Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil P.K. Ojong: Pendiri Kompas Gramedia Grup

Inilah kisah seorang wartawan dan juga pengusaha sukses bertangan dingin, gemar melayani dan selalu bersikap tegas. Buku tentang kehidupan Petrus Kanisius Ojong, yang terlahir sebagai Auw Jong Peng Koen, 81 tahun lalu, di Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia menjadi semacam suri tauladan tentang bagaimana seorang pemimpin seharusnya berperilaku. Hidup sederhana, rendah hati, dan tidak minta diistimewakan.

Bermula dari kegemaran akan tulis-menulis, Ojong kemudian terdorong menjadi wartawan. Pada pertengahan 1940-an, ia menjadi anggota redaksi harian Keng Po dan mingguan Star Weekly -keduanya di Jakarta. Dia memilih profesi wartawan, bukan pengacara, meski bergelar sarjana hukum. Kolom "Timbangan" di Star Weekly, kemudian "Kompasiana" di harian Kompas, adalah goresan pena Ojong, yang kritik-kritiknya tentang fakta-fakta sosial cukup tajam.

Semasa di Star Weekly, Ojong rajin membimbing para wartawan muda. Bagaimana menulis lead yang baik, membuat judul dan subjudul karangan, dan sebagainya. Siswadi (mendiang), yang menjadi wartawan Star Weekly selama lima tahun, menulis kenangan tentang Ojong: "Meskipun dia pemimpin redaksi, tempatnya di kantor tidak diistimewakan. Mejanya selalu penuh dengan tumpukan kertas dan buku. Tulisan-tulisan saya langsung diperiksa dan dikoreksi olehnya. Naskah saya jadi penuh coretan merah."

Vera Indrasuwita, yang waktu itu menjadi sekretaris redaksi di mingguan tersebut, bercerita bahwa kalau Ojong di kantor, ia selalu serius dan sibuk menulis. Setiap kali Ojong selesai menulis dan masih mempunyai waktu, "Ia selalu mengambil beberapa surat dari meja saya untuk diketik sendiri," tulis Vera. Ojong tidak senang melihat orang menganggur.

Mendiang juga orang yang selalu tepat waktu. Swantoro, yang kemudian pernah jadi orang kedua Kompas, pernah kena damprat Ojong hanya karena terlambat lima menit. Waktu itu, harian Kompas masih dicetak di PT Kinta bersama koran-koran lain yang antre untuk dicetak. Setelah mendirikan majalah bulanan Intisari (1963) dan harian Kompas (1965) bersama Jakob Oetama, dan beberapa yang lain, Ojong makin aktif dalam pelayanan masyarakat.

Untuk menyebut beberapa, misalnya menjadi bendahara di Yayasan Indonesia yang menerbitkan majalah sastra Horison, dan Lingkaran Seni Jakarta. Ketika Kompas makin berkembang, Ojong menjabat Direktur PT Penanaman Modal Dalam Negeri Gramedia (1970). Jabatan terakhir ini sukses dan Kompas-Gramedia makin berkembang.

Majalah Bola, Bobo, Midi, Hai, meski beberapa dari majalah-majalah tersebut rontok dengan sendirinya. Karena bertentangan dengan konsep perusahaan harus bergandengan antara idealisme dan laba. Kemudian ada toko buku, percetakan, penerbitan, hotel, media elektronik (radio), dan terakhir sedang disiapkan stasiun televisi.

Karena pengalaman bahwa pihak penguasa menunjukkan kekuasaannya melalui pembredelan, Ojong juga memikirkan nasib dan jaminan hidup bagi pegawai (dan keluarganya), termasuk masa pensiun. Karena itu, kalau misalnya harian Kompas diberangus, masih ada perusahaan jenis lain yang menghidupi sekian ribu mulut.

Falsafah Kelompok Kompas-Gramedia juga menekankan bahwa kedudukan karyawan ditentukan oleh prestasinya, bukan oleh statusnya. KKN jelas-jelas dilarang. Demikian pula campur tangan istri karyawan, termasuk istri pimpinan, tak mempunyai wewenang apa-apa. Sejarah media massa di Indonesia menunjukkan, belum ada media massa yang selanggeng The New York Times, atau The Washington Post, koran kenamaan di Amerika yang usianya sampai 100 tahun.

Nasib media di republik ini memang lemah. Kalau tidak diberangus, ya dia mati dengan sendirinya karena kehabisan modal. Kompas telah memasuki generasi kedua. Dengan mulus, tongkat estafet dari Jakob Oetama telah diberikan kepada Suryopratomo, alias Tommy. Hingga saat ini, tak terdengar adanya riak perpecahan dalam urusan suksesi ini. Dan rasanya, kiat ini perlu disimak oleh media massa lain di Indonesia, terutama mereka yang mempunyai saham.

Toeti Kakiailatu
Majalah Gatra edisi  46 / VII / 6 Oktober 2001