Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Martabat Buku Cerita Anak di Indonesia

Buku tak harus berhubungan dengan kertas dan percetakan. Kain bisa juga menjadi pilihan. Hasilnya cukup menarik, seperti dipamerkan di Toko Buku Gunung Agung di Mal Ciputra, Jakarta. Seratus judul buku kain bersampul warna-warna pastel itu kini tampak cantik terpampang di balik papan pajang. Ada buku puisi, fiksi, cerita rakyat, juga nonfiksi.

Para pengunjung dibuat terpesona. ''Lucu, kreatif banget,'' tulis Rizki Amelia, siswi SMU Negeri 95 Jakarta, dalam buku tamu ''Pameran Buku Kain 2003'' itu. Clarissa Olivia, siswi kelas II SD Tarakanita, Jakarta, pun takjub. ''Aku senang melihat pameran ini, abis lucu juga, ya, ada buku dari kain, kan biasanya dari kertas,'' ujar bocah delapan tahun itu kepada Nuke Susanti dari GATRA.

Buku-buku spesial itu ''diterbitkan'' Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA), dan dipamerkan bergiliran di lima Toko Gunung Agung, di Jakarta, Tangerang, dan Depok, sejak 9 Mei lalu. Seluruhnya dibuat dengan tangan oleh 26 sukarelawan KPBA, termasuk Dr. Anne Pellowski, ahli sastra anak asal Amerika Serikat, yang juga dikenal sebagai pendongeng cerita anak jempolan.

KPBA memproduksi buku kain itu tak hanya untuk menambah kecintaan bocah-bocah pada sumber pustaka. Buku yang bisa dibikin di rumah tanpa modal besar dan keahlian khusus itu, kata Ketua KPBA Murti Bunanta, diharapkan bisa merangsang orang untuk berkarya. ''Kami ingin memberi inspirasi bagi orang lain untuk membuat buku kainnya sendiri,'' tutur Murti Bunanta.

Pameran yang bakal berakhir 11 Juni itu merupakan satu dari serangkaian kegiatan KPBA tahun ini. Setelah buku kain, KPBA akan menggelar Festival Mendongeng Ke-5, Juli nanti.

KPBA adalah lembaga nirlaba yang digagas dan didirikan Murti pada 1987. Anggotanya semua sukarelawan. Ada dosen, cendekiawan, ibu rumah tangga, mahasiswa, karyawan, pengarang, juga guru, selain tiga warga Jepang yang sedang tinggal di Jakarta. ''Saya melihat KPBA seperti Indonesia kecil, multietnis,'' kata Murti, satu-satunya doktor sastra anak di Indonesia. Sejak 1992, KPBA menjadi anggota Dewan Buku untuk Anak-anak Internasional.

Belakangan ini, fokus garapan KPBA adalah meningkatkan mutu bacaan anak. Mereka giat menggelar seminar dan lokakarya untuk pengarang, ilustrator, dan penerbit. KPBA juga melakukan kegiatan mendongeng, berbagai lomba, dan mengajar kreativitas yang terkait dengan minat baca.

Menurut Murti, dari tahun ke tahun, KPBA selalu berusaha melihat kembali programnya. Ketika didirikan 16 tahun silam, fokus kegiatan kelompok ini meningkatkan minat baca anak. Kegiatannya, seperti membuka taman bacaan, banyak diikuti kelompok lain. ''Kalau yang sudah kami lakukan mulai digarap orang, kami menggeser fokus,'' kata perempuan kelahiran Semarang, 5 Agustus, 57 tahun lalu itu.

Misi KPBA, Murti melanjutkan, adalah sebagai mesin pemberi ide. ''Kami memberi contoh, ini lho. Setelah itu, terserah pemerintah, swasta, pendidik, atau masyarakat yang melanjutkan,'' katanya. KPBA kemudian akan melangkah ke soal lain yang belum disentuh orang. ''Karena masalah yang menyangkut buku anak itu banyak,'' tutur dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia itu.

Di Indonesia, Murti tentu menghadapi banyak soal. ''Kurangnya dana adalah kendala pertama,'' katanya. Para penerbit umumnya enggan memproduksi buku anak dengan sampul tebal dan kertas mewah, dengan cerita serta ilustrasi menarik. ''Padahal, dengan kemasan yang bagus, anak dibiasakan mencintai buku, menyimpan, memelihara, dan menganggapnya kekayaan pribadi,'' katanya.

Masalah lain, penerbit enggan membayar ilustrator buku anak secara layak. Padahal, menurut Murti, ilustrasi adalah magnet bagi minat baca anak. Ibu dua anak ini menganggap honor rendah bisa membunuh kreativitas para ilustrator.

Pernah Murti menyodorkan konsep buku cerita rakyat bermutu internasional ke penerbit. ''Mereka bilang itu terlalu mahal,'' katanya. Padahal, ia yakin, pasar bacaan anak berkualitas cukup besar. ''Tentunya, supaya semua orang bisa memiliki, selain edisi luks juga ada edisi biasanya,'' katanya.

Akhirnya, ia mencari sponsor swasta, lantas menerbitkan sendiri atas nama KPBA. Hasilnya, pada 1997, Si Bungsu Katak itu meraih anugerah ''The Januzs Korczak International Literary Prize'' dari Polandia. Si Bungsu Katak adalah cerita rakyat dari Kepulauan Kei di Maluku Tenggara. Ilustrasinya digarap apik oleh Denny A. Djoenaid. ''Artinya, kalau mau, kita bisa kok menerbitkan buku bagus,'' katanya.

Dua tahun lalu, Murti pun kembali menggandeng sponsor, dan menerbitkan 10 buku cerita rakyat dari 10 provinsi. Proyek buku ini melibatkan kartunis beken, seperti GM Sudarta, Harjana HP, dan Denny Djoenaid. Bahkan, konsultan penerjemah bahasa Inggrisnya, Katherine Paterson, didatangkan khusus dari Amerika.

Sayang, buku-buku yang dicetak mewah itu tak dijual bebas. Untunglah, anak-anak Indonesia bisa tetap menikmatinya. Buku-buku itu dibagikan gratis ke perpustakaan-perpustakaan sekolah.

Murti ingin membuktikan, keterbatasan dana bukan berati jalan buntu bagi perjuangannya. ''Asal kita tidak kenal menyerah, uang itu datang dari mana saja,'' katanya. Anggota kelompoknya juga membiayai sendiri kegiatannya di KPBA. ''Tapi, kami merasa punya arti karena martabat kemanusiaan kita terangkat,'' katanya. Lalu Murti mencontohkan kegiatan mendongeng di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta.

Setiap dua pekan, secara bergiliran anggota KPBA menghibur anak-anak yang menjalani rawat inap di sana. ''Mendongeng ternyata dapat menjadi terapi yang baik,'' ujarnya. Murti senang bisa meringankan penderitaan pasien anak-anak. Orangtuanya pun turut terhibur menyaksikan anak-anaknya tertawa. Tetapi, terkadang senyum Murti berganti air mata. Sebab, tak jarang, ketika ia datang kembali untuk mendongeng dua pekan kemudian, anak yang ia buat tertawa itu cuma tinggal nama.

Dongeng Kain Perca
Di atas kain warna biru tertempel gambar ambulans. Ada rerumputan, juga sebuah pintu kuning bertulisan ER. Ambulans, repumputan, dan pintu itu juga terbuat dari kain. Jadilan gambar yang ditempelkan pada kain warna hijau pastel. Lantas di atas tempelan kain itu ada tiga baris kalimat.

Begini bunyinya: ''Ruang gawat darurat (ER = emergency room) terletak di samping pintu masuk utama hingga bisa cepat dicari.'' Di halaman sebelah, seorang perawat duduk di atas meja. Ada tulisan ''visitors'' dan ''helping'' di sana. Kedua istilah Inggris itu lalu dijelaskan dengan tulisan tangan di bawahnya.

Begitulah anggota Kelompok Pencinta Bacaan Anak (KPBA) berkisah tentang ''Rumah Sakitku''. Cerita itu dirangkai dari kain perca bermotif yang ia temukan. Gambar-gambar di atas potongan kain sisa itu digunting, lalu ditempelkan di atas kain polos 15 x 15 cm. Pada bagian kosong kain itu diberi teks seperlunya. Helai demi helai kain polos tadi lalu disatukan menyerupai buku.

Bagi orang kreatif, setiap kain perca bermotif bisa membangkitkan daya khayal untuk membuat cerita. Misalnya, motif bola bisa dijadikan buku mengenal angka. Motif hewan dan tumbuhan bisa dijalin menjadi dongeng binatang.

Ketika Murti Bunanta, Ketua KPBA, menemukan kain motif lebah, misalnya, ia membuka ensiklopedi. Dari sana, ia membuat cerita tentang sifat-sifat lebah. Bahkan, KPBA bisa merangkai perca itu menjadi cerita rakyat, seperti cerita Bawang Merah dan Bawang Putih atau Si Kancil dan Kura-kura.

Menurut Murti, buku kain adalah alternatif baru pengadaan bacaan anak yang dapat dibuat mandiri. Buku jenis ini, tutur Murti, bisa mengisi kebutuhan bacaan di taman bermain, taman kanak-kanak, dan sekolah dasar. ''Juga untuk meningkatkan kreativitas dan keterampilan kepengarangan,'' katanya.

Meski terbilang baru di Indonesia, buku kain sudah lama dikenal di luar negeri. Namun, buku yang diproduksi secara massal itu bukan rangkaian cerita dari tempelan motif kain perca. Seluruh gambar dan huruf dalam buku itu dicetak dengan tinta tekstil. Di sana, buku kain menjadi salah satu mainan balita. Sebab, ''Buku kain tidak mudah robek, dan kalau kena kotor bisa dicuci,'' ujar Presiden Direktur PT Toko Gunung Agung, Franky Montung Setjoadinata.

Rita Triana Budiarti
Majalah Gatra edisi 28 / IX / 31 Mei 2003