Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Memperhatikan Islam dari Dunia Pustaka

Agama sebagai Pengetahuan Umum

Pengetahuan umum yang beredar di tengah masyarakat memang bervariasi. Salah satu cabang dari pengetahuan umum itu adalah dunia agama, Dunia agama juga adalah dunia bervariasi, dunia majemuk, dunia pluralistik. Kenyataan yang bervariasi, kemajemukan, dan pluralitas selalu berurusan dengan kesatuan (unitas), berurusan dengan dilema-dilema serta keragu-raguan dan kebimbangan sehingga muncul pemikiran tentang kemerdekaan dan kebebasan dalam memilih jalan dan mengurus diri masing-masing; berurusan dengan satu-dua nilai dasar dan utama yang menjadi pengikat solidaritas dan persahabatan di antara mereka yang berkeyakinan berbeda-beda itu. Perbedaan tidak menghalangi dialog dan kerja sama untuk proyek kemanusiaan yang universal. Inilah daya tarik mengapa dari masa ke masa generasi muda juga tertarik mendalami religiologi (ilmu tentang religi) dan teologi (ilmu ketuhanan).

Salah satu aktivitas yang mencolok dalam kehidupan rutin dalam gejala beragama adalah aktivitas doa (prayer). Berdoa itu ciri khas beragama sehari-hari. Berdoa secara kolektif menurut regulation yang dikonsensuskan bersama di kalangan komunitas internal sesuai dengan kalender yang mengatur dan memperingati event-event religius yang bermakna di kalangan internal. Berdoa di lingkungan yang lebih terbatas, seperti di dalam keluarga sehari-hari. Berdoa menurut jadwal kegiatan personal dan individual di mana semua itu bergantung pada intensi, motivasi, disiplin dalam sebuah latihan spiritual yang terarah (spiritual exercise).

Kebutuhan doa kolektif, doa massal, mulai dari persiapan, pementasan sampai proses akhir, membuka pikiran manusia untuk membangun rumah-rumah ibadah. Dari skala supermini dan sederhana sampai skala supermaksi, kolosal dan megah. Rumah ibadah menjadi medan kolektif untuk memfungsikan kegiatan religius lain di samping  doa, seperti bekerja, membaca kitab suci, berpuasa dan berpantang, memeriksa batin, melakukan tindakan tobat (conversion) dan bukan penyesalan semata-mata.

Berdoa dan bekerja (ora et labora) terasa tidak cukup hanya sekitar komunitas internal dan rumah ibadah bagi mereka yang melihat ruang publik yang lebih luas sebagai medan untuk kampanye pengetahuan agama, promosi, dan publisitas. Mereka ini memainkan dwifungsi sosial baik sebagai anggota umat dengan mekanisme partisipasi internalnya maupun sebagai anggota masyarakat luas, warga desa, warga kota, warga negara modern yang bekerja sesuai dengan mekanisme partisipasi eksternalnya. Kegiatan agama ditransformasikan menjadi aktivitas dagang, aktivitas bisnis, aktivitas politik, aktivitas hukum, aktivitas kultural, dan aktivitas peradaban (civilization). Begitu dahsyatnya penetrasi pengetahuan agama memasuki wilayah dan dunia non-agama, yang juga dipenetrasi oleh pengaruh ilmu pengetahuan, teknologi, liberalisasi perdagangan, dan era globalisasi masa kini. Pluralitas menjadi kenyataan.

Dunia penerbitan buku di seluruh dunia tetap memelihara tradisi untuk penerbitan buku agama (religious book publishing). Di Indonesia akhir-akhir ini juga muncul investor-investor dalam semangat idealisme dan mengejar profit dan menanamkan modal usahanya untuk mengembangkan penerbitan buku agama. Di kota-kota besar kita juga menyaksikan tumbuhnya toko buku yang mengkhususkan jualannya pada produk buku dan infomnasi atau sarana keagamaan.

Bila kita menyempatkan diri masuk ke toko buku keagamaan itu, kita mengalami sebuah nuansa yang berbeda dengan toko buku umum atau toko buku publik yang netral dalam urusan keagamaan. Kita disambut dengan lagu-lagu rohani atau talk show dari siaran radio yang bernuansa religius. Bila kita memperhatikan buku-buku keagamaan yang dipamerkan di rak-rak ekshibisi, kita menangkap pesan sama seperti pada bidang lain, yakni bekerja dan hidup menurut tuntutan misi masa depan kita masing-masing. Bila dalam dunia kerja, dunia profesi, kita mengenal SOP (Standing Operating Procedur), pengarang-pengarang buku agama juga memiliki visi profesional dan kompetensi seperti itu.

Pada rak-rak ekshibisi buku agama, diperkenalkan seri buku doa, doa individual, personal, doa berpasangan atau doa kolektif serta doa publik di depan massa penganutnya. Di rak lain muncul seri buku pietisme, buku untuk menjadi orang-orang saleh, yang mengulas dan mengkaji latihan-latihan spiritual di samping doa, seperti latihan untuk menimbulkan penyesalan, menimbulkan niat untuk bertobat, menjalankan pantang, puasa dan kontrol diri lainnya, dan latihan untuk menyadari rasa syukur yang berkesinambungan atas kebaikan dan penyelenggaraan Ilahi atas jalannya atau perjalanan yang relatif lurus menuju realitas terjauh dari tujuan perjalanan itu.

Di rak berikutnya, kita menyaksikan pengarang-pengarang yang memusatkan perhatian pada urusan membaca kitab suci, memahami isinya dan menafsirnya sesuai dengan metode tafsir buku masing-masing dan berupaya menghayati, menginternalisasikan, pesan-pesan agung dari kitab-kitab mulia itu ke dalam aktivitas kehidupan dan pengalaman harian sehingga pengalaman harian itu menjelma menjadi moment of truth, menjadi experience of the truth. Sebuah ekspresi secara rasional, intelektual, dan kritis dari orang-orang sekolahan, terdidik, terpelajar untuk meraih tingkat pencerahan diri sendiri (tahap ilumination of self) karena sudah mencapai tingkat reading habit pada level lanjutan.

Pada rak lain kita melihat bagaimana sejarah perkembangan sebuah agama diuraikan oleh pengarang sejarah berkembangnya komunitas umat beragama, semacam sosiologi agama-agama dengan sejarahnya masing-masing. Kita temukan biografi para rasul pendiri agama-agama besar dengan kitab sucinya masing-masing. Biasanya, dalam biografi para rasul, kita berkenalan dengan sebuah kelompok minoritas, para pengikut awal para rasul itu, yang hidup dan berjuang mempertahankan keagamaannya di tengah mayoritas publik yang belum menerima kebenaran teologis agama-agama itu, sebagai sebuah kebenaran kategorial. Kebenaran kategorial agama baru yang minoritas selalu berbenturan dengan kebenaran kategorial dari agama sebelumnya yang sudah mapan dan arogan, yang yakin akan keunggulannya dan sarat dengan sikap triumfalisme, memenangkan agama lama berhadapan dengan agama minoritas baru.

Dari biografi para rasul kita mendapat uraian sejarah komunitas religiusnya; bagaimana proses perkembangan umat dari minoritas, kemudian berpengaruh, berdaya tarik publik sehingga berhasil mengumpulkan massa pendukungnya. Akhirnya, terjadi masa keemasan di mana penduduk setempat mayoritas memeluk agama baru. Agama baru lalu menjadi dian di atas bukit menerangi lokasi sekitar yang sebelumnya dilanda oleh kegelapan dan kebutaan penglihatan. Agama menjadi terang untuk akal-budi, sekaligus obat untuk kebusukan hati nurani agar mencapai kebugaran dan kesehatan spiritual kembali.

Pada bab-bab berikutnya, agama mayoritas itu juga menjadi wacana utama secara politik dan publik karena menjelma menjadi agama rakyat (volksreligion), di sana agama dan kebudayaan menjadi tidak jelas pada garis-garis demarkasi secara kognitif dan logika agama atau logika kebudayaan. Masyarakat, bangsa, negara diidentikkan dengan sebuah agama mayoritas, menjadi sebuah mozaik, sebuah komposisi identitas budaya, sebuah paradigma teori ilmu dan teknologi, bahkan menjadi identitas dari mekanisme kerja pasar dalam sistem ekonominya.

Kita masih menunggu munculnya pengarang-pengarang baru, dengan topik baru “beyond the limit of cultural identity” dari agama-agama dengan massa mayoritas di seluruh dunia. Tiap agama tetap perlu memelihara dan mengembangkan identitas, otentisitas, ortodoksi, dan ortopraksis keagamaannya sendiri-sendiri menurut tuntutan iman dan takwa. Di pihak lain, setiap penulis dunia agama menyadari bahwa dunia ini sudah menjadi sebuah supermarket dari sebuah komoditas spiritual umat manusia yang kita sebut agama, iman, dan takwa atau konsep sejenis demikian. Supermarket itu simbol dari pluralitas kebenaran, simbol dari kebebasan setiap individu untuk memutuskan perjalanan jauhnya; seperti setiap penumpang pesawat terbang membeli tiket menurut arah keberangkatannya, dengan pesawat yang dipilih dan pendaratan yang direncanakan sendiri. Hampir tidak ada unsur eksternal yang bisa mempengaruhi urusan personal dan individual dan target individual serta pengalaman estetis, etis, dan religius yang dikemas sendiri.

Kita bersyukur kepada Tuhan bahwa para founding fathers kita bercita-cita mempersatukan suku-suku dari berbagai jenis ras yang hidup di Nusantara menjadi sebuah nation, sebuah bangsa Indonesia, dengan instrumen pemersatunya adalah negara Indonesia. Mereka memperkenalkan sebuah pandangan hidup dan sistem nilai yang dikonsensuskan secara kolektif, yakni ideologi Pancasila. Mereka sudah menyadari realitas pluralistik dengan segala peluang untuk terpecah-belah berdasarkan suku, budaya, dan agama yang akan mengancam stabilitas kehidupan di Indonesia. Kesadaran religius pendiri bangsa Indonesia di masa lalu, tidak hanya sampai pada taraf kesadaran religius orang berpendidikan dan sekolahan pada umumnya. Kesadaran religius mereka melampaui batas-batas kesadaran tamatan perguruan tinggi yang normal dan biasa-biasa saja. Mereka mencapai kesadaran dari manusia-manusia terdidik dan tercerahkan (enlightened), juga dalam realitas religi-religi kontemporer dengan persyaratan serta sikap kultural yang baru, yakni sikap pluralistik menuju kesatuan dan solidaritas publik yang membawa kesejahteraan bersama. Tidak diterapkan metode mayoritas menindas minoritas demi sebuah identitas kultural tertentu. Metode yang diterapkan adalah realitas pluralis, kemajemukan sebagai sebuah kekayaan kehidupan (the wealth of public life), menuntut pengelolaan publik demi kesatuan, kebebasan memilih dalam dialog, kerja sama demi kepentingan umum. Itulah semangat religius yang unik untuk sebuah masyarakat yang mendukung piuralitas kebenaran, kebaikan, keindahan, keadilan, dan cinta kasih.

Agama Islam dalam Supermarket Agama-Agama Dunia
Mayoritas warga penduduk Nusantara saat ini hidup dan menghayati pengetahuan keagamaan dari warisan dan tradisi dunia keislaman. Kini dari awal November sampai awal Desember 2002, umat Islam berada dalam bulan Ramadhan. Sudah menjadi pengetahuan umum umat manusia sedunia bahwa selama bulan Ramadhan, umat Islam sedunia memenuhi kewajiban dasar ketiga dari kelima kewajiban prinsipilnya, yakni (3) menjalankan puasa selama bulan Ramadhan dari terbitnya matahari sampai terbenamnya. Keempat kewajiban dasariah yang lain: (1) memuliakan Allah dan Rasul-Nya melalui sebuah syahadat iman; (2) berdoa (salat) lima kali setiap hari dengan berkiblat ke Mekkah; (4) memberikan sebagian harta kekayaan material kepada mereka yang kekurangan secara ekonomi (membayar zakat); (5) melakukan ziarah ke Mekkah dan Madinah sekurang-kurangnya sekali seumur hidup (pergi haji jika mampu).

Semua nabi pendiri agama-agama besar yang berbeda warisan tradisi keagamaannya, namun dalam biografi mereka masing-masing mempunyai satu kesamaan, satu karakter kemanusiaan. Mereka dikaruniai sebuah bakat istimewa, bakat khusus yang menjadi daya tarik karakter dan kepribadian mereka, yakni sebuah intelegentia interpersonal atau intelegentia intrapersonal di dalam diri mereka dan terungkap dalam berbagai tindakan dan perkataan mereka.

Para nabi dan rasul itu menonjol sebagai pendoa yang tekun, menyediakan banyak waktu rutin mereka untuk berkomunikasi dengan Khalik-nya. Sesudah berdoa setiap waktu, mereka adalah praktisi yang sibuk dengan pekerjaan dan urusan sosial, urusan pubiik. Mereka gemar berkomunikasi dan bergaul dengan berbagai golongan dan lapisan masyarakat, domestik dan luar negeri. Mereka merupakan pembicara publik yang menarik perhatian umum karena pembelaan mereka terhadap kebenaran, kebaikan, dan kebahagiaan yang sejati. Mereka adalah cencekiawan, pemikir, gemar berefleksi, dan pembaca buku-buku serius, khususnya buku-buku yang menimbulkan inspirasi kehidupan, kekuatan untuk menderita karena misi kehidupan sehari-hari yang silih berganti. Bagi anak-anak dan remaja, mereka menjadi inspirator dan pembela tegaknya perlindungan dan hak-hak mereka. Bagi  kalangan publik, guru dan rasul menjadi reformator kehidupan publik dengan pesan-pesan serta semangat hidup yang lurus dan bijaksana serta penuh keberanian menantang segala risiko, bahkan risiko kehilangan nyawa. Mereka menjadi manusia yang tahu diri karena tidak mengkambinghitamkan orang lain, tetapi menyadari kelemahan-kelemahan diri sendiri dengan pertobatannya. Mereka selalu bergerak menuju the centre of eternal energy.

Bagi masyarakat perbukuan, salah satu pengalaman Nabi Muhammad yang menarik perhatian adalah proses kreatif Nabi ketika terlibat dalam proses penerbitan Al-Qur’an, kitab suci yang kini dibaca dengan bangga oleh satu miliar penganut Islam di seluruh muka bumi. Sebuah kitab yang mengubah dunia ini dan terasa kuatnya pengaruh dan kekuasaan penyebaran dan distribusinya ke seluruh muka bumi. Isi proses kreatif itu bisa menjadi salah satu acuan untuk memberikan apresiasi terhadap pengalaman estetis para pengarang buku sesudahnya dengan gugatan pada intellectual property rights-nya, hak-hak estetika awal mulanya.

Nabi agung itu bersaksi mendapat penglihatan-penglihatan revelatif (pewahyuan) tentang misteri kehidupan manusia dengan relasinya serta ketergantungan absolut pada Wujud Tertinggi di alam semesta ini. Pengalaman religius ini berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dimulai di sebuah gua tidak jauh dari kota Mekkah. Berdasarkan pengalaman religius itu, Nabi Muhammad berkeyakinan dan kemudian menyatakan keyakinan religius itu kepada publik di sekitarnya bahwa beliau ditugaskan menjalankan fungsi seorang nabi dalam barisan nabi-nabi utusan Ilahi sebelumnya. Bahkan beliau menegaskan bahwa dirinya adalah nabi terakhir, penutup barisan nabi-nabi sebelumnya, yang diawali dengan Nabi Adam dan Nabi Ibrahim. Semua nabi itu ditugaskan untuk menerangi alam pikiran manusia dengan sebuah ajaran monoteisme. Inti monoteisme itu adalah keesaan yang absolut, kesatuan yang absolut, dan kekuasaan yang absolut dari Allah sendiri.

Bagaimana nabi agung dan terakhir ini terlibat sebagai pencatat ayat-ayat suci Al-Qur’an? Inilah riwayat penerbitan sebuah kitab suci, Allah sendiri adalah pengarangnya (author). Ayat-ayat suci merupakan koleksi dari konsep dan ide pengarang, yang berproses di dalam alam pemikiran Allah sendiri. Proses pewahyuan (revelasi) sekaligus proses penerbitan Al-Quran. Allah sendiri (terkadang malaikat dengan seizin Allah) bertutur dan berbisik kepada pikiran dan kesadaran Nabi; Allah seolah-olah mendikte (pada pengalaman pengarang dengan tim kerja penulisnya) dalam bahasa llahi, yang diterima dan dipahami Nabi.

Proses tuturan lisan secara Ilahi itu dicatat oleh Nabi baik dalam hati maupun dalam pikiran, yang kemudian dituturkan kepada para sahabatnya. Salah seorang sahabat Nabi yang bernama Zaid bin Tsabit inilah yang mencatat (kemudian membukukan) tuturan lisan secara Ilahi dari mulut Nabi. Sebagian ayat suci diturunkan pada masa hidup Nabi di Mekkah. Sebagian lagi diturunkan ketika Nabi hijrah ke Madinah. Al-Qur’an diturunkan memakan waktu 22 tahun, 2 bulan, 22 hari.

Berbahagialah manusia sepanjang abad yang mendapat kesempatan untuk membaca satu seri kitab suci dan Al-Qur’an adalah seri terakhirnya. Mereka membaca dan memahami kebenaran yang berwujud kata dan kalimat yang berasal langsung dari suara Allah, yang didengar langsung oleh penulisnya. Kita juga harus berterima kasih atas penulis yang berada dalam pengalaman religius yang intens, terpesona dengan kebesaran Ilahi, tetapi tetap sadar bahwa pengalaman penuh kebahagiaan dan keindahan itu harus dipublikasikan ke dunia publik sepanjang masa.

Tradisi penulisan semacam ini seharusnya menjadi standar profesi untuk semua penulis dan pengarang yang lahir sesudah masa itu. Dalam kegairahan batin yang bergelora, mengambil alat tulis dan menulis untuk memberi kesaksian dari pengalaman nyata diri sendiri untuk menjadi kekayaan pengalaman bersama. Ilmu itu dari awalnya berdimensi sosial dan publik. Ilmu itu dipublikasikan juga untuk sebuah pertobatan spiritual, ilmu dengan misi emansipasi, membebaskan manusia dari        kebodohan dan kegelapan hati nurani serta akal-budinya sendiri. Inilah fungsi pokok dari segala aktivitas penulis-penulis dan penerbit yang mengkhususkan diri pada buku agama, termasuk buku agama Islam yang beredar di sekitar kita saat ini.

Kisah tentang Allah sendirilah yang mendikte ayat-ayat suci Al-Qur’an telah terjadi dalam abad ke-6 Masehi. Pada masa itu, komunitas Islam masih minoritas, kelompok kecil di tengah mayoritas umat beragama asli Timur Tengah, beragama Yahudi dan beragama Nasrani. Minoritas itu masih dianggap salah satu sekte dari agama Yahudi dan agama Nasrani menurut pikiran mayoritas umat beragama pada waktu itu. Buktinya, ketiga aliran agama itu sama-sama mengklaim dirinya sebagai putra-putra terbaik dari Nabi Ibrahim. Rumah besar dan keluarga besar Nabi Ibrahim berlokasi di Gunung Maria di Yerusalem. Kota suci mereka adalah Yerusalem. Di sana mereka berlomba-lomba membangun rumah ibadat sambil mengklaim diri mereka masing-masing sebagai putra terbaik Nabi Ibrahim.

Sejarah tiga agama sesudah abad ke-6 Masehi sampai sekarang lebih merupakan sejarah perang saudara yang sengit dan berdarah serta penuh dendam dan kemarahan daripada sejarah kerukunan tiga agama dari satu nabi yang diberi karunia mengenal monoteisme di dunia ini. Yerusalem berubah fungsinya dari misi sakralitas, misi menjadi manusia-manusia sempurna penuh kekudusan dengan lambang kenisah, gereja, dan mesjid suci. Sepanjang sejarah itu, Yerusalem lebih berfungsi sebagai markas angkatan bersenjata, markas kekuatan militer di mana kekerasan lebih berbicara daripada keadilan, persahabatan, persaudaraan dan cinta kasih sesama keluarga besar. Sejarah agama-agama menjadi ironi untuk peradaban manusia, antara kisah bisikan Tuhan dalam bahasa peradaban yang tinggi dan halus, pertikaian antara tiga bersaudara di dalam rumah besarnya sendiri, yang mesti diselesaikan secara militer dan rasa frustrasi dari mereka yang masih berkehendak baik untuk sebuah rekonsiliasi yang hampir sia-sia hasilnya. Sejarah agama-agama adalah sebuah kisah penderitaan yang mendalam karena didera oleh rasa bersalah (guilty feeling) dan rasa malu (shame feeling) antara misi keagamaan bersemangatkan kemanusiaan yang adil dan beradab dengan pola laku penganutnya yang lebih terbiasa memilih kekerasan dan pemaksaan kehendak sebagai etika kehidupan, etika politik, daripada dialog, toleransi, dan keutamaan sosial lainnya sebagai pilihan etikanya. Agama berubah menjadi ritus kesenian, kumpulan peraturan yang memaksa kehendak sendiri bila sudah menjadi mayoritas, tempat suaka bila menjadi minoritas, objek manipulasi dan rekayasa pemerintahan negara dan industrialis yang memonopoli kehidupan pasar.

Kini, di era reformasi beredar ribuan judul buku dari dunia keagamaan. Bagaimana kita menyikapi gejala perbukuan agama-agama itu? Terjadi rentangan masa yang panjang dari kisah kelahiran umat Islam di kota Mekkah sampai masuknya agama Islam di Nusantara. Nusantara bukan tanah kelahiran agama-agama besar di dunia. Agama-agama besar masuk bersama proses impor barang-barang dagangan di pasar lokal. Agama-agama itu, dengan kata lain, juga diimpor dari lokasi pabriknya, atau melalui jaringan distribusi dan sistem pemasarannya. Masyarakat Nusantara menanggung nasib sebagai konsumen barang impor itu. Jadilah Nusantara menjadi supermarket dalam urusan agama-agama.

Pada akhirnya, seperti konsumen kebebasan memilih ada di tangannya sesudah mendapat informasi yang mencukupi sekitar product konowledge dari komoditas impor untuk urusan kebugaran spiritual itu. Reformasi total yang akan kita alami ke depan juga menyangkut hak-hak asasi manusia yang akan ditegakkan di dalam masyarakat, termasuk hak untuk bebas memilih agama, mirip-mirip seperti memilih dan berganti baju di supermarket atau departement store khusus untuk industri tekstil.

Berbeda dengan cara memandang ahli-ahli kebudayaan kontemporer, seperti Ignas Kleden dan Arief Budiman, melihat dunia perbukuan agama-agama yang ditulis oleh kelompok penulis buku agama. Masyarakat beragama di Indonesia sampai abad ke-17 dan ke-18 (pada masa kolonialisme dan penjajahan Belanda) ditandai dengan kebangkitan budaya agrikultural, yang berpusat di lingkungan pedesaan dengan tradisi hidup pedesaan (rural culture). Petani tidak bersemangat berkelana sehingga agama Islam kehilangan fungsi misionarisnya dan diintegrasikan ke dalam budaya lokal setempat. Agama Islam larut dalam tradisi dan adat istiadat lokal setempat. Lama-kelamaan masyarakat desa tidak bisa membedakan kekhasan kebudayaan dan keunikan agama Islam dari tanah kelahirannya.

Dari abad ke-19 sampai memasuki abad ke-21, terjadi perkembangan kebudayaan dan peradaban yang mencolok, terutama ketika kota-kota lebih banyak dibangun. Agama Islam mendapat momentum budaya baru yang berorientasi urban, kekota-kotaan, entah kota administratif pemerintahan, kota perdagangan, kota pelabuhan, atau kota pelajar dan sekolah. Masyarakat kota mulai mengejar ilmu pengetahuan dari bangku sekolah dengan sistem pendidikan formal dari sistem pendidikan Barat. Industri terutama bidang agribisnis, pertambangan dan pabrik-pabrik menandai datangnya abad industri. Agama mulai dikritik oleh kelompok ilmuwan. Bahkan lebih banyak warga kota lebih percaya pada daya tarik ilmu daripada daya tarik agama. Memasuki abad ke-20, kota-kota diwarnai oleh lahirnya masyarakat grafika, masyarakat pers, majalah, perbukuan yang mulai mengolah pusat-pusat layanan infomasi. Terjadi budaya kerja tim, kerja sama dalam berbagai bidang spesialisasi. Lahir kelompok profesional tamatan sekolah-sekolah kejuruan dengan keterampilan spesial dan kompetensi khusus. Dunia kerja, kesibukan kerja menarik perhatian warga kota, sehingga menyita waktu dan kesempatan yang semakin kecil untuk urusan keagamaan dan kerohanian. Terjadi penumpukan kekayaan materi, kekuasaan politik dan penggunaan waktu senggang yang diisi oleh industri hiburan dengan berbagai paket dan daya tariknya. Warga kota sudah bereksperimen sampai ke batas-batas terjauh pemanfaatan dan penggunaan kebebasan pribadinya. Timbul kebutuhan untuk menata kembali kehidupan mereka menjadi lebih berkualitas. Terjadi banyak eksperimen dan percobaan untuk menata kembali kehidupan yang lebih kualitatif. Di sini agama Islam memanfaatkan kondisi kultural itu untuk berfungsi kembali sebagai inspirasi kehidupan yang lebih berkualitas.

Kini kondisi spiritual manusia sedang bergejoiak. Ternyata budaya kerja sama (cooperation culture), membangun semangat kerja tim untuk menghadapi berbagai proyek kehidupan, membutuhkan tanggung jawab pribadi yang lebih intensif. Muncul kesadaran kembali tentang hak asasi manusia (HAM), kesadaran baru tentang kepribadian dan karakter diri sendiri (personalisme). Abad ke-21 menjadi abad personalisme, HAM, abad respiritualisasi. Warga kota di mana-mana kini tidak saja sibuk mengejar kebugaran fisik dan psikis (dokter dan ahli psikologi mulai laris layanan publiknya), tetapi juga kebugaran spiritual (gejala gerakan kharismatik dan pietisme menjadi manusia saleh, anak saleh, orang tua saleh dan sebagainya). Agama Islam seperti agama-agama lain berperan sebagai dinamisator kebangkitan roh individual, roh personal dalam proses humanisasi kehidupan warga-warga perkotaan, Manusia kota mulai memikirkan demokrasi, keadilan sosial, dan kelestarian lingkungan hidup. Mereka mulai berdialog satu dengan lain; bertoleransi karena semangat zaman sudah berubah, Mereka mulai saling percaya, menjadi masyarakat yang lebih tulus dan komunikatif.

Frans M. Parera  
Majalah Mata Baca Vol. 1/No. 4/November 2002