Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Ayu Utami dan Novel Saman

Ayu Utami
bukan penulis sembarangan. Meski ia masih berusia muda, prestasinya telah menempatkan perempuan kelahiran Bogor, Jawa Barat, 21 November 1968, itu sejajar dengan penulis kawakan sekelas Goenawan Mohamad. Itu berkat novel perdananya, Saman.

Ayu mendapat pujian dari para kritikus sastra, walau banyak juga yang "meragukan" novel yang menyabet penghargaan Roman Terbaik versi Dewan Kesenian Jakarta pada 1998 itu. Di pasar, buku yang juga mendapat penghargaan Prince Claus Award dari Prince Claus Fund pada tahun 2000 itu laku keras.

Saman telah masuk cetakan ke-23, dengan total penjualan lebih dari 80.000 eksemplar. Sampai-sampai sutradara Belanda, Orlow Seunke, meminta Ayu membuat naskah film dari novel tersebut. Tapi bungsu dari lima bersaudara pasangan Johanes Hadi Sutaryo dan Bernadeta Suhartinah itu menolak, dengan alasan lebih suka membuat naskah baru sama sekali.

Menulis novel, bagi Ayu, bukan sekadar menuangkan kreativitas imajinatif dalam tulisan. Pendalaman terhadap karakter yang ditulis sangat penting. "Itu akan membuat tulisan kita terasa hidup," ujar perempuan bernama lengkap Justina Ayu Utami itu.

Meski tak sempat melakoni karakter pastor ketika menulis Saman, untuk penulisan novel berikutnya, Jalur Tigabelas, mantan wartawan majalah Matra dan D&R ini ikut berlatih panjat tebing, sebagaimana tokoh utama dalam novel tersebut. "Kebetulan, untuk novel baru ini saya cukup punya banyak waktu dan uang. Tidak seperti ketika menulis Saman atau Larung," ujarnya.

Menurut Ayu, kemampuan menulisnya merupakan bakat, khususnya dari ayahnya. Dua adik perempuan ayahnya juga penulis buku cerita anak-anak. Bakat itu berkembang dari kegemarannya berkhayal sebelum tidur, yang biasa dilakukan Ayu bersama kakaknya, sampai sekarang.

Namun Ayu mengakui, kemampuannya menulis tak sehebat kemampuannya menggambar. Goresan tangannya bisa dilihat dalam sampul novel Atas Nama Malam karya Seno Gumira. Ayu bercita-cita mengembangkan bakat melukisnya di masa datang.

Ayu dibesarkan dalam keluarga yang cukup konservatif. Ayahnya, yang berprofesi sebagai jaksa, sempat menolak keinginan Ayu untuk mengembangkan diri dalam dunia seni dan menjadi wartawan. Bahkan, ayahnya sempat mengusir Ayu dari rumah ketika ia nyambi bekerja di majalah Forum selama kuliah di Fakultas Sastra Rusia Universitas Indonesia. "Beliau tipikal birokrat Ode Baru yang memandang kerja kantoran lebih menjanjikan," kata penulis Parasilajang, kumpulan esai yang menerangkan 10 plus 1 alasan ia tak mau menikah itu.

Keinginan sang ayah tadi sempat diikuti Ayu. Ia bekerja sebagai sekretaris di sebuah perusahaan pemasok senjata. Lalu menjadi pegawai Hotel Arya Duta. "Namun semua gagal. Saya merasa tidak cocok dengan pekerjaan macam itu," ujar penggemar suara Freddy Mercury, vokalis grup band Queen, itu.

Bekerja sebagai wartawan, menurut Ayu, lebih nyaman dan menyenangkan. "Inilah dunia saya," kata peneliti di Institut Studi Arus Informasi itu. Melihat kenyataan itu, sikap ayahnya pun melunak. Apalagi setelah Ayu berhasil meyakinkan orangtuanya dengan sukses yang diraihnya bersama Saman.

Carry Nadeak & Henrdri Firzani
Majalah Gatra edisi 22 / X / 17 April 2004