Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Buku-buku Tan Malaka

Dalam keadaan sebal, Tan Malaka selalu memilih menulis. Misalnya ketika mendengar keputusan pemuka Partai Komunis Indonesia (PKI) untuk melakukan pemberontakan pada 1926. Tan Malaka menganggap keputusan ini gegabah. Ia lalu menulis dua risalah, yang di kemudian hari dipandang sangat penting. Masing-masing adalah Naar de Republiek Indonesia (Menuju Republik Indonesia) tahun 1925, dan Massa-Actie (Aksi Massa) tahun 1926.

Dalam tulisannya itu, Tan Malaka mengungkapkan argumennya bahwa selama ini ada kepercayaan bak impian seorang yang sedang demam, bahwa kemerdekaan akan tercapai lewat anarkisme semata. Membuat gerakan anarkis di negeri seperti Indonesia, tempat kapital dilindungi oleh militer dan mata-mata Barat modern, sementara rakyatnya masih mempercayai hal-hal yang gaib, sama artinya dengan bermain api.

Tan Malaka tak ingin menempuh cara itu. Ia menawarkan sebuah aksi massa yang terencana dan tersusun secara bertahap, untuk mewujudkan revolusi menuju negara Indonesia. Tan Malaka memang menginginkan kaum proletar menjadi pemimpin revolusi, tetapi baginya syarat bagi sukses revolusi itu tetaplah dukungan massa yang kuat.

Jikapun kemerdekaan Indonesia tercapai lewat revolusi, Tan Malaka melihat bahwa kerja sama antara kaum proletar dan bukan proletar tetap merupakan syarat mutlak yang harus dipertahankan. Bila kerja sama antargolongan ini sampai terputus, ia memperkirakan lahirnya suasana yang menuju pada perbudakan nasional, penjajahan bangsa sendiri oleh satu golongan yang berkuasa.

Maka revolusi Indonesia, bagi Tan Malaka, haruslah bermata dua: ke luar untuk menghapuskan imperialisme, sementara ke dalam harus membabat feodalisme yang membelenggu. Ketekunan Tan Malaka menulis membuat dia tercatat sebagai satu dari sedikit saja tokoh dalam sejarah Indonesia yang gagasannya bisa dilacak dari karya tulis yang ditinggalkannya.

Sampai saat ini, tercatat tidak kurang dari 27 buku yang ia tinggalkan. Belum lagi ratusan artikel surat kabar dan puluhan pamflet, baik dalam bahasa Belanda maupun Indonesia. Sewaktu pulang dari perantauannya, menjelang dimulainya revolusi kemerdekaan, Tan Malaka memilih tak segera bergabung dalam barisan perjuangan.

Ia lebih ingin menulis "pusaka bertuah" yang akan diwariskannya kepada bangsanya. Maka lahirlah Madilog, alias Materialisme, Dialektika, dan Logika. Hebatnya, Tan Malaka menulis karyanya ini dalam keadaan sangat sulit. Belum berani hidup menggunakan nama aslinya, Tan Malaka menulis Madilog dalam kemiskinan luar biasa di sebuah gubuk bambu di pinggiran kota Jakarta.

Tapi banyak pengamat menilai Madilog sebagai karya Tan Malaka yang paling orisinal, berbobot, dan brilyan. Sebab, selain menganalisis nasib buruk bangsanya, Tan Malaka juga mencari jalan keluar dari nasib buruk itu. Lewat tulisan- tulisannya, Tan Malaka memiliki bakat untuk mempengaruhi banyak orang.

Setelah Sutan Sjahrir menerbitkan Perjuangan Kita, risalah yang memuat ide tentang revolusi demokratis, pada November 1945, Tan Malaka langsung menyambutnya dengan menerbitkan brosur Muslihat Politik dan Rencana Ekonomi, sebagai antitesisnya. Sjahrir mengemukakan pentingnya arti demokrasi untuk melawan kecenderungan fasisme yang masih membekas, terutama di kalangan pemuda, akibat pengaruh pendudukan Jepang.

Sjahrir tak menginginkan semangat revolusi meluap menjadi terorisme tak bertanggung jawab terhadap orang Belanda, Indo, dan kelompok minoritas yang dianggap pro-Belanda seperti Cina, Ambon, dan Manado. Sjahrir melihat kedudukan Indonesia sangat lemah, dan berada di daerah pengaruh kekuatan kapitalis Amerika Serikat dan Inggris.

Bagi Sjahrir, sangat bijaksanalah jika negara muda yang masih rapuh ini melakukan diplomasi yang lihai dan fleksibel, agar Amerika dan Inggris tak terundang untuk mendukung penuh Belanda. Sikap ini mensyaratkan beberapa hal. Antara lain kebijakan politik yang liberal terhadap modal asing, penghentian kekerasan oleh para pemuda, dan pendirian lembaga- lembaga politik yang dapat diterima Barat.

Pandangan ini jelas bertolak belakang dengan visi Tan Malaka tentang revolusi Indonesia, yang mengikis habis semua sisa kebudayaan lama. Maka dalam Muslihat, Tan Malaka menawarkan strategi dasar revolusi total. Taktik revolusi jangka panjang ini kemudian dituangkannya sebagai gerilya politik dan ekonomi, atau lebih dikenal dengan sebutan Gerpolek.

Gagasan Tan Malaka ini segera mendapat sambutan. Banyak kalangan pemuda mulai melihat Tan Malaka sebagai alternatif baru dalam revolusi Indonesia. Lahirlah Persatuan Perjuangan, yang berhasil menghimpun 141 organisasi politik pada awal 1946. Di dalamnya ikut bergabung Masyumi dan Partai Nasional Indonesia (PNI).

Malah Jenderal Sudirman, yang mewakili Tentara Keamanan Rakyat (TKR), menjadi satu dari 11 anggota subkomite yang bertugas menyempurnakan organisasi itu. Pendeknya, ide Tan Malaka tentang "Merdeka Seratus Persen" diterima oleh hampir semua orang. Tetapi, belakangan Tan Malaka terpaksa menyaksikan kenyataan pahit bahwa kekuatan ide saja tidaklah cukup.

Kegetolannya mengusik Sjahrir menyebabkan Tan Malaka akhirnya dijebloskan ke penjara, dan baru bebas menjelang pemberontakan PKI di Madiun, September 1948. Kemudian, Tan Malaka sempat mendirikan Partai Murba, tapi partai ini tak pernah memperoleh dukungan luar biasa. Akhirnya, Tan Malaka kembali berkelana, dan diduga mati terbunuh di Kediri, Jawa Timur, pada 19 Februari 1946.

Tapi, kematian itu masih diperdebatkan, dan jadi misteri hingga kini. Cuma, tak seperti hidupnya yang penuh rahasia, pikiran- pikiran Tan Malaka adalah buku terbuka yang tersebar luas dan mengundang pujian banyak orang. Bung Karno, misalnya, pernah menyebut Tan Malaka sebagai "Pencinta sejati Republik Indonesia".

Sementara Muhammad Yamin malah tak ragu membandingkan Tan Malaka dengan Thomas Jefferson, atau George Washington, yang menggagas Republik Amerika Serikat sebelum kemerdekaan negeri itu. Sebab, menurut Yamin, Tan Malaka telah menggagas strategi dan metode perjuangan mendirikan sebuah Republik Indonesia, 20 tahun sebelum kemerdekaan Indonesia diproklamasikan.

Tan Malaka memang tak pernah merebut kekuasaan politik. Tetapi, gagasannya seolah hantu yang mempengaruhi hidup banyak orang. Bahkan kini, buku-bukunya banyak dipasarkan oleh berbagai penerbit di Indonesia, dan laku keras. Madilog telah diterbitkan ulang. Massa-aksi malah diterbitkan berbarengan oleh penerbit yang berbeda. Gagasan politik Tan Malaka, tampaknya, masih akan terus bergema. Ini mengingatkan kita pada kata-kata Tan Malaka sendiri, di hadapan polisi Inggris di Hong Kong, 1932: "Ingatlah! Bahwa dari dalam kubur, suara saya akan lebih keras daripada dari atas bumi."

Majalah Gatra edisi 29 Mei 2000