Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku-Buku Bajakan, Dicaci-maki Tetapi Dicari

Pembajakan buku di Indonesia yang berlangsung sejak tahun 1966 telah membuat pusing baik pihak yang bergelut langsung di bidang perbukuan seperti penerbit, Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi), dan penulis buku maupun pihak di luar lingkaran tersebut, seperti para penegak hukum. Seperti yang telah lama berlangsung di negeri ini, pembajakan buku semakin subur dari waktu ke waktu. Lalu apa yang harus dilakukan untuk keluar dari jejaring setan ini? Tulisan ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti faktor apa saja yang memicu pembajakan buku di Indonesia, mengapa buku-buku bajakan dicaci-maki tetapi sebenarnya sangat dicari-cari, dan langkah-langkah efektif apa yang harus diambil untuk menanggulangi pembajakan buku?

Faktor Pemicu
Pembajakan buku di Indonesia dipicu oleh beberapa faktor. Pertama, penyebaran buku tidak merata ke seluruh pasaran buku nasional. Faktor ini berkaitan dengan terbatasnya atau minimnya persediaan buku tertentu di pasaran. Artinya, permintaan pasar tidak bisa dipenuhi dengan cepat. Momen inilah yang dilirik dan disergap oleh penerbit gelap untuk secepat mungkin mengadakan buku-buku yang dibutuhkan itu. Cara pengadaannya tentu saja bukan dengan mendatangkan buku-buku yang dibutuhkan itu dari penerbit aslinya, tetapi dengan membajaknya lewat teknik cetak offset dengan mencetak kembali buku tersebut tanpa harus mengeluarkan biaya operasional yang tinggi. Satu-satunya biaya yang dikeluarkan adalah ongkos cetak tanpa harus memikirkan biaya di bidang pemikiran, editing, promosi, dan royalti.

Kedua, sangat jauhnya pasar dari penerbit buku-buku yang dibutuhkan. Lokasi pasar tempat konsumen memburu buku-buku yang dibutuhkan yang sangat jauh dari penerbit asli memaksa orang untuk mengambil jalan pintas yang ilegal yaitu pembajakan. Sekalipun, katakanlah, penerbit yang membajak buku-buku tertentu diketahui oleh pihak penerbit asli, sangatlah sulit bagi penerbit asli untuk menuntut penerbit pembajak tadi lewat jalur hukum karena selain jarak yang begitu jauh, waktu, biaya, tenaga, dan pikiran yang dicurahkan untuk mengurusnya hampir tidak sebanding dengan apa yang akah didapatkan setelah menyelesaikan kasus tersebut. Hal inilah yang membuat penerbit asli tidak bisa berbuat banyak.

Ketiga, penghormatan terhadap intellectual rights, yakni hak cipta masih rendah. Sesungguhnya, pemerintah telah menciptakan Undang-Undang (UU) Hak Cipta untuk menghentikan pelanggaran atas hak cipta dan pembajakan buku. Ketika penerbitan buku di negeri ini masih tertatih-tatih, pemerintah telah menerapkan UU Hak Cipta tahun 1913 warisan penjajah Belanda. UU ini kemudian diganti dengan UU No. 6 tahun 1982 tentang Hak Cipta yang menyatakan bahwa tindakan pelanggaran hak cipta termasuk delik aduan. Sanksi pidananya sangat ringan, yakni pidana kurungan maksimal 9 bulan atau denda paling tinggi Rp. 5.000.000. Sanksi-sanksi ini sama sekali tidak membuat ngeri para pembajak buku, sehingga pembajakan buku terus berlangsung bahkan sampai detik ini. UU No. 6 tahun 1982 disempurnakan lagi menjadi UU No. 7 tahun 1987 tentang Hak Cipta.

Delik aduan dalam UU No. 6 tahun 1982 diganti dengan delik pidana biasa dalam UU No. 7 tahun 1987, yang memberi ruang bagi para penegak hukum untuk langsung bertindak tanpa harus menunggu pengaduan dari penerbit atau pihak yang menjadi korban pembajakan. Sanksi-sanksi dalam UU ini makin berat, yakni hukuman maksimal 7 tahun penjara atau denda Rp. 100.000.000, namun pelanggaran atas hak cipta berupa pembajakan buku tetap berlangsung. Hal ini mencerminkan bahwa meskipun sanksi-sanksinya semakin berat, kesadaran yang rendah dalam diri para pembajak buku akan mementahkan ketakutan terhadap sanksi-sanksi dalam UU tersebut.

Keempat, kurangnya penegakan hukum. Faktor ini sangat relevan dengan faktor ketiga di atas. Dalam hal ini ketentuan UU No. 7 tahun 1987 tidak dilaksanakan dengan serius. Di sini tampak bahwa aparat penegak hukum kurang tegas dalam memburu dan menindak para pembajak buku.

Kelima, sangat mahalnya harga buku-buku asli, yang sangat memberatkan konsumen. Hal ini menjadi peluang bisnis yang menggiurkan bagi para pembajak buku sehingga mereka melakukan pembajakan buku dan menjual buku-buku bajakan tersebut dengan harga yang sangat murah.

Dicaci-maki Tetapi Dicari
Keberadaan buku-buku bajakan sebenarnya sangat dilematis. Pada satu sisi, buku-buku bajakan dicaci-maki, terutama oleh pihak penerbit yang sangat dirugikan dan para penulis yang selain dirugikan juga merasa dilecehkan hak intelektualnya. Reaksi serupa juga muncul dari para penegak hukum karena mereka selalu disalahkan dan dianggap tidak mampu menangani kasus pembajakan buku secara tuntas.

Pada sisi lain, buku-buku bajakan merupakan ‘berkah’ bagi kelas konsumen tertentu, artinya buku-buku bajakan sebenarnya sangat dicari-cari oleh konsumen. Dan inilah fakta yang terjadi di lapangan. Yang masuk dalam kelas ini adalah para pelajar dan mahasiswa atau konsumen lain yang berkantong tipis. Harga buku asli yang sangat mahal membuat mereka sangat sulit untuk bisa membeli buku-buku asli. Di sinilah buku-buku bajakan memberikan solusi jitu untuk membantu mengatasi kesulitan konsumen dengan uang pas-pasan tadi. Bayangkan saja, harga sebuah kamus asli yang seharusnya berkisar antara Rp. 75.000, sementara harga versi bajakannya hanya berkisar Rp. 20.000, pembeli yang tidak memiliki uang banyak tentu saja akan membeli versi bajakan tersebut. Selain harganya murah, penampilan dan isinya juga sama. Bagi mereka, berlaku prinsip lebih baik beli buku bajakan yang penampilan dan isinya tidak kalah dengan buku aslinya daripada meminjam buku aslinya dari teman atau dari perpustakaan lalu memfotokopinya.

Langkah-langkah Penanggulangan
Ada beberapa langkah efektif untuk menanggulangi masalah pembajakan buku. Pertama, pembenahan yang serius di tubuh Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) sendiri. Pernyataan Presiden Megawati ketika meresmikan pembukaan Kongres XV Ikapi di Istana Negara Jakarta (KOMPAS, 23 September 2002) sangat menarik. Dalam kesempatan itu Presiden Megawati meminta Ikapi untuk bersungguh-sungguh melakukan penertiban ke dalam dan penguatan disiplin di antara para anggotanya dalam menangani masalah pembajakan buku. Pernyataan ini mengindikasikan bahwa di tubuh Ikapi sendiri sebenarnya terdapat sejumlah penerbit yang terlibat dalam pembajakan buku. Kalau ini benar, maka kunci utamanya tidak lain adalah penertiban internal Ikapi secara serius. Dalam hal ini, komitmen Ikapi untuk mengambil tindakan administratif yang tegas bagi anggota yang teriibat pembajakan buku sangat penting.

Kedua, karena pembajakan buku bukan lagi merupakan delik aduan melainkan delik pidana biasa, maka para penegak hukum diharapkan lebih proaktif daiam menindak para pembajak. Para penegak hukum tidak perlu lagi menunggu laporan dari pihak-pihak yang dirugikan dengan pembajakan tersebut, tetapi proaktif mengambil langkah-langkah yang perlu untuk mengusut mafia pembajakan buku.

Ketiga, pengurangan atau bahkan penghapusan pajak buku. Sejak berlakunya UU No. 7 tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, yang kemudian diganti lagi dengan UU No. 7 tahun1991, UU No. 10 tahun 1994, dan terakhir UU No. 17 tahun 2000, untuk buku praktis dikenakan tiga kali Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Pertama atas bahan baku kertas dan bahan baku lainnya, kedua atas biaya cetak, dan ketiga atas penjualan buku itu sendiri. Pajak penjualan buku inilah yang sangat membebani konsumen. Beban PPN pulalah yang menjadi salah satu pemicu mahalnya harga buku di pasaran. Apabila pajak buku dikurangi atau bahkan kalau bisa ditiadakan atau pajak ditanggung oleh pemerintah, maka secara otomatis buku-buku di pasaran akan murah. Konsekuensi logisnya adalah bahwa konsumen tidak akan melirik buku-buku bajakan.

Keempat, penyebaran pemasaran buku yang merata di seluruh Indonesia dengan harga yang terjangkau. Selama ini penyebaran buku sebagian besar diserap pasar-pasar buku di Jawa. Sementara pasar-pasar buku di luar Jawa hampir tidak mendapat kesempatan yang sama dalam hal pendistribusian buku. Hal ini semata-mata disebabkan oleh fakta bahwa sebagian besar penerbit di Indonesia berpusat di Jawa. Untuk mengatasi masalah ini, penerbit lokal atau daerah terutama yang berada di luar Jawa perlu bersinergi dengan penerbit-penerbit nasional yang umumnya berpusat di Jawa. Hal ini bukan saja sangat efektif dan efisien dalam pendistribusian buku di pasaran, tetapi juga bisa menekan harga buku yang lebih terjangkau.

Pembajakan buku tampaknya masih akan terus berlangsung pada masa mendatang kalau tidak ditangani dengan serius. Karena itu, untuk memotong jalur pembajakan buku, sudah saatnya Ikapi, aparat penegak hukum, dan pihak-pihak terkait lainnya untuk mengambil langkah-langkah tegas dan serius.

Silvester Goridus Sukur, penulis buku, bekerja di ELTI-Gramedia Yogyakarta.
Majalah Mata BacaVol. 1/ No. 5/ Desember 2002