Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Gerak Kebangkitan Penerbit Alternatif Yogyakarta

Seorang pemuda berambut ikal mendatangi kedai kopi yang terletak di Jalan Wahid Hasyim, Yogyakarta. Di samping kedai kopi terdapat garasi berisi buku-buku yang ditumpuk rapi di atas meja. Pemuda itu berkeliling, lalu tersenyum lebar saat melihat buku berjudul Haji Misbach terbitan Octopus. Sudah lama ia mencarinya, tetapi buku itu tak ditemui di toko-toko buku seperti Gramedia. Buku terbitan penerbit-penerbit alternatif memang dipasarkan dengan cara berbeda, salah satunya melalui pameran buku.

Pameran tersebut merupakan salah satu indikasi kebangkitan penerbit alternatif Yogyakarta, setelah sempat mengalami kemunduran pada tahun 2005 hingga 2008. Manajerial yang buruk membuat beberapa penerbit gulung tikar. “Banyak penerbit yang sudah besar, tetapi masih menggunakan manajemen keluarga. Aset pribadi dan aset perusahaan tidak dipisahkan sehingga pemilik dapat mengambil uang perusahaan untuk kepentingan pribadi tanpa adanya pencatatan keuangan yang jelas,” tutur Irfan Afifi , pendiri penerbit Pustaka Ifada.

Penerbit Insist Press yang sudah berdiri selama delapan belas tahun pun mengalami permasalahan serupa. “Insist Press kebanyakan terdiri dari anak sastra dan politik yang tidak memahami manajemen dan bisnis. Wajar bila manajerial penerbitan sempat buruk,” terang Muhammad Anwar, Direktur Insist Press. Meski begitu, Insist Press terbilang beruntung karena tak sampai gulung tikar. Adhe Ma’ruf, pengamat penerbitan Yogyakarta, menambahkan bahwa dulu penerbit alternatif kebanyakan tidak mempertimbangkan oplah buku dengan pangsa pasar. Hal itu menyebabkan penawaran buku jauh lebih besar daripada permintaan pasar.

Selain faktor manajerial, kemunduran penerbit alternatif juga dipengaruhi oleh pergeseran selera pasar perbukuan di Yogyakarta. Tahun 1998-2004, toko buku di Yogyakarta didominasi oleh buku wacana kritis bermuatan politik, sosial, dan budaya. Setelah itu, toko buku mulai didominasi oleh buku praktis, produk penerbit mainstream. Hal ini menyebabkan penerbit alternatif kehilangan pasarnya.

Akan tetapi, tahun 2009 terjadi titik balik dunia penerbitan alternatif Yogyakarta. Pada tahun itu, penerbit alternatif di Yogyakarta mulai bergairah kembali. Penerbit alternatif, baru maupun lama, meramaikan lagi dunia penerbitan alternatif Yogyakarta. Kebangkitan ini ditandai dengan terbitnya kembali beberapa judul buku wacana kritis yang dulu diterbitkan oleh Bentang Budaya. “Saat ini, permintaan pembaca terhadap buku-buku wacana kritis lawas, seperti Republic karangan Plato dan Politics karangan Aristoteles meningkat. Oleh karena itu, kami menjalin kerjasama dengan Bentang Budaya untuk menerbitkan kembali buku-buku mereka,” tutur Hasnul Arifin, pemimpin redaksi penerbit Narasi.

Kebangkitan dunia penerbitan alternatif didukung oleh adanya metode pemasaran baru. Indie Book Corner misalnya, memasarkan produknya melalui bedah buku, pameran buku, serta diskusi buku. Indie Book Corner juga menggandeng beberapa komunitas pembaca di Yogyakarta. “Kami bekerjasama dengan komunitas Dongeng Kopi, Radio Buku, dan Puisi Indo Jogja. Nantinya, mereka juga berperan sebagai reseller produk kami,” papar Irwan Badjang, pendiri sekaligus editor Indie Book Corner.

Kemunculan kembali penerbit alternatif juga tak lepas dari peran teknologi. Sejak tahun 2011, penerbit mulai gencar melakukan penjualan buku secara online, yang memungkinkan mereka menggunakan sistem pre-order. Pembeli terlebih dulu membayar dan memesan buku yang diminatinya sebelum buku tersebut diproduksi. Sistem ini semakin dipermudah dengan adanya teknologi print on demand. Dengan teknologi tersebut, penerbit dapat mencetak buku sejumlah permintaan sehingga risiko kerugian dapat diminimalkan.

Hal lain yang membuat teknologi print on demand menjadi menguntungkan adalah karena penerbit alternatif memiliki target pasar yang spesifik. Target pasar yang spesifik membuat pangsa pasar penerbit alternatif lebih sedikit. Meski demikian, hasil penjualan penerbit alternatif cenderung lebih stabil dibandingkan dengan penerbit mainstream. Salah satu contohnya adalah penerbit Insist Press yang membidik kalangan aktivis dan penggiat gerakan sosial. “Buku-buku advokasi dan pengorganisasian biasa kita pasarkan melalui jaringan perkawanan dengan aktivis-aktivis,” terang Anwar. Hal ini sejalan dengan tema buku-buku Insist Press yang banyak berkaitan dengan transformasi sosial. Berbeda dengan Insist Press, Indie Book Corner memilih membidik komunitas pembaca muda. Mereka berfokus pada tema sosial, politik, dan budaya. Saat penerbit pada umumnya lebih memilih menerbitkan naskah karya penulis yang sudah populer, Indie Book Corner justru sebaliknya. Mereka berani mengambil risiko dengan menerbitkan naskah karya anak muda, bahkan naskah penulis pemula. “Meskipun naskah mereka kebanyakan belum terlalu baik, tapi mereka memiliki semangat yang relatif tinggi,” terang Irwan. Untuk menyiasati kekurangan tersebut, Indie Book Corner mengadakan diskusi dan pelatihan kepenulisan bagi penulis-penulis muda.

Naskah yang berfokus pada tema-tema tertentu memang menjadi kekuatan tersendiri bagi penerbit alternatif Yogyakarta. Berorientasi pada isi naskah membuat penerbit alternatif lebih berani menerbitkan buku yang bermuatan ideologi ekstrem. Hal ini menyebabkan penerbit alternatif sering diperiksa aparat kepolisian yang terkadang berujung pada sweeping buku. Dalam hal ini, aparat kepolisian menggunakan TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1996 sebagai alasan untuk melakukan sweeping buku. Padahal, TAP MPRS tersebut bicara mengenai pembubaran Partai Komunis Indonesia (PKI), bukan pelarangan peredaran buku. “Pembredelan buku hanya boleh dilakukan setelah adanya proses peradilan, jika memang isi buku menyimpang,” jelas Adhe.

Adanya sweeping buku, mendorong sejumlah penerbit alternatif membentuk aliansi Masyarakat Literasi Yogyakarta (MLY). Selain untuk merespon kasus sweeping buku, MLY dibentuk sebagai wujud ketidakpuasan terhadap kinerja Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI). MLY beranggapan bahwa IKAPI belum dapat mengakomodasi kepentingan penerbit-penerbit alternatif. Salah satunya terkait dengan perlindungan idealisme penerbit. Hal ini diakui oleh pihak IKAPI. Meski begitu, IKAPI mencoba melakukan perbaikan. “Pada periode kepengurusan yang baru ini, kami punya rencana untuk menyusun naskah akademik. Naskah itu berisi usulan-usulan terkait dunia penerbitan, yang nantinya diajukan ke DPR,” tutur Wawan.

Melihat kondisi saat ini, Wawan memprediksi penerbit alternatif akan memiliki pangsa pasar lebih banyak ke depannya. Hal ini didukung dengan metode baru dalam bidang produksi dan pemasaran. “Saat ini justru posisi penerbit mainstream yang terancam. Buku mereka kebanyakan isinya ‘ringan’. Bahasan ‘ringan’ sekarang mudah dicari melalui internet. Berbeda dengan bahasan buku wacana kritis yang cenderung bermuatan ‘berat’ dan mendalam. Oleh karena itu, saya rasa buku wacana kritis akan kembali mendapatkan tempatnya,” tambahnya.

Sanya & Fa’izah
Balkon Balairung Edisi Spesial 2016