Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil Penerbit Yayasan Obor Indonesia

Dari Paceklik Buku ke Pencerahan Bangsa
Bermula dari laporan UNESCO pada tahun 1973: terjadi starvation book di Indonesia. Kondisi “mati kelaparan” alias paceklik buku. Sinyalemennya mengatakan, Indonesia belum menerbitkan satu judul buku pun! Maka beberapa cendekiawan seperti Mochtar Lubis, Soedjatmoko, PK Ojong, H. Bachtiar, dan Taufik Abdullah lalu berkumpul dengan membawa semangat yang sama: menerbitkan buku. Waktu itu wadah mereka hanya sebuah perkumpulan saja, belum resmi berupa yayasan. Tanpa memikirkan aspek komersialnya, mereka lalu berinisiatif menulis, menerjemahkan, dan kemudian menerbitkan buku yang dianggap penting untuk dibaca masyarakat. Buku pertama karya perkumpulan kaum cendekiawan ini berjudul Hanya Satu Bumi, sebuah karya terjemahan dari penulis asal Amerika Serikat, Barbara Word. Buku ini dicetak sebanyak lima ribu eksemplar di Percetakan Gramedia dengan dana dan perkumpulan ini. Buku mengenai lingkungan hidup ini ternyata mendapat respons positif di masyarakat.

Maka lima tahun kemudian, persisnya pada tanggal 12 Juli 1978, didirikan Yayasan Obor dengan Mochtar Lubis sebagai ketua. Sejumlah naskah vang sudah menumpuk mulai disiapkan. Namun, baru lima tahun kemudian buku pertama Yayasan ini terbit, sekaligus dalam dua jilid, berjudul Teknologi dan Dampak Kebudayaan, terjemahan Y.B. Mangunwijaya. Dicetak sebanyak enam ribu eksemplar. Sejak itu roda kegiatan Yayasan ini terus berputar.

Obor, sebagaimana disampaikan Kartini Nurdin, General Manager Penerbit Yayasan Obor Indonesia (YOI), bergerak untuk memberikan pencerahan di bidang kultural dan pengembangan intelektual melalui penerbitan buku-buku ‘pendidikan’ yang mereka mulai dari menerbitkan karya-karya terjemahan dari berbagai bahasa ke dalam bahasa Indonesia. Kerja penerjemahan atau saduran itu diserahkan ke suatu badan editorial luar negeri khusus vangditugaskan sebagai dewan seleksi. Salah satu titik perhatian mereka adalah menerbitkan buku-buku di bidang kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Yang unik, Yayasan Obor memulai usahanya justru dengan membantu penerbit-penerbit lokal, misalnya dengan menyebarluaskan penerbitan buku yang membicarakan kunci permasalahan komunitas. Buku-buku semacam itu dimaksud sebagai sarana mewujudkan manusia intelektual Indonesia yang terpilih. Ada banyak buku asing yang cukup penting kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, dengan penerjemahan yang serius dan diberi pengantar oleh para ahli yang berkompeten. Juga, buku-buku karva asli penulis Indonesia bcrkualitas. Buku-buku ini disasar untuk masyarakat pembaca akademik atau universitas. Sebab masyarakat seperti inilah yang dianggap akan menjadi ujung tombak dan memberi pengaruh besar bagi program-program Obor.

Sebagaimana ritme umum suatu penerbitan, mereka kemudian mendistribusikan buku-buku ini ke seluruh pelosok Indonesia, Hanya bedanya, Obor juga memberikan subsidi harga ke pembaca sehingga buku-buku terbitannya terjangkau oleh kaum pelajar, mahasiswa, dan pembaca umum lainnya. Ini dimungkinkan oleh subsidi silang atas usaha Obor lain yang bersifat jasa, yakni membantu organisasi tertentu menyebarluaskan hasil riset mereka dalam bentuk buku. Tercatat ada banyak organisasi asing yang pernah bekerja sama dengan Yayasan ini. Sekadar menyebut nama, misalnya: The Research School of Pacific Studies of Australian National University, The Worldwide Fund for Nature, Volkswagen Foundation, European Cultural Foundation, dan sebagainya.

Sampai sekarang setidaknya sudah ada sekitar 500 judul buku yang ditcrbitkan Yayasan Obor. Dan yang melegakan, ada cukup banvak judul buku yang tergolong laris. Jumlahnya ada sekitar 15 judul. Laris di sini ukurannya adalah setahun habis terjual sebanyak 3.000 eksemplar. Di antara yang laris itu adalah buku-buku sastra seperti Perempuan di Titik Not, Salju di Kilimanjaro, dan yang terbit belum lama ini The God of Small Thing (Arundhati Roy), judul yang terakhir ini sudah habis hanya dalam waktu sekitar tiga buian. Ada juga judul laris yang lain, yaitu buku karya Robert Klittgard, Penuntun Membasmi Korupsi.

“Buku sastra sekarang laris karena kesadaran membaca sastra sudah tinggi dan mungkin masyarakat ingin lebih arif dan juga sadar tak mau ketinggalan dengan negara-negara lain. Misalnya, untuk kasus buku Arundhati Roy ini sebenarnya kan sudah populer sejak dua tahun lalu,” komentar Kartini.

Lalu adakah buku yang seret di pasaran? Menurut Kartini, tak ada buku yang seret. Apalagi karena menurutnya buku-buku yang diterbitkan Yayasan Obor adalah buku-buku pilihan dan ditujukan untuk orang-orang tertentu, yakni para cendekiawan yang jumlahnya memang terbatas. “Mereka ini sebagian adalah orang-orang yang tidak ada waktu mengunjungi toko buku. Sementara itu, di toko buku karena buku tersebut dinilai tidak laris, maka toko buku tidak memesan lagi ke penerbitnya,” jelasnya.

Itulah sebabnya Yayasan Obor berinisiatif mendekatkan diri langsung dengan para pecinta buku Obor, yakni dengan menyelenggarakan pameran sendiri yang sudah dimulai sejak dua tahun ini dengan mengambil tempat di halaman kantor Penerbit Yayasan Obor. Hasilnya ternyata cukup memuaskan.

Apa sebetulnya kendala terpenting kurang berkembangnya dunia penerbitan buku di Indonesia? Menurut Kartini adalah, “Belum disadarinya peran penting buku untuk membangun bangsa. Banyak pajak yang masih terkait pada buku. Kertas mahal, daya beli masih kurang, dan lainnya.”

Karenanya, untuk mengantisipasi kondisi yang kurang mengenakkan ini, Obor sudah beberapa waktu belakangan ini mengubah orientasinya tak lagi idealis semata, namun juga mulai memikirkan segi bisnis. Misalnya, sejak tahun lalu membentuk divisi kecil yang diberi nama Pustaka Populer Obor. Divisi ini hanya akan menerbitkan buku-buku yang berorientasi pasar semata. Misalnya buku kesehatan, buku gaya hidup, atau buku-buku yang sedang dicari dan dibutuhkan oleh pembaca umum. Diharapkan dana yang diperoleh dari divisi ini dapat membantu penerbitan buku-buku idealis yang ditangani Yayasan Obor. Usaha ini sekaligus dimaksudkan untuk memperkecil ketergantungan atau subsidi dari luar. Sebab misi Obor untuk menyebarluaskan buku-buku yang dianggap sangat baik dan perlu dibaca masyarakat harus terus berjalan.

Tahun demi tahun terus berlalu. Seiring dengan itu, dunia penerbitan buku di Indonesia semakin berkembang, Yayasan Obor kini memiliki banyak rekan seiring, sekaligus pesaing, di dunia penerbitan, Yang jelas, ada harapan besar bagi bangsa Indonesia untuk keluar dari kondisi starvation book.

Majalah Mata Baca Vol. 1 No. 1 / Agustus 2002