Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Menelusuri Jejak Java-Instituut

Siapa yang tidak kenal dengan Java-Instituut? Lembaga ini merupakan lembaga ilmiah pertama yang berdiri di Hindia Belanda dan menyumbangkan begitu banyak benih-benih intelektualitas orang pribumi (Indonesia). Saat ini hasil dari pergulatan intelektual Java-Instituut masih dapat kita rasakan, khususnya kalau kita mengunjungi museum Sanabudaya atau membaca majalah-majalah lama yang dulu diterbitkan Java-Instituut.

Java-Instiiuut didirikan pada 4 Agustus 1919 di Surakarta. Anggaran Dasar dan Rumah Tangga lembaga ini disahkan Gubernur Jenderal melalui keputusan tanggal 17 Desember 1919 No 75. Pendirinya antara lain P.A.A.P. Prangwadono (kelak Mangkunegoro VII), R. Dr. Hoesein Djajadiningrat, R. Sastrowijono, dan Dr. E.D.K. Bosch, sedangkan pengurus yayasan pertama kali diketuai oleh Dr. Hoesein Djajadjningrat, sedangkan Dr. F.D.K. Bosch bertindak sebagai sekretaris. Dalam perkembangan selanjutnya pengurus ini dilengkapi dengan pembantu ahli dalam berbagai bidang. Tokoh-tokoh seperti Ir. Th. Karsten, Dr. W.F. Stutterheim, S. Koperberg, P. Sisten, tercantum dalam personalia kepengurusan ini.

Gagasan mendirikan lembaga ini bermula dari kongres yang diadakan di Surakarta pada 5 Juli 1918. Pada pertemuan ini, yang dikenal sebagai congres voor Javaansce Cultuurontwikkeling (kongres guna membahas kebudayaan Jawa) yang diprakarsai oleh P.A.A.P. Prangwadono bersama tokoh tokoh lainnya dari Boedi Oetomo, dibahas masalah pendidikan yang berasaskan budaya Jawa. Di sini dibicarakan berbagai soal, seperti sejauh mana pendidikan berdasarkan sistem Barat perlu diberikan tempat dalam kurikulum sekolah. Juga dibahas cabang-cabang ilmu Barat mana yang harus diprioritaskan, dan perlu tidaknya dihidupkan kembali unsur budaya Jawa yang telah hampir punah. Menurut ketua panitia penyelenggara, R. Sastrowidjono, telah tiba waktunya untuk menyadarkan masyarakat bahwa suatu bangsa yang utuh membutuhkan landasan sejarah dan tradisi, selain pembangunan di bidang politik dan ekonomi. Budaya milik suatu bangsa, menurut Sastrowidjono, merupakan cerminan paling sempurna dari kesadaran nasional dan jatidiri bangsa.

Menurut Anggaran Dasar Java-lnstituut, tujuan utama perkumpulan ini ialah mendorong perkembangan budaya Jawa, Madura, Sunda, dan Bali dalam arti yang seluas-luasnya. Guna mencapai tujuan ini, lembaga tersebut akan mengumpulkan dan menyebarkan segala macam informasi mengenai seluruh aspek kebudayaan Jawa, Sunda, Madura dan Bali baik yang mutakhir maupun yang lama (Hetdoelder vereenenging in de ontwikkeling van de inheemsche cultuur, in den meest uitgebreidenzin van het word van Java, Maodera, en Bati bevorderen). Ketua dan sekretaris Java-Instituut tetap sama selama lembaga ini berdiri (1919-1948). Para anggota dewan pengurus lainnya berganti beberapa kali kecuali Ir. Th. Karsten. Dialah yang kelak pada awal 1930 menjadi arsitek gedung museum milik Java-Instituut, Sana Boedaja (sekarang ditulis Sanabudaya).

Pada awalnya kegiatan Java-lnstituut masih kekurangan modal, sehingga dengan semangat yang tinggi S. Koperberg merelakan rumahnya dijadikan kantor sekretariat di Batavia. Selanjutnya kantor sekretariat itu pindah ke Surakarta, dan terakhir di Yogyakarta, setahun sebelum gedung museum Sanabudaya diresmikan. Java-lnstituut dapat didanainya melalui subsidi dari pemerintah di Batavia dan dari keempat raja di Surakarta dan Yogyakarta. Pendapatan lain berasal dari iuran para anggota, uang langganan untuk majalah yang diterbitkannya, dan tiket masuk yang dibayar oleh para pengunjung museum. Sesekali diperoleh juga tambahan dana, antara lain dari undian dan subsidi dari perusahaan-perusahaan besar dan beberapa pemerintah kotapraja.

Kegiatan-kegiatan Java-Instituut yang cukup menonjol dan dapat menyumbangkan banyak hal bagi pengembangan intelektualitas antara lain, sebagai berikut.

1.  Kongres Kebudayaan dan Sejarah
Kongres ini diselenggarakan bekerja sama baik dengan pihak lain maupun secara mandiri. Misalnya, kongres mengenai sejarah dan kebudayaan Jawa, Madura, dan Bali (Surakarta, Desember 1919), mengenai musik dan pendidikan sejarah Jawa (Bandung, Juni 1921), arsitektur Jawa (Yogyakarta, Desember 1927), mengenai pendirian perguruan tinggi jurusan sastra, filsafat, dan budaya timur (Surakarta, Desember 1929), dan mengenai kehidupan masyarakat Bali (Bali, Oktober 1937).

2. Lomba Karya Tulis tentang Kebudayaan Jawa
Lomba karya tulis ini meliputi bidang tata krama dan dolanan anak-anak. Tujuan lomba ini di samping inventarisasi kebudayaan Jawa juga untuk meningkatkan apresiasi masyarakat pada waktu itu.

3. Penerbitan
Java-Instituut menerbitkan empat majaiah, yaitu Djawa, Poesaka Djawi, Poesaka Sunda, dan Poesaka Madhoera. Majalah Djawa diterbitkan dalam bahasa Belanda, setahun terbit empat edisi mulai tahun 1921. Pada 1925, majaiah ini terbit enam edisi per tahun. Majalah ini berhenti terbit pada 1941 setelah masuknya Jepang ke Indonesia. Dewan redaksi majalah ini antara lain Dr. Hoesein Djajadiningrat dan R. Poerbatjaraka. Sementara majalah Poesaka Djawi, Poesaka Sunda, dan Poesaka Madhoera diterbitkan masing-masing dalam bahasa Jawa, Sunda dan Madura. Poesaka Djawi yang terbit tahun 1922 bertahan terbit sampai tahun 1941 sedangkan Poesaka Soenda berumur 7 tahun sejak 1922, dan Poesaka Madhoera yang diterbitkan tahun 1924 tersebut bertahan setengah tahun saja.

4. Sekolah Kerajinan Tangan (Kunst Ambachtschool, KAS)
Sekolah ini didirikan tahun 1939 dengan bantuan dana dari Pemerintah Hindia Belanda. Sekolah ini bertujuan memberikan pendidikan (selama dua tahun) kepada anak-anak yang berbakat dalam bidang pandai emas, perak dan ukiran kayu. Melalui pendidikan ini diharapkan kesenian yang bersangkutan itu dapat dikembangkan di masing-masing daerah secara teknis, artistik dan ekonomis. Dalam kurikulum diutamakan mata pelajaran yang langsung terkait dengan bidang kesenian yang didalami para murid itu. Mungkin kalau dalam istilah sekarang mereka sudah melakukan competency based approach (pendekatan berbasis kompetensi). Bahasa pengantarnya adalah bahasa Indonesia.

5. Museum
Untuk menunjang dokumentasi kebudayaan Jawa didirikanlah museum yang diberi nama museum Sana Budaja (Sanabudaya). Museum ini diresmikan pada 6 November 1935 oleh Sri Sultan Hamengku Buwono VIII. Sultan juga menghadiahkan tanah bangunan museum terletak di alun-alun Lor Keraton Yogyakarta. Isi museum terdiri dari benda-benda budaya, seperti wayang, alat musik, pakaian, ukiran dan semua yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat sehari-hari dan keagamaan masyarakat Jawa, Bali dan Madura.

6.  Kongres Bahasa
Java-instituut secara aktif dan khusus juga menyelenggarakan Kongres Bahasa, Kongres pertama diadakan pada 7-9 Oktober 1924 di Bandung untuk membahas masalah sekitar bahasa Sunda dan pada 25-27 Maret 1927 tentang bahasa Jawa.

Ferry T. Indratno
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 4/November 2002