Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Profil Penerbit Diponegoro Bandung

Meski kondang, Penerbit Diponegoro berusaha untuk tidak mencolok. Ini tercermin dari suasana markas besarnya yang tampak sepi di lantai II sebuah rumah toko (ruko) di Jalan Mohamad Toha 44-46, Bandung. Pintu kaca depannya tertutup rapi. Di halaman depan terlihat barisan motor diparkir rapi. Tak ada tulisan yang menunjukkan bahwa gedung itu sebuah penerbitan.

''Kami memang tak membubuhkan tulisan Diponegoro di gedung ini,'' kata Ramdan W. Irfan, Manajer Bisnis Penerbit Diponegoro. Orang baru tahu setelah memasuki ruko tersebut. Di depan ruang resepsionis berdiri sebuah almari besar, yang pada tiap raknya berisi buku-buku terbitan Diponegoro. Tampak jajaran buku itu didominasi Qur'an berbagai varian dan hadis. Semuanya tersusun rapi.

Di kanan almari besar itu berdiri meja kayu ukuran 1 x 1 meter yang berfungsi sebagai display buku. Beberapa buku best-seller diletakkan di sana. Ada Qur'an ber-cover karung goni. Ada pula Qur'an mini berbaju kulit yang amat praktis dibawa-bawa. ''Qur'an ini lagi tren, sangat laku karena praktis,'' ujar Ramdan, sambil memperlihatkan Quran yang dimaksud.

Selain itu, ada Qur'an plus terjemahan yang juga nge-tren, berukuran 14 x 10 sentimeter. Quran berbaju kulit ini sangat pas untuk para pendakwah yang punya mobilitas tinggi. Ia bisa dimasukkan ke saku baju gamis atau jas. Huruf yang ditawarkan pun tak kecil-kecil amat. Masih bisa dibaca dengan jelas.

Qur'an itu ada juga dalam varian lain. Penerbit Diponegoro menyebutnya Qur'an Nispu Goni. Artinya, Quran bersampulkan goni. Tapi jangan disamakan dengan karung goni. Meski bahannya sama, goni yang menempel di Quran ini sangat baik dan tertata rapi. Kreativitas dalam aspek kemasan itu tak lepas dari upaya penerbit untuk terus mengembangkan keunikan tersendiri.

Salah satu caranya adalah melakukan kerja sama dengan kalangan seniman kota Bandung. Tujuannya, untuk melahirkan produk-produk unik mushaf Al-Qur'an yang dikemas dengan desain, serta menggunakan bahan baku olahan alami, yang punya nilai seni tinggi. Wujudnya, seperti menggunakan bahan dasar kertas daur ulang ataupun bahan karung goni.

Diponegoro juga punya Qur'an laris lainnya, yakni Qur'an mini berukuran 9 x 7 sentimeter. Al-Haq Qur'an ini sangat laku di pasar. "Pembelinya kebanyakan dari kalangan mahasiswa," tutur Ramdan. Quran ini sangat praktis karena mudah dibawa. Bila dimasukkan ke dalam tas pun tak terlalu berat. Karena kepraktisannya itu, Quran tersebut banyak dipakai untuk kegiatan di luar.

Ada juga buku khusus berisi ayat-ayat "larangan" dan "perintah" dalam Qur'an. Buku ini ditulis oleh KH Qomaruddin Shaleh dan kawan-kawan. Buku setebal 939 halaman ini berisi ayat-ayat perintah dan larangan. Ada pula terjemahan dengan contoh akibat yang bisa dialami seseorang bila melanggar larangan atau tidak melakukan perintah-Nya. Buku ini sangat baik untuk para uztad yang ingin berceramah.

Menurut Ramdan, buku-buku terbitan Diponegoro banyak dijadikan referensi oleh kalangan penceramah, pesantren, dan kelompok kajian agama. Bila melihat ke arah itu, memang sudah tepat kiranya cita-cita H. Ali Abdullah Dahlan mendirikan penerbitan ini. Sejak berdiri pada 12 Juli 1963, sebenarnya Diponegoro bisa dibilang sangat berpegang teguh pada pakem.

Penerbit ini tidak menerbitkan sembarang naskah. Naskah yang akan terbit dipilih secara selektif, yakni bertema Islam dan diyakini bisa diserap pasar. Diponegoro tidak asal main cetak untuk sekadar memenuhi angka produksi. Prinsip ini tak lepas dari visi penerbit, yakni menjadi produsen utama buku-buku Islam bermutu yang bisa dinikmati semua usia, gender, golongan sosial-budaya, tingkat pendidikan, dan ragam paham sehingga berperan penting dalam syiar Islam.

Keberadaan penerbit ini memang bukan hanya hasil H. Ali A. Dahlan sendirian. Ia didukung para penulis dari kalangan ulama, seperti KH. Ali Utsman, KH. Qomaruddin Shaleh, KH. Agus Hakim, KH. Isa Anshari, KH. E.Z. Muttaqien, dan Abdul Qadir Hassan.

Begitu hadir, Penerbit Diponegoro langsung bisa merambah dunia perbukuan di Tanah Air. Hal itu terjadi karena tak lepas dari misi pendirian penerbit ini, dan begitu luasnya spektrum buku yang diterbitkan. Beberapa bidang cetak yang digarapnya adalah menerbitkan mushaf Al-Qur'an, buku klasik berbahasa Arab, dan buku berbahasa Indonesia yang bermutu dan mudah dicerna semua usia serta tingkat pendidikan.

Eksistensinya sebagai penerbit Al-Qur'an dikenal masyarakat lewat terbitan Al-Aliyy; Al-Quran terjemahan Indonesia format baru. Sedangkan kitab klasik yang sudah cetak berulang kali adalah Barzanji, Majmu' Syarif, Fat-hurrahman, Subulus Salam, Kutubus Sittah, dan kitab berbahasa Arab lainnya.

Adapun terbitan buku berbahasa Indonesianya berisi berbagai ilmu Islam dari beragam paham yang mewakili sebagian besar masyarakat Indonesia. Buku-buku itu mengangkat tema-tema tauhid, fikih, hadis, tarikh, akhlak, pendidikan Islam, dakwah dan ilmu dakwah, serta tafsir dan ilmu Al-Qur'an. Tak ketinggalan pula buku anak serta buku-buku Islam berbahasa Sunda.

Wujud buku itu berupa referensi, buku panduan, dan cerita bergambar yang mudah dicerna berbagai kelompok masyarakat untuk memahami dan memecahkan masalah kehidupan, baik yang menyangkut ibadah maupun kehidupan aktual.

Buku yang melegenda dan dikenal masyarakat antara lain Asbabun Nuzul, Karakteristik Perihidup 60 Shahabat Rasul, Pengajaran Shalat, dan Tarjamah Bulughul Maram. Penerbit Diponegoro sejak awal sangat dikenal sebagai penerbit yang menyajikan mushaf Al-Qur'an dengan beragam ukuran, cover, dan khat.

Selain itu, kualitas cetak yang dipadu dengan kualitas bahan baku kertas yang prima menjadikan terbitan mushaf Quran dapat menandingi terbitan mushaf Quran dan terjemahnya dari Timur Tengah. Pencapaian Penerbit Diponegoro ini tak bisa lepas dari kehidupan pendirinya, H. Ali Abdullah Dahlan, yang pintar, berani, ulet, bervisi ke depan, dan penuh warna.

Ali A. Dahlan lahir di Tarogong, Garut, Jawa Barat, pada 21 Februari 1927. Dia putra pertama dari lima bersaudara pasangan Hajah Siti Aeni binti Mama H.M. Nur dan H. Abdullah Dahlan. Sejak kecil, ia dididik agama oleh ayahnya yang penganut mazhab Syafiiyah. Setamat SD, Ali A. Dahlan dimasukkan oleh ibunya ke pesantren.

Pemilik pesantren tersebut, Ajengan Abdul Malik, menilai Ali A. Dahlan tidak perlu jadi santri karena sudah menguasai ilmu agama. Ia malah menjadi teman diskusi ajengan. Ketika SMP, ia dijemput guru dan ajengan untuk mengikuti beberapa pertemuan. Ternyata Ali A. Dahlan ditunjuk sebagai utusan Kecamatan Banyuresmi untuk mendirikan Hizbullah.

Ali A. Dahlan dilatih menjadi tentara kemerdekaan dan dilantik dengan pangkat letnan. Ketika Tentara Pelajar berdiri, karena berjuang sambil bersekolah, ia merangkap menjadi anggota. Saat tentara harus hijrah, ibunya tidak setuju karena menginginkan anaknya itu menjadi petani atau guru. Ia pun berhenti dari ketentaraan dengan pangkat terakhir kapten.

Tahun 1950, atas permintaan teman ayahnya, Ali A. Dahlan menjadi guru di Jakarta. Namun, ketika beristirahat di Bandung, yaitu di NV Bahartah, ia ditawari bekerja oleh Bahartah. NV Bahartah adalah agen sarung cap Padi, lalu berubah jadi PT Al-Maarif, Bandung, perusahaan percetakan dan penerbitan yang tetap eksis sampai kini. Karier Ali A. Dahlan melaju hingga menduduki jabatan wakil direktur.

Pada 1962, teman Ali A. Dahlan, seorang Tionghoa, meminta dia mengabil oper kontrak sebuah ruko, dan dibayar dengan vespa. Saking girangnya, orang Tionghoa itu membuatkan izin usaha atas namanya. Karena sudah memiliki izin usaha, ia mengundurkan diri dari Al-Maarif pada 1962. Dengan dukungan moril dari Bahartah, pemilik NV Al-Maarif, pada 1963 Ali A. Dahlan mendirikan penerbit CV Diponegoro. Pemberian nama ini tidak lepas dari kekagumannya pada perjuangan Pangeran Diponegoro.

G.A. Guritno & Sulhan Syafi'i
Majalah Gatra edisi 49 / XII 25 Oktober 2006