Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Strategi Memasarkan Karya Fiksi Islami

Seluruh hidup Dinda diabdikan untuk keluarganya. Gadis yang hanya lulus sekolah dasar ini kehilangan masa remajanya. Siang malam ia harus membanting tulang menafkahi keluarganya. Ia pun pernah menjadi pengamen. Sedangkan ayahnya tak mau lagi bekerja, hanya mabuk-mabukan dan main judi. Kemiskinan yang menderanya hampir menjerumuskannya menjadi pelacur.

Tapi, ia lulus dari godaan itu. Setelah itu, Dinda pun sadar untuk memakai jilbab. Demikianlah sepenggal cerita yang ditulis Asma Nadia dalam novelnya, Serenade Biru Dinda. Novel yang disebut "fiksi remaja Islam" ini diterbitkan Penerbit Mizan, Bandung, Jawa Barat. Hingga kini, buku tersebut sudah mengalami enam kali cetak, dengan total penjualan lebih dari 15.000 eksemplar.

"Respons remaja sangat bagus," kata Ali Muakhir, penanggung jawab novel remaja Islam di Penerbit Mizan. Melihat peluang ini, sejak 2000 Mizan rajin menerbitkan fiksi remaja Islam, misalnya Bayangan Bidadari karya Nurul F. Huda, Bisikan dari Langit karya Galank Lufityanto, dan Kidung Kupu-kupu Putih karya El-Syifa. Jumlahnya mencapai 16 judul. "Semuanya sudah mengalami cetak ulang," kata Ali.

Tak aneh bila untuk tahun 2002, Mizan menargetkan 12 judul. Meningkat dari tahun lalu, yang hanya delapan judul. Selain Mizan, sejumlah penerbit lain juga tak mau ketinggalan, antara lain Asy-Syaamil Cipta Media, Era Intermedia, dan FBA Press. "Prospek fiksi Islam akan bertambah bagus," kata Eka Wardhana, Manajer Penerbitan Asy-Syaamil.

Menurut dia, dakwah di kampus dan sekolah tetap makin marak. Gelombang aktivitas mahasiswa dan siswa Islam yang bermula pada 1990-an masih berkesinambungan. Mereka haus akan wawasan dan pengetahuan Islam. Tapi, buku-buku Islam non-fiksi, seperti syariah dan akidah, lebih mendominasi. Padahal, menurut Eka, mereka juga membutuhkan sentuhan dakwah melalui fiksi.

Karena itu, Asy-Syaamil, yang berdiri pada 1999, lebih mengkhususkan diri pada penerbitan fiksi. Hingga kini, sudah 44 judul diterbitkannya. Novel pertama adalah Pingkan: Sehangat Mentari Musim Semi karya Muthmainnah. "Novel ini sudah terjual lebih dari 20.000 eksemplar," kata Eka. Sebenarnya, dakwah melalui fiksi ini sudah dirintis An-Nida, majalah khusus remaja, pada 1992.

Fiksi remaja seperti cerita pendek dan cerita bersambung merupakan rubrik utama majalah ini. Kala itu, menurut Muhammad Ilyus, Redaktur Pelaksana An-Nida, sambutan pembaca remaja sangat bagus. "Tiras majalah dwimingguan ini bisa mencapai 50.000 eksemplar lebih," katanya. Sejak itu pula, minat penulis fiksi Islam tersalurkan.

Terbentuklah organisasi penulis Islam, Forum Lingkar Pena, pada 22 Februari 1997. "Ini merupakan organisasi kaderisasi penulis," kata Helvy Tiana Rosa, 32 tahun, Ketua Umum Forum. Awalnya, organisasi ini hanya punya 50 anggota. Tapi, kini sudah 3.500 orang, tersebar di hampir seluruh provinsi. Organisasi ini juga menjaring para wartawan dan peneliti.

"Mereka punya misi yang sama membangun kesadaran keislaman," kata sarjana sastra dari Universitas Indonesia itu. Tapi, mereka belum seluruhnya menjadi penulis. Menurut Helvy, hanya 500 yang dianggap penulis. Sisanya, para pelajar dan mahasiswa yang sedang belajar menjadi penulis. Di antara mereka ada yang sudah mendapat penghargaan, baik di daerah maupun nasional. Hingga kini, ada sekitar 100 karya sastra mereka yang sudah diterbitkan.

Besarnya minat masyarakat pada fiksi Islam, menurut pengamat sastra Sapardi Djoko Damono, bukanlah hal baru. Sebelumnya, buku-buku tentang Islam lebih dulu berkembang pesat. Ditambah lagi, minat masyarakat umum terhadap sastra mulai meningkat. "Apalagi, karya-karya itu sudah punya pangsa pasar sendiri," kata guru besar sastra Universitas Indonesia itu.

Toh, Sapardi tak sepakat memilah-milah keberadaan sastra Islam. Sebab, definisinya menjadi tak jelas, apakah karena penulisnya orang Islam, ataukah isi tulisannya harus bersifat dakwah. "Label Islam hanya sebagai strategi pemasaran," katanya. Walau demikian, menurut Sapardi, sebuah karya sastra bisa dianggap sebagai dakwah karena ia menunjukkan ideologi penulisnya.

Tapi, karya itu bisa berubah menjadi "pamflet atau propaganda", jika lebih mementingkan dakwah daripada nilai sastra. Sebab, menurut dia, penulis sastra yang berkualitas tak boleh menunjukkan emosi pribadinya dalam karyanya. Selain itu, komposisi kata dan penguasaan bahasa masih menjadi masalah dalam karya-karya penulis muda itu. Tentu saja ini agenda yang tak boleh dilupakan oleh Forum Lingkar Pena, yang mengaku sebagai organisasi kader penulis ini.

Kholis Bahtiar Bakri, dan Ida Farida (Bandung)
Majalah Gatra edisi 30 / VIII / 15 Juni 2002