi diri sendiri. Berangkat dari program 10 hari untuk kelompok-kelompok remaja di awal 1980-an, di California, yang terdiri dari keterampilan akademis, keterampilan dalam hidup, dan tantangan fisik, dalam lingkungan yang aman, nyaman dan menyenangkan, QL terbukti efektif untuk semua umur dan diterapkan di seluruh Amerika atau di pelbagai tempat di dunia.

Di luar hasil akademis, yang sangat jelas ditunjukkan dalam berbagai penelitian selama 15 tahun terakhir, metode alamiah yang dihasilkan oleh metode belajar cepat mempunyai implikasi sangat jauh. Kita semua sadar, saat ini penggunaan narkoba merupakan masalah besar bagi anak-anak muda di seluruh dunia. Para guru belajar cepat mengamati jika para siswa menerima prestasi tinggi dari keberhasilan belajar dalam lingkungan yang menyenangkan, menghibur, nyaman dan penuh kasih sayang, narkoba tak akan berpengaruh. Sebaliknya, jika mereka tak pernah merasa baik atau normal kecuali dengan menggunakan narkoba, mereka sangat menginginkannya.

“Mungkin,” tulis DePorter dan Hernacki “cara fundamental untuk mencegah keinginan akan obat-obatan adalah memberikan kepada para siswa pengalaman-pengalaman positif yang berharga dan benar-benar ada atas dasar inisiatif pribadi. Banyaknya manfaat dari metode belajar cepat terhadap pengalaman-pengalaman belajar yang positif secara konsisten mungkin lebih daripada sekadar gagasan yang baik. Mungkin saja, manfaat positif itu menjadi kebutuhan mutlak untuk jenis dunia yang ingin kita bangun. Dunia yang di dalamnya kita ingin melahirkan anak-anak dan cucu-cucu. Memilih keberhasilan yang positif, cepat, alamiah menghasilkan produktivitas tingkat tinggi dan kreativitas luar biasa yang bebas dan penuh perhatian. Para siswa melihat bahwa mereka mampu memikul tanggung jawab untuk pilihan-pilihan positif dalam kehidupan dan bahwa, alih-alih menjadi korban hidup yang tak berdaya, mereka berkesempatan luas untuk memilih menjadi pemenang.” (DePorter dan Hernacki, 284-285)

Penutup
Di antara buku terjemahan bidang buku non-fiksi remaja, Chicken Soup for the Teenage Soul dan Quantum Learning bukan saja merupakan bacaan yang menarik dan enak dibaca, melainkan juga penting, serta bermanfaat untuk dibaca oleh kita semua, terutama kaum remaja.

Saya menduga, buku semacam dua judul tersebut, tidak banyak terdapat dalam toko-toko buku di Indonesia. Begitupun, di sini, saya tidak pertama-tama mengharapkan munculnya judul-judul seperti itu. Pertanyaan yang mengusik hati saya ialah seberapa jauh kedua buku tersebut dibaca, dinikmati dan dimanfaatkan oleh para remaja kita. Pertanyaan yang lain, seberapa jauh para pendidik dan para ayah-bunda menyadari pentingnya kedua buku tersebut sebagai bahan bacaan para remaja, putra-putri, ataupun asuhan mereka.

Seandainya para penerbit buku masih belum beruntung menemukan naskah bacaan remaja yang setara kualitasnya dengan kedua judul tersebut, minimal kita bisa mengharapkan kedua buku yang jempolan itu dimanfaatkan secara optimal oleh dan untuk kaum remaja kita.

Alfons Taryadi
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 4/November 2002

Artikel ini mengambil sebagian bahannya dari makalah yang berjudul “Remaja: Segmen Pasar Buku yang Menantang”, yang ditulis untuk Seminar “Developing Literacy for a Better Life”, 28 September 1999.

Kepustakaan
Atmaja, St. Surya, 1985, “Penerbitan Buku Tahun 80-an”, dalam Frans Parera (ed.) Pustaka Kita, Jakarta: Panitia Pameran Buku Ikapi.
Canfield, Jack, Mark Victor Hansen, dan Kimberly Kirberger, 1998, terj. Femmy Syahrani, Chicken Soup for the Teenage Soul,64 Kisah tentang Cinta, Kehidupan, dan Pembelajaran, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
Canfield, Jack, Mark Victor Hansen, dan Kimberly Kirberger, 2000, terj. Femmy Syahrani, Chicken Soup for the Teenage Soul II, Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama.
DePorter. Bobby dan Mike Hernacki, 1999. terj. Alwiyah Abdurrahman, Quantum Learning, Membiasakan Belajar Nyaman dan Menyenangkan, Bandung: Penerbit Kaifa.
Dickey, Norma H. (editor in chief), 1971, New Encyclopedia, Funk & Wagnalls.
Gardener, Dr. James E., 1990, Memahami Gejolak Masa Remaja, cetakan ketiga, terj. Drs. M.S. Hadisubroto, M.A. dan Tim Editor Mitra Utama, Jakarta: Penerbit Mitra Utama.
Leonhardt, Mary, 1997, Parents Who Love Reading, Kids Who Don’t, Kiat Menumbuhkan Kegemaran Membaca pada Anak, Jakarta: Grasindo.
Leonhardt, Mary, 1998, 99 Cara Menjadikan Anak Anda “Keranjingan” Membaca, Bandung: Penerbit Kaifa.
Media Scene, 1997/1998,
Membaca, 1 November 1995.
Mulyadi, Dr. Seto, 1998, Memacu Bakat dan Kreativitas, Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
Taryadi, Alfons, 1999, “Remaja: Segmen Pasar Buku yang Menantang”, makalah untuk seminar sehari “Developing Literacy for a Better Life”, diselenggarakan oleh Ikatan Pustakawan Indonesia, Klub Perpustakaan Indonesia dan British Council, 28 September, di Jakarta.
Taryadi, Alfons, 1995, “Menyimak Pameran Buku di Sydney”, dalam Buku Panduan Pameran Ikapi 1995.
Taryadi, Alfons, 1996, “Seikat Rumput Segar di Depan Kuda”, dalam Berita Buku 61, Th.VIII, Juli.