Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sejarah Bukan Tradisi, Mitos, atau Ideologi

Wawasan sejarah yang kita gunakan sampai sekarang, terutama untuk buku-buku sejarah di sekolah-sekolah, adalah wawasan yang kita warisi dari masa pergerakan nasional sebelum Republik Indonesia ini ada (1908-1945). Ketika itu, sejarah merupakan suatu alat yang ampuh dalam tangan para eksponen pergerakan untuk membina solidaritas bangsa dalam upaya melawan penjajahan.

Dari segi ilmu sejarah, wawasan sejarah dari masa pergerakan itu tidak bisa dikatakan sebagai sejarah dalam arti sebenarnya. Wawasan sejarah dari masa itu lebih tepat sebagai ideologi atau mitos, bukan kenyataan. Kalau kita perhatikan wawasan sejarah tersebut, maka ciri pertama adalah apa yang dalam ilmu sejarah dinamakan "kontinuitas". Dengan cara menyeleksi dan menata fakta dan data sedemikian rupa, ditampilkan suatu gambaran seolah-olah ada suatu benang yang berkesinambungan dari masa lampau hingga masa kini. Seolah-olah hendak dikemukakan bahwa bangsa Indonesia sekarang ini sudah tercipta dan berwujud sejak masa lampau, baik di zaman Sriwijaya (abad ke-7 hingga ke-14) maupun di zaman Majapahit (abad ke-14 hingga ke-16).

Wawasan sejarah itu merupakan mitos karena tidak didasarkan pada kenyataan. Pertama-tama harus dikatakan bahwa wawasan tersebut dirumuskan berdasarkan fakta-fakta yang terkandung dalam buku-buku sejarah kolonial, seperti yang ditulis Dr. F.W. Stapel untuk keperluan berbagai tingkatan sekolah-sekolah Belanda ketika itu.

Dalam pandangan seorang dosen Fakultas Sastra Universitas Indonesia pada 1960-an, yaitu Drs. Mohammad Ali (almarhum), apa yang dilakukan dalam buku-buku sejarah Indonesia itu sekadar "menjungkirbalikkan" apa yang terdapat dalam buku-buku kolonial. Kalau dalam buku-buku sejarah kolonial itu seseorang diberi predikat "perusuh", "ancaman bagi ketenteraman umum", maka dalam buku-buku sejarah Indonesia tokoh yang sama diberi predikat pahlawan bangsa. Namun, alur ceritanya, bahkan kadang-kadang sebab-musababnya pun, masih mengikuti apa yang tercantum dalam buku-buku sejarah kolonial tersebut.

Wawasan sejarah itu menyalahi teori sejarah karena sesungguhnya bersifat ideologi. Penampilan fakta-fakta yang diambil dari buku-buku sejarah itu bukan interpretasi ilmiah, melainkan bagian dari ideologi. Yakni, gambaran fiktif bahwa telah lama terbentuk suatu bangsa yang bersatu padu dan yang sekarang dinamakan bangsa Indonesia.

Pandangan seperti itu dapat dibenarkan dalam masa pergerakan. Dalam situasi yang penuh ketidakpastian seperti di masa pergerakan itu, upaya memberikan kepastian adalah tindakan terpuji. Untuk itulah, para eksponen bangsa menggunakan sejarah, dengan cara menunjukkan adanya kepastian di masa lalu, yang bisa memberikan ilham untuk menanggung ketidakpastian zaman dan menyongsong masa depan yang serba tak pasti pula. Wawasan sejarah itu dikenal umum melalui rumusan Bung Karno yang dikemukakannya dalam pidato pembelaan pada 1930-an, yang berjudul Indonesia Menggugat. Di sini tampak bahwa sejarah adalah suatu kontinuitas, kesinambungan, dan dengan demikian sejarah adalah mitos, sejarah adalah ideologi, sejarah adalah alat politik.

Sekalipun wawasan sejarah yang dikemukakan di atas dapat dibenarkan untuk masa pergerakan kemerdekaan, dalam masa kini mengandung dua kelemahan utama. Kelemahan pertama adalah gambaran yang mengingkari kemajemukan dalam masyarakat kita, baik kemajemukan budaya, agama, maupun ras. Wawasan sejarah yang dipaksakan, mulai di bangku sekolah hingga dalam kehidupan politik yang membangkitkan chauvinisme etnik, budaya, dan ras, yang menjadi salah satu sumber konflik sosial yang berkepanjangan sekarang.

Kelemahan kedua, dalam wawasan sejarah tersebut peran aktif manusia rasional dan emosional sebagai pembuat sejarah sama sekali dihilangkan. Peristiwa-peristiwa sejarah yang berkesinambungan itu seolah-olah ditentukan oleh kekuatan-kekuatan nonmanusiawi, seperti ekonomi dan geografi.

Diabadikannya wawasan sejarah yang mematikan inisiatif manusia oleh pihak resmi sekarang, dalam bentuk buku-buku sejarah untuk keperluan sekolah, dengan sendirinya memberikan gambaran diri yang kaku kepada para pemuda masa kini. Gambaran sejarah yang menampilkan Indonesia sebagai kesatuan yang monolitik itu diharapkan menjadi prinsip bagi para pemuda Indonesia untuk berinteraksi dengan lingkungannya. Padahal, lingkungan budaya Indonesia bersifat multikultural. Dengan demikian, pelajaran sejarah menjadi tidak sejalan dengan pengalaman sehari-hari yang pluralistik itu.

Karena itu, salah satu tugas berat yang harus ditanggulangi dalam masa reformasi ini adalah menulis kembali sejarah Indonesia untuk keperluan pendidikan umum. Penulisan kembali itu harus dilandasi teori sejarah yang benar. Teori sejarah yang benar -yang diabaikan kalangan umum di Indonesia- adalah pandangan bahwa sejarah bukanlah merupakan tradisi, mitos, atau ideologi. Melainkan, sejarah adalah hasil perbuatan manusia dengan segala kekurangannya. Intervensi manusialah yang memungkinkan terjadinya perkembangan sejarah atau perubahan dari masa ke masa.

R.Z. Leirissa, Guru besar sejarah Universitas Indonesia
Majalah Gatra edisi 15 / VII, 3 Maret 2001