Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Terlarang yang Mengalahkan Fatwa Universitas Al-Azhar

Said Mohammed Hassan kini merasa lega. Penantiannya selama tujuh tahun rupanya tidak sia-sia. Pasalnya, pada 20 Mei 2003, Mahkamah Qadha al-Idary di Kairo, Mesir, memenangkan gugatan atas Al-Azhar yang melarang peredaran tiga buku karyanya.

Inilah untuk pertama kali dalam sejarah, fatwa Majma al-Buhuts al-Islamiyyah (MBI), lembaga riset keagamaan di lingkungan Universitas Al-Azhar, dimentahkan putusan pengadilan. Mahkamah menyatakan, alasan yang dikemukakan MBI tidak bisa serta-merta mengakibatkan pelarangan atas beredarnya sebuah buku.

Ketiga buku karya Said itu adalah Ro'yun Fi al-Fikr a-Islamy (Sebuah Konsep Pemikiran Keislaman) setebal 111 halaman, Haqaiq al-Isra' wa al-Mi'raj (Hakikat Isra' Mi'raj), setebal 239 halaman, dan Al Iman bi al-Isra' wa al-Mi'raj (Mengimani Isra' Mi'raj), 238 halaman.

Keluarnya keputusan mahkamah itu memunculkan polemik di seputar kekuatan status hukumnya. Fatwa ulama ataukah putusan mahkamah? ''Sebenarnya tidak ada hal yang bertentangan antara fatwa MBI dan putusan pengadilan itu,'' tutur Dr. Mahmoud Ashour, wakil Syekh Besar Al-Azhar, Jumat pekan lalu di Kairo.

Kisahnya bermula pada awal November 1996, ketika Said meminta izin kepada MBI untuk mencetak ulang bukunya itu. Rencananya, ketiga buku itu diedarkan di Abu Dhabi, atas permintaan sebuah lembaga di sana. Ternyata, MBI bukannya memberi izin, malah menyatakan buku-buku Said berpotensi merusak dan menyesatkan umat. MBI menolak permintaan Said, sekaligus melarang peredaran bukunya.

Di Mesir, setiap buku agama yang terbit mesti ''disensor'' Al-Azhar. MBI adalah pelaksananya. Pengawasan atas isi sebuah buku merupakan salah satu bentuk tanggung jawab Al-Azhar dalam meredam paham-paham keagamaan yang menyimpang di masyarakat.

Selama ini, Al-Azhar mengoreksi buku yang beredar di Mesir rata-rata 4.000 judul buku per bulan. Pekerjaan ini melibatkan 300-an ulama terpilih alumni Universitas Al-Azhar. Kewenangan pengawasan seperti itu merupakan otoritas khusus yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 15 Pasal 13, yang dikeluarkan Pemerintah Mesir pada 1961, tentang pendirian kembali lembaga Al-Azhar.

Dengan pelarangan ketiga buku itu oleh MBI, Said merasa dirugikan dan mengadu ke mahkamah pada 17 November 1996. Dalam surat gugatan yang ditulis tangan itu, ia menuntut MBI mencabut pelarangan atas bukunya, dan uang ganti rugi sebesar 100.000 pound Mesir (setara dengan US$ 20.000). ''Saya merasa dirugikan secara materiil dan moral,'' tulis alumnus fakultas hukum sebuah perguruan tinggi di kota Kairo tahun 1956 ini. Akibat larangan MBI, ketiga buku yang dicetak terakhir pada 1995 itu tak lagi bisa naik cetak.

''Penulis hanyalah berijtihad biasa, sekadar mengekspresikan pendapatnya,'' demikian alasan mahkamah yang diketuai Farouq Abdul Qadeer. Selain mencabut larangan peredaran buku itu, mahkamah juga mengabulkan sebagian tuntutan Said. Al-Azhar diharuskan membayar uang ganti rugi sebesar 5.000 pound Mesir (US$ 1.000).

Atas putusan mahkamah itu, pihak Al-Azhar menghormatinya. ''Dalam aturan Al-Azhar tidak ada satu pasal pun yang membolehkan kami menentang putusan pengadilan,'' kata Syekh Mahmoud Ashour. Meski begitu, menurut Mahmoud, Al-Azhar tetap memiliki hak menilai isi sebuah buku, dengan selalu menghargai prinsip kebebasan berpikir. ''Jika perbedaan pendapat itu menyangkut norma agama atau mengandung unsur penghinaan atas ajaran Islam, kami merasa terpanggil untuk meluruskannya,'' kata Mahmoud.

Dalam pandangan MBI, lewat ketiga karyanya itu, Said terkesan melecehkan Nabi Muhammad. Dalam ketiga bukunya, ia sering menyebut ''Muhammad'' tanpa ''shallallahu alaihi wassalam'' di ujung namanya. Said juga dinilai kerap berkesimpulan tanpa sandaran referensi Al-Quran atau hadis yang kuat. ''Buku-buku itu tidak memenuhi standar ilmiah, analisisnya sembrono, sarat kesalahan bahasa, lebih banyak sisi negatifnya, dan tidak memberikan kontribusi apa pun bagi umat,'' MBI memberi penilaian.

Kebanyakan ahli hukum Mesir memandang putusan tertinggi ada di tangan mahkamah. Farouq Abdul Qadeer, SH, ketua Mahkamah Qadha al-Idary, mengatakan bahwa fatwa MBI dalam kasus ini tidak mengikat. ''Lagi pula, penulis tidak mengingkari Isra' Mi'raj secara total dalam bukunya,'' kata Farouq, seperti dikutip majalah Rouz el-Youssef edisi 31 Mei 2003.

Thariq Bishry, pemikir terkenal Mesir, juga mendukung putusan mahkamah. ''Putusan MBI yang mengikat secara yuridis formal kenegaraan hanyalah dalam pengawasan percetakan mushaf Al-Quran,'' kata Thariq, seraya mengutip Undang-Undang Nomor 102 Tahun 1985, tentang otoritas total pengawasan atas percetakan mushaf Al-Quran yang dipegang MBI.

Adapun ketiga buku yang ditulis sejak 1976 itu kini tak beredar lagi di pasaran. Sebagaimana buku-buku terlarang versi Al-Azhar lain, ketiga buku itu tampaknya telah ditarik dari peredaran. Berdasarkan pantauan Gatra pada Kamis pekan lalu, di beberapa toko buku terkenal kota Kairo, semisal Dar el-Shourouk, Madbuli, Dar el-Fikr el-Masry, dan Dar el-Maarif, ketiga buku itu tak tampak. Tak sedikit pengunjung toko buku gigit jari karena tak berhasil mendapatkannya.

''Kalau tidak salah, kami pernah menjual buku Haqaiq Isra' Mi'raj, dua tahun lalu. Itu pun kurang banyak peminatnya,'' kata 'Amr, 35 tahun, seorang staf humas Penerbit Madbuli as-Shagir, perusahaan penerbitan yang dikenal sering mencetak buku-buku kontemporer. Waktu itu, harganya hanya 10 pound Mesir (Rp 15.000).

Buku yang tadinya kurang diperhitungkan itu, setelah keluarnya putusan mahkamah, kini dicari orang. Namun, bisa jadi, dalam beberapa pekan ke depan, ketiga buku yang dipermasalahkan MBI tersebut dicetak ulang, dan mudah didapatkan di pasaran. Akankah kontroversi dan polemik berlanjut?

Meluruskan atau Meragukan
Nama Said Mohammed Hassan mendadak kondang. Pria berusia 70 tahun lebih yang berprofesi pengacara itu mengaku punya perhatian serius terhadap kajian keislaman. Tapi, pemikirannya dalam dinamika wacana keislaman di Mesir belum dikenal luas. Setelah mahkamah memenangkan gugatannya, nama Said jadi perbincangan di kalangan intelektual dan ahli hukum di ''negeri piramida'' itu.

Said tergerak menulis tiga buku tentang Isra' Mi'raj ketika pada 1973 menonton acara mimbar agama Islam di salah satu stasiun televisi Mesir. Isi ceramah ulama itu ternyata membuat Said gerah. Menurut sang penceramah, tahun terjadinya peristiwa Isra' Mi'raj (tahun 11 kenabian atau dua tahun sebelum hijrah) dinamakan amul huzni (tahun kesedihan).

Dinamai "tahun kesedihan", karena waktu itu Nabi Muhammad SAW kehilangan dua orang terdekat yang sangat besar jasanya dalam membantu dakwah. Mereka adalah sang paman, Abu Thalib, dan istri Nabi, Siti Khadijah. Pada tahun yang sama, masih menurut penceramah itu, beliau juga bersedih karena keinginannya berhijrah ke Thaif tidak disetujui keluarganya. Nah, untuk menghibur Nabi dari berbagai derita itulah, Allah menghendaki peristiwa Isra' Mi'raj.

Isi ceramah inilah yang mendorong Said menulis buku tentang Isra' Mi'raj. ''Saya ingin meluruskan,'' katanya. Hal itu dibuktikannya pada 1976, ketika ia mulai menulis Ra'yun Fi al-Fikr al-Islamy (Sebuah Konsep Pemikiran Keislaman), yang berisi gagasan-gagasan proyek kebangkitan umat.

Dalam buku ini, ia membagi tahapan dinamika pemikiran umat Islam menjadi tiga fase. Ketiga fase itu adalah fase wahyu Tuhan (al-marhalah al-ilahiyyah), fase peradaban (al-marhalah al-hadharat), dan fase kebekuan (jumud). Fase ketiga ini dimulai pada abad IV Hijriah, yang ditandai munculnya penjajahan Barat atas negeri-negeri muslim, Perang Salib, serta hadirnya pemikiran Al-Ghazali dan Ibnu Taimyyah. ''Cerita-cerita tentang Isra' Mi'raj dilembagakan pada fase ketiga,'' tulis Said.

Buku kedua, Haqaiq Isra' Mi'raj, bercerita tentang berbagai kesalahan sejarah Isra' Mi'raj. Setiap insan, menurut Said, memiliki fitrah untuk mengetahui Tuhan dan keinginan mengetahui kehidupan pasca-kematian. ''Pemahaman tahun itu sebagai amul huzni melembaga dalam benak jumhur umat Islam selama puluhan tahun,'' Said menambahkan.

Penamaan itu merupakan ijma' gharib (keputusan yang aneh). ''Padahal, penamaan amul huzni ini tidak memiliki sandaran kuat sama sekali, baik dalam ayat Al-Quran maupun hadis Nabi,'' tutur Said. ''Rasulullah tidak bersedih dengan kematian Abu Thalib dan Siti Khadijah,'' tulis Said dalam Haqaiq Isra' Mi'raj halaman 107.

''Sejarah tentang Isra' Mi'raj, yang selama 13 abad ini beredar di dalam benak umat Islam, berbau khurafat, dan tidak mencerdaskan,'' katanya. ''Selama 12 abad, umat Islam berpolemik terus, apakah Isra' Mi'raj itu dilakukan dengan roh saja atau dengan jasad juga,'' Said melanjutkan.

Di buku ketiga, Al Iman bi al-Isra' wa al-Mi'raj, ia menjelaskan hikmah Isra' Mi'raj dalam kaitannya dengan aspek iman kepada alam gaib. Isra' Mi'raj, menurut Said, merupakan salah satu cara yang dipilih Allah untuk meyakinkan Rasulullah tentang keimanan pada alam gaib. ''Setiap nabi memiliki keinginan dan harapan kepada Allah. Rasulullah, tanpa meminta sebelumnya, dikaruniai nikmat berupa perjalanan Isra' Mi'raj ini,'' Said menyimpulkan.

Atas analisis tersebut, Majma al-Buhuts al-Islamiyyah (MBI) menuding Said merasionalkan konsep keimanan kepada alam gaib. Said juga dianggap melakukan kesalahan akademis karena sembrono menarik kesimpulan. MBI berkesimpulan, pikiran-pikiran Said dalam ketiga buku itu punya kesan kuat mengajak pembaca meragukan adanya hari kemudian.

Herry Mohammad dan Dede Permana (Kairo)
Majalah Gatra edisi  30 / IX / 14 Juni 2003