Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Sastrawan Angkatan 2000, Sebuah Kemajuan atau Kemunduran?

Pada mulanya adalah cemas. Kok, nama para sastrawan mutakhir seperti Afrizal Malna, atawa Seno Gumira Ajidarma, tak pernah mampir di ruang-ruang kelas sekolah Indonesia. Maka bertindaklah Ketua Masyarakat Sastra Jakarta, Korrie Layun Rampan, mengumumkan lahirnya "angkatan baru" dalam sastra Indonesia: Angkatan 2000.

"Mereka tak masuk kurikulum karena tak punya angkatan," kata Korrie, 47 tahun. Tak kurang dari 150 sastrawan ditahbiskan Korrie sebagai pendukung angkatan kiwari ini. Karya-karya mereka lalu dirangkum di dalam antologi Angkatan 2000 dalam Sastra Indonesia, yang dibagi dalam dua jilid. Jilid pertama diluncurkan di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, Jakarta, Sabtu dua pekan lalu.

Buku setebal 782 halaman ini, yang dijual dengan harga Rp 60.000, diterbitkan oleh Grassindo, Jakarta. "Kami menganggap buku ini penting, jadi kami dukung," kata Masri Sareb Putra, Kepala Bidang Referensi Grassindo, kepada Dipo Handoko dari Gatra. Untuk menerbitkan Angkatan 2000, Grassindo mendapatkan subsidi dari Ford Foundation dan Yayasan Adikarya Ikapi. Tanpa subsidi, kata Masri, harga jualnya bisa dua kali lebih mahal.

Korrie menggarap Angkatan 2000 sejak l990. Ia "memulung" karya-karya itu dari koran, majalah, dan jurnal. Lalu dipilah dan dianalisis. Tak hanya puisi dan cerpen, Korrie juga memberikan tempat pada esai sastra. "Saya lalu menemukan estetika seni yang berbeda dengan angkatan sebelumnya," katanya. Angkatan ini, menurut Korrie, punya gaya pengungkapan yang sama: terus terang, lebih berani, tidak konvensional, menembus batas bangsa dan negara.

Penyair Afrizal Malna, dan prosais Seno Gumira Ajidarma serta Ayu Utami, oleh Korrie, ditempatkan sebagai pemimpin literer Angkatan 2000. Banggakah mereka? "Saya tidak peduli," kata Seno, 42 tahun. Tiga cerpennya, Sepotong Senja untuk Pacarku, Telepon dari Aceh, dan Keindonesiaan, dipajang dalam Angkatan.

Akan halnya Afrizal Malna, penyair, esais, dan penulis teater ini malah mengaku tak tertarik dengan kategorisasi ala Korrie itu. "Lagi pula, saya lebih banyak berkarya pada 1980-an," tutur Afrizal, 43 tahun, yang 17 puisinya dimuat Angkatan. Dia mempertanyakan alasan pemilihan nama yang masuk antologi itu. "Saya kira, Korrie hanya melakukan identifikasi saja," Afrizal menambahkan.

Kalaupun harus ada kategorisasi untuk kepentingan pelajaran sekolah, menurut Seno Gumira Ajidarma, sepatutnya bukan sastrawan yang melakukan. "Biarlah orang di luar sastra yang melakukannya," kata Seno. Korrie Layun Rampan, penyusun Angkatan, memang boleh dibilang "orang dalam". Beberapa novelnya, misalnya Upacara (1976) dan Api Awan Asap (1999), memperoleh penghargaaan Dewan Kesenian Jakarta.

Buat Afrizal Malna, pengategorian Angkatan 2000 itu lebih sebagai kemunduran. "Kritik sastra Indonesia tidak berkembang," kata Afrizal. "Penamaan angkatan itu sangat bernuansa militeristik. Dunia sastra seharusnya tidak ikut-ikutan," ia menambahkan. Dalam perjalanan sastra Indonesia, persoalan angkatan memang bukan barang baru.

Topik ini malah selalu memancing perdebatan yang tak pernah selesai. Angkatan 66, yang diproklamasikan H.B. Jassin (almarhum), misalnya, sempat didebat penyair Sutardji Calzoum Bachri dan Abdul Hadi WM. Bagi mereka, Angkatan 66 itu tak ada. Alasannya, warnanya masih senapas dengan periode sebelumnya, Angkatan 45.

Perbedaan estetika, menurut mereka, baru muncul pada karya-karya 1970-an. Sutardji dan Abdul Hadi lalu mengibarkan "Angkatan 1970". Tapi, gagasan ini tak bergaung. Namun, bagaimanapun, Korrie patut juga dipuji. Ketekunannya mendokumentasikan karya-karya sastra itu, siapa tahu, bisa melanjutkan jejak H.B. Jassin, "penjaga taman sastra Indonesia" itu. "Buku ini bagus," kata sastrawan Radhar Panca Dahana. "Ia jadi dokumentasi karya para sastrawan dan penyair yang sangat berguna."

Hidayat Tantan, Rita Triana Budiarti, Taufik Abriansyah
Majalah Gatra, 20 November 2000