Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Jejak Dialektis Industri Buku Yogyakarta

Menurut data Ikatan Penerbit Indoesia, selama 2012-2014 angka penjualan buku di penerbit Kelompok Kompas Gramedia menurun. Namun, penurunan tersebut tidak terjadi pada penerbit alternatif seperti Mizan dan Marjin Kiri. Di tengah kemerosotan penerbit mayor, berbagai penerbit alternatif dengan terbitan buku yang jarang ada di pasaran mulai bermunculan. Buku yang diterbitkan antara lain adalah buku sastra terjemahan, buku kiri, hingga buku filsafat.

Sejarah penerbit buku alternatif di Yogyakarta diawali pada masa Orde Baru. Rezim yang represif menghambat akses terhadap buku dengan muatan ideologis tertentu, seperti buku-buku kiri. Pada masa itu, penerbit harus menyesuaikan materi produksinya dengan standar pemerintah. Jika ada yang membandel, pemerintah tidak segan-segan menutup penerbit tersebut. Dalam kondisi tersebut, muncul penerbit-penerbit yang nekat melawan pemerintah dengan menerbitkan buku-buku terlarang. Bermula dari satu penerbit, kemudian banyak penerbit lain bermunculan dengan semangat sama; melawan dengan idealisme.

Penerbit alternatif di Yogyakarta mencapai kejayaan pada awal reformasi. Penerbit-penerbit yang awalnya selalu terancam bredel menjadi leluasa untuk menerbitkan buku yang diinginkan. Namun, hal itu tidak bertahan lama. Pada medio 2000-an, penerbit-penerbit alternatif satu per satu hilang. Tata kelola yang buruk menjadi penyebab menghilangnya penerbit alternatif.

Sejak hilangnya penerbit alternatif, praktis industri buku diisi oleh pemain-pemain besar. Namun, orientasinya yang populis membuat buku-buku yang ada di pasaran ‘itu-itu’ saja. Dengan keresahan akan kebanalan yang ada, pada awal 2010-an, penerbit alternatif mulai bermunculan kembali. Sekarang, penerbit alternatif semakin ramai. Para pemain besar di industri buku dibuat sampai kewalahan. Dengan sistem tata kelola yang lebih baik, kini penerbit alternatif mulai bergaung di tengah belantara industri perbukuan Yogyakarta.

Melihat fenomena industri buku saat ini, dialektika sejarah Hegel dapat dijadikan sebagai alat pembacaan. Dari konsep dialektika Hegel dapat dipahami bahwa realitas bukanlah suatu keadaan yang statis. Berangkat dari itu, Hegel mengatakan bahwa keseluruhan sejarah adalah proses negasi terus menerus atau proses peperangan panjang menuju ke arah Absolut. Dengan dialektika, Hegel mencoba menjelaskan bahwa ada suatu keterhubungan antar zaman. Pengaruh perkembangan suatu zaman ke zaman lain adalah unsur penting dalam gerak maju dialektika. Poin penting dalam dialektika adalah kondisi suatu zaman tidak berdiri sendiri dalam sejarah. Masa kini bukanlah suatu finalitas absolut.

Konsep dialektika Hegel adalah metode penalaran yang melibatkan proses kontradiksi di antara dua sisi yang berlawanan. Kata berlawanan inilah yang dimaksud dengan “perang” secara dialektis. Dialektika diawali dengan adanya tesis. Kemudian, tesis dinegasikan atau dicari pertentangannya hingga menghasilkan anti-tesis. Tesis dan anti-tesis kemudian saling ber-“perang”. Keduanya akhirnya dileburkan dengan diambil masing-masing unsurnya untuk menghasilkan suatu sintesis. Dalam proses tersebut, hal yang terpenting adalah Aufhebung yang yang berarti melampaui. Sintesis adalah sesuatu yang melampaui tesis dan anti-tesis, namun di dalamnya ada substansi dari tesis dan anti-tesis yang masih terjaga.

Jika dilihat secara dialektis, tindak represif pemerintah memunculkan keresahan dan memicu tindak perlawanan. Kondisi tersebut memicu adanya sebuah celah timbulnya anti-tesis. Dengan keadaan itu, anti-tesis muncul untuk menggantikan tesis. Maka, hadirlah penerbit alternatif ke permukaan. Sifat penerbit buku alternatif yang idealis menjadi oposan pemerintah dan penerbit mayor. Dalam fase ini, pertarungan dialektis kedua sisi ada pada segi ideologis. Pemerintah dengan sikap represifnya berlawanan dengan penerbit alternatif yang menyuarakan kebebasan. Konflik ideologis tersebut yang menjadi penyebab dialektis kemunculan penerbit alternatif di Yogyakarta.

Runtuhnya Orde Baru membuat posisi penerbit alternatif menjadi stagnan. Hilangnya common enemy menjadikan penerbit alternatif limpung. Ketiadaan Aufhebung menjadi alasan mengapa fase ini tidak bisa disebut sintesis. Pada titik ini, dapat dilihat bahwa penerbit alternatif sebagai corong kebebasan era reformasi runtuh karena dirinya sendiri. Stagnasi pada era tersebut membuat penerbit alternatif akhirnya meredup dan mati. Sistem manajemen yang sama memaksa penerbit-penerbit alternatif untuk gulung tikar. Pasalnya, banyak penerbit yang rela merugi hanya untuk menerbitkan buku.

Naiknya penerbit mayor kembali menjadi awal munculnya tesis baru. penerbit mayor sifatnya berbeda dengan penerbit alternatif. Pertama, orientasi penerbit mayor ada pada pasar. Selain itu, penerbit mayor juga mempunyai sistem yang baik. Namun, karena buku yang hadir tidak variatif, muncul penerbit-penerbit alternatif Dengan produk-produk segar, mereka menjadi lawan penerbit mayor. Kemunculan kembali penerbit alternatif pada awal 2010-an muncul sebagai sintesis. Dalam kemunculan tersebut, ia menuju Aufhebung. Penerbit alternatif yang awalnya hanya bernafas idealisme, kini hadir dengan manajemen yang lebih tertata. Artinya, unsur tesis dan anti-tesis mampu dipertahankan, namun juga dilampaui.

Jika diamati, fase reformasi sampai sekarang mempunyai problem di bidang ekonomi. Penerbit alternatif masa lampau tidak memperhatikan segi ekonomis usahanya, karena masih berkutat dengan idealismenya. Sedangkan penerbit mayor hadir dengan strategi ekonomi yang lebih mumpuni. Hadirnya penerbit alternatif masa kini membawa dua sisi dari masa lalu; idealisme dan ekonomi. Dalam poin tersebut, penerbit alternatif masa kini menjadi bukti sintesis sejarah.

Dari analisis tersebut, terlihat bahwa sejarah industri buku di Yogyakarta bergerak maju secara dialektis. Terdapat suatu proses kontradiksi yang membawanya menuju suatu perkembangan ke arah yang lebih baik. Dengan membaca masa lalu secara dialektis, kita dapat menerka apa yang terjadi di masa depan. Jika berkaca pada masa Orde Baru, pertentangan dialektis industri buku berkutat pada masalah idealisme. Pada masa reformasi hingga sekarang, pertentangan dialektis industri buku berada pada segi ekonomi. Barangkali di masa depan, pertentangan dialektisnya ada pada teknologi dan medium buku, seperti pertentangan antara e-book dengan buku cetak.

Dialektika yang telah terjadi mengajari kita bahwa kondisi industri buku saat ini bukanlah suatu peristiwa yang berdiri sendiri dalam sejarah. Penerbit alternatif yang pernah berjaya pada akhirnya tergantikan. Penerbit mayor yang mengambil alih, akhirnya juga digeser. Dialektika penerbit di Yogyakarta membawa pemahaman bahwa apa yang ada saat ini bukanlah suatu finalitas sejarah.

Balkon Balairung Press edisi Spesial 2016