Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Buku Adalah Jembatan? Belajar dari Frankfurt Book Fair

Tema pameran buku internasional di Frankfurt (Frankfurt Book Fair) tahun ini adalah “Bridges for a World Divided”, Jembatan untuk Dunia yang Tercerai-berai. Pertanyaannya, apakah “pesta buku” terbesar setiap tahun itu, tahun ini berlangsung tanggal 9-14 Oktober, mampu jadi jembatan? Tema itu sekadar utopia? Atau mengapa dan bagaimana buku bisa berfungsi sebagai jembatan?

Tiga pertanyaan itu muncul di saat saya keluar-masuk sembilan bangsal pameran. Setiap bangsal luasnya sekitar 5.000 meter persegi terletak di atas tanah seluas 9 hektar. Spontan terpikir, bisnis buku seperti halnya koran adalah bisnis informasi bisnis kata-kata. Kata-kata adalah sarana komunikasi. Berkomunikasi artinya berhubungan, analog dengan jembatan sebagai penghubung antara dua wilayah. Secara sederhana, buku adalah jembatan.

Dalam konteks Indonesia sekarang pun, tema itu aktual. Indonesia yang tercerai-berai butuh jembatan, Buku menjadi metafor jembatan, sarana bertemu, sarana perdamaian, Catatan singkat berikut ini tidak ingin memperdalam tema pameran. Melainkan sekadar reportase. Tujuannya adalah bahwa apa yang terjadi setiap tahun di Frankfurt itu, bahkan juga pameran-pameran yang sering dan rutin terjadi di berbagai negara, dapat menjadi bahan pelajaran. Indonesia dengan segala ketertinggalannya, apalagi sekarang, perlu belajar dari negara maju, tentu bukan belajar cara menikmati kemakmurannya, seperti misalnya yang terjadi dengan perpanjangan libur nasional. Keluar masuk gerai, bertemu dengan beberapa penerbit, mencoba berlagak sebagai “pemulung hak cipta”, saya punya kesan Jerman memperoleh keuntungan luar biasa. Pameran tahun ini diikuti 6.000 penerbit lebih, berasal dari 110 negara. Sepertiga di antaranya berasal dari Jerman. Kalau setiap penerbit membawa serta 10 awak, sudah ada 40.000 pengunjung luar Jerman. Warga kota Frankfurt am Main tahu benar kesempatan ini.

Di mana-mana terpasang spanduk selamat datang. Ke kawasan lokasi pameran disediakan kereta api khusus dengan stasiun yang lokasinya berada di arena pameran.

Yang diuntungkan bukan hanya pemerintah dan para penerbit buku, tetapi juga masyarakat Frankfurt. Di mana-mana ada kafe yang menyediakan makan siang maupun penghilang haus. panas maupun dingin. Penjaga gerai dan pengunjung yang konon jumlahnya sekitar 300.000 selama pameran berlangsung berada di lokasi itu sejak pukul 09.00 sampai pukul 17.00. Jadi praktis kafe-kafe itu selalu penuh, bahkan pada jam-jam makan siang perlu antre. Di berbagai sudut lokasi pameran, para pedagang kaki lima menggelar dagangan. Segala barang dijual di sana, termasuk yang tak ada kaitan dengan buku, baju bekas misalnya.

Pesta buku internasional yang selalu diselenggarakan pada bulan Oktober itu mendatangkan keuntungan berlipat, bukan hanya dari segi materi tetapi juga prestise. Frankfurt am Main yang selama ini dikenal sebagai kota perdagangan identik dengan pameran buku.

Padahal setiap tahun bukan hanya pameran buku, tetapi di lokasi yang sama setiap kali terselenggara pameran berbagai macam produk industri.

Jual-beli hak cipta memang tujuan utama. Tetapi kini setelah memasuki serial ke-54, apa pun yang berkaitan dengan industri buku dipamerkan di sana. Maka ada tiga bangsal ditempati pameran produk mesin cetak dengan segala ikutannya. Tak semua pengunjung adalah pemburu atau pemulung hak cipta. Melainkan juga para pengarang, ilustrator, peminat buku, dan pengusaha percetakan, bahkan juga pengusaha mesin cetak. Bukan hanya itu, di sana pun digelar pameran industri komputer, industri tinta, juga pengembang mesin tanpa kertas. Untuk mereka yang ingin memperdailm persoalan-persolan aktual internasional, terselenggara pula seminar-seminar di salah satu bangsal yang selalu terisi dengan acara dan dikunjungi banyak peminat.

Peristiwa 11 September di AS berdampak di sana. Peserta tahun ini turun 4 persen dibanding tahun lalu. Bahkan dibanding dua tahun sebelumnya, keramaian kali ini masih kalah. Diperkirakan target 300.000 tak tercapai, isu terorisme membuat orang takut. Takut untuk datang ke Frankfurt, takut akan aksi terorisme di tengah keramaian pameran.

Bom Bali yang menewaskan 180 orang lebih itu, yang terjadi berbarengan dengan saat pameran berlangsung, sempat membuat kaget. Peristiwa itu, ditambah dengan analisis koran-koran Jerman, sebentar membuat pengunjung mengalihkan perhatian. Tetapi sehari sesudahnya, tema dan topik pembicaraan pun kembali ke soal buku, soal tawar-menawar hak cipta, soal antre makan siang, dan soal kecanggihan Jerman mengemas pameran.

Memperhatikan judul-judul dan topik yang dibukukan, terlihat masalah terorisme sebagai mainstream persoalan internasional, Saya temukan paling tidak 10 judul buku berkaitan dengan terorisme, baik yang sudah terbit maupun akan terbit. Masalah terorisme dikupas dari segala segi, dalam bentuk bunga rampai, hasil penelitian, dan selalu dikaitkan dengan Al-Qaeda walaupun ada yang menukik lebih jauh bahwa semangat dan tindakan yang sama tidak terbatas pada salah satu agama atau golongan.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, buku-buku anak, sejarah; dan kesehatan tetap dominan, Buku-buku anak sedemikian jauh dieksploitasi, sehingga nyaris sulit membedakan antara buku dan alat peraga. Buku-buku manajemen tampaknya mengurang dibanding tahun-tahun lalu ketika buku-buku manajemen membanjir dengan teori-teori baru dan spektakuler. Agama dan sejarah, termasuk buku-buku yang mengeksploitasi Hitler dan Perang Dunia II menjadi “bisnis inti” beberapa penerbit. Dari sekian agama di bumi, Islam dan Kristen terlihat dominan, terutama Islam yang ditampilkan oleh lebih dari 25 penerbit.

Buku-buku kesehatan tampaknya menurun. Itu terlihat sepintas dari brosur maupun buku-buku yang terpampang di semua bangsal, termasuk Jerman yang memakan tempat dua bangsal. Kalau dua tahun lalu di setiap bangsal bisa dijumpai buku-buku pengobatan alternative —terutama buku-buku dari Republik Rakyat Cina— tahun ini terlihat lebih sedikit. Mungkin buku-buku itu sudah diubah jadi obat-obat cina yang sekarang pun dicari orang Eropa.

Penerbit Indonesia hanya puas jadi penonton. Tiga penerbitan yang ikut —Kanisius, CSIS, BPK Gunung Mulia— perlu diberi penghargaan. Mereka punya nyali dan menangkap momentum ini sebaik-baiknya. Yang dipertimbangkan bukan sekadar faktor finansial tetapi prestise. Dulu di tahun 70-an memang sejumlah penerbit Indonesia ikut pameran, tetapi sejak 1977 keikutsertaan massal itu surut. Yang ikut sekadar satu atau dua penerbit, itu pun bukan kelompok penerbit papan atas. Sewa satu gerai terkecil ukuran 2 x 4 m sebesar Rp. 3,5 juta bukanlah alasan utama absennya penerbit-penerbit mapan. Alasan utama adalah sebagian besar dari buku-buku laris yang diterbitkan di Indonesia adalah buku terjemahan. Penerbit Indonesia masuk dalam kategori pemulung hak cipta. Dengan demikian masuk akal ikut pameran memang hanya buang uang, Tak pernah terpikir bahwa buku-buku karya pengarang dalam negeri pun ada yang sudah dialihbahasakan, seperti karya-karya Y.B. Mangunwijaya dan Pramoedya Ananta Toer, bukti kehadiran pengarang Indonesia di dunia internasional.

Terbitnya buku-buku naskah asli dalam negeri memang kait-mengait. Selain perkembangan ilmu-ilmu sosial Indonesia dikritik belum menghasilkan grand theories, kecilnya minat baca juga menjadi kendala. Tetapi bukan tidak mungkin dengan banyaknya judul buku yang terbit belakangan ini, diperoleh sejumlah buku yang pantas dipanggungkan di luar.

Penerbitan buku di Indonesia masih perlu berjalan jauh. Buku yang mempersatukan, tema pameran itu, memang amat relevan, Keadaan tercerai-berai —bukan hanya secara pembidangan ilmu, minat, dan ketertinggalan— bisa dipersatukan lewat buku. Sayang kita harus bertanya, kapankah Indonesia bukan hanya menjadi penonton dalam Frankfurt Book Fair, dan juga pameran-pameran sejenis yang lain? kapankah Indonesia menjadi peserta, dan aktif ambil bagian dalam berbagai momentum perbukuan internasional? Belajar dari kemajuan —konkretnya dunia buku— tidak ada kata terlambat!

St Sularto
Majalah Mata Baca Vol. 1 /No. 5/ Desember 2002