Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ensiklopedi Keris Paling Lengkap di Dunia

Bagi Harsrinukusmo, 60 tahun, keris adalah benda klasik yang mengasyikkan. Bertahun-tahun, ia menggaulinya, mengeksplorasinya, hingga lelaki jangkung itu sempat dijuluki ''ensiklopedi keris''. Kepalang basah, Hasri kemudian memperkaya pengetahuannya, lalu menuangkannya dalam Ensiklopedi Keris yang baru saja rampung ditulisnya.

Kalau tak ada aral melintang, buku ensiklopedi terbitan Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, ini diluncurkan Mei nanti. ''Belum ada literatur keris di dunia selengkap ensiklopedi ini,'' katanya, berpromosi. Sebelumnya, dia pernah menulis buku Dapur Keris (1981), Pamor Keris (1983), Tanya Jawab Soal Keris (1983), dan Rahasia Isi Keris (1986). Semuanya laris manis. Ada yang dicetak ulang empat kali, sekurangnya tiga kali.

Ensiklopedi Keris itu sendiri memuat 2.500 gambar keris warna-warni berikut ilustrasinya. Penyusunannya lumayan alot. Selama 13 tahun, ayah dua anak kelahiran Desa Manisrenggo, Klaten, Jawa Tengah, ini memburu literatur dan dokumen sampai ke pelosok-pelosok kampung. Pengumpulan bahan penulisan, foto, sampai tata letak dikerjakannya sendiri. ''Takut kalau nanti tidak sinkron antara tulisan, ilustrasi, dan fotonya,'' kata Bambang.

Karya Bambang ini tak cuma menginventarisasi seluk-beluk keris Jawa. Ia pun menampilkan keris dari wilayah lain: Bali, Madura, Sunda, Palembang, Riau, Bugis, Filipina, Malaysia, Singapura, Kamboja, Brunei Darussalam, hingga Vietnam. ''Keris itu sejak dulu sudah mendunia,'' katanya.

Satu sama lain punya kedekatan. Keris Vietnam, misalnya, motif rangka dan sarungnya mirip keris Bugis. Tapi, isinya condong ke Jawa. Menurut Bambang, model keris itu selalu berhubungan dengan wilayah-wilayah bekas kekuasaan atau yang mendapat pengaruh Kerajaan Majapahit.

Di Bali, keris disebut kedutan atau selle. Tappi adalah sebutan keris di Sulawesi Selatan. Orang Filipina menyebutnya sundang. Beberapa daerah lain menamainya kerih, karieh, atau kres. Keris sendiri mulai populer pada abad ke-6-7 di Jawa.

Cara pembuatannya serupa, dengan teknik tempa. Jumlah tempaan tergantung kualitas yang hendak dicapai. Untuk jenis keris ''rakyat'', tempaannya hanya sampai 64 lapisan. Yang berkualitas menengah sampai 128. Sedangkan keris yang ''sakti'', berkualitas, menyentuh angka 2.000 pelapisan.

Ensiklopedi yang disusun Bambang itu mengambil sistematika menurut urutan abjad Latin, mulai A hingga Y, dan memuat lengkap sejarah keris, empu pembuatnya (dari zaman dulu hingga sekarang), motif keris, pamor, termasuk kapan keris itu dibuat. Juga dirinci dimensinya. Keris panjang model Jawa, misalnya, panjangnya 33-38 sentimeter. Di luar Jawa, keris bisa menjulang sampai 58 sentimeter. Di Filipina, malah mencapai 64 sentimeter.

Di luar itu ada keris pendek, keris Buddha dan keris Nyi Sobro Padjadjaran, yakni 16-18 sentimeter. Ensiklopedi juga menyebut daerah-daerah yang hingga kini aktif sebagai tempat pembuatan keris, seperti di Solo (Jawa Tengah), Yogyakarta, Luwu (Sulawesi Tenggara), Kelantan (Malaysia), dan Brunei Darussalam.

Dalam karyanya itu, Bambang juga mengaduk-aduk empu-empu terkenal pembuat keris, misalnya Empu Pangeran Sedaya atau Supa Mandrangi pada zaman Majapahit. Lalu Joko Sura, Joko Supa, Empu Modin atau Bekel Jati pada zaman Sunan Bonang, dan Empu Supa Anom. Tak ketinggalan empu hebat zaman sekarang, yakni Empu Djeno Harumbrodjo di Yogyakarta dan Empu Pauzan Pusposukadgo di Solo.

Keris-keris pusaka ikut dibahas: keris Kanjeng Kiai Sengkelat, pusaka utama Majapahit yang pernah dicuri Adipati Blambangan, Setan Kober yang dipakai Arya Penangsang, Adipati Jipang, keris si Ginje yang ada di pantai timur Sumatera dan Semenanjung Malaya.

Kepiawaian Bambang menulis ihwal keris terasah sejak ia menjadi wartawan. Dalam karier jurnalistiknya, dia pernah menjadi wartawan Harian Berita Indonesia, Berita Buana, dan Buana Minggu. Tentu ia juga seorang kolektor. Puluhan keris berjejer di dinding rumahnya di kompleks Perumahan Wartawan, Cipinang, Jakarta Timur.

Bambang memperlakukannya biasa saja. Tak pernah memandikannya ataupun melulurkan wewangian. Baginya, barang-barang itu hanya benda sejarah, bukan keramat. ''Saya tak pernah mengalami hal-hal aneh dengan keris-keris ini,''katanya.

Joko Syahban
Majalah Gatra edisi  22 / IX / 19 April 2003