Lompat ke konten Lompat ke sidebar Lompat ke footer

Pengalaman Mengunjungi Jepang: Dicari Karya (Asli) Sastra Indonesia

Musim gugur baru dimulai ketika pesawat kami mendarat di Narita. Saya masih bisa nikmati keindahan dedaunan dan pepohonan tua yang saya kira usianya sudah ratusan tahun sekaligus bisa nikmati pula bagaimana proses daun-daun itu —yang warnanya berangsur berubah-ubah menjelang rontok, sampai akhirnya benar-benar jatuh ke tanah, mengubah tanah berwarna menakjubkan. Kami berempat belas. Dari Indonesia selain saya, adalah Kartini Kurdin dari Yayasan Obor Indonesia. Lainnya adalah dari Malaysia, India, Filipina, Thailand dan Australia. Beberapa hari bersama menikmati keindahan Jepang dalam acara “The Japan Foundation Study Tour Program for Publisher Groups" (15-29 November 2002).

Udara yang dingin tak menyurutkan minat kami mengetahui lebih banyak dunia penerbitan di Jepang. Inilah dunia penerbitan di Jepang: penerbit kecil bersaing sehat dengan penerbit besar, distributor bekerja profesional, toko buku melayani penerbit dengan baik, masyarakat menjadi pelahap besar buku-buku yang diterbitkan, selain ada cukup banyak instansi atau lembaga yang mau menyokong penerbitan buku.

Meski sangat menggembirakan, temyata itu masih beda jauh dengan kondisi di masa lampau. Sebagaimana dikatakan seorang pengarang jepang yang juga pengajar dan kritikus, Natsuo Sekikawa. Dia ceritakan, sekitar tahun 1920 buku-buku (sastra) serius terjual dengan cepat. Rata-rata sebanyak satu juta eksemplar. Ada masa di mana situasi sangat mendukung para penulis jepang; tak ada sensor, tak ada tekanan untuk ideologi. Para pengarang bisa mengekspresikan karyanya dengan mudah sehingga banyak penulis bermunculan, sangat memuaskan! Adapun tema-tema karya para pengarang yang muncul saat itu merupakan cermin tentang apa yang diinginkan masyarakat Jepang, yakni perdamaian dunia. Selanjutnya ada pengetatan ketika hanya karya pengarang yang bukunya sungguh-sungguh baik saja yang diterbitkan (1950). Dua puluh tahun kemudian, mulailah “industri” masuk dan seperti hendak melibas penerbitan buku sastra, yakni hadirnya kartun. Ia dianggap telah mengekspresikan sesuatu di luar sastra lebih dari yang diekspresikan. Yoshimo Banana (penulis fiksi) bahkan pernah mengatakan, “Jika saja saya punya bakat membuat kartun, saya tak akan jadi novelis” Sejak saat itu, perkembangan industri perbukuan di jepang mulai berorientasi pada kepentingan pasar. Lalu ada peristiwa revolusi jepang. Lalu mulai muncul teknologi komputer, Natsuo mengomentari masa itu sebagai sebuah dunia “absurd” yang hilang. Tahun 1990 ada lebih banyak penulis daripada pembaca sastra, dan....karya Mishima tak pernah dibaca! Dari hari ke hari sastra kehilangan pembaca. “Saya pun mengajar dengan murid-murid yang tak membaca karya-karya saya,” kata pengarang ini sedih.

Lalu situasi sedikit membaik sampai lambat laun juga ada kemajuan, ketika ada harmoni antara kejujuran dan nilai-nilai moralitas. Karya Yushimura Akira, misalnya berbicara bagaimana orang-orang biasa, orang-orang sederhana menemukan kebijaksanaan, sedangkan pada karya Murakami sastra menemukan perspektif yang berbeda. Sayang era berikutnya mulai muncul pengaruh asing atas hadirnya video, yang membuat pembaca sastra di Jepang saat ini sudah jauh berkurang. Sekikawa menceritakan bagaimana sckarang para pengarang Jepang ingin menceritakan keperihan bangsanya di mana masing-masing pengarang bercerita dengan cara yang personal. Sayang minat masyarakat terhadap karya sastra sudah mulai surut dengan hadirnya makin banyak kecanggihan teknologi yang menjauhkan sastra dengan pembacanya. Sekarang, sastra adalah buku yang tidak mendatangkan uang (profit).

Pengarang lain, Natsuki Ikezawa malahan mengungkapkan, masyarakat Jepang, menurutnya, punya banyak problem budaya. Tak ada harapan. “Kami kehilangan banyak hal ketika kami mendapatkan banyak hal. Kami butuh sesuatu untuk kami berpikir kembali bagaimana hidup lebih baik. Jepang harus banyak belajar dari negara-negara berkembang, terutama dari negara miskin,” katanya. Dalam beberapa tahun belakangan ini pengarang peraih penghargaan sastra Mainichi dan penghargaan seni dari Kementerian Pendidikan ini memang menghabiskan sebagian besar waktunya untuk berpetualang ke pulau-pulau kecil di dunia, terutama di wilayah Micronesia, Goam, dan sempat melanglang ke Eropa sebelum kemudian masuk di tiga negara di Asia: Thailand, Nepal dan Indonesia.

Di Jepang ternyata ada cukup banyak lembaga swasta yang menaruh perhatian di bidang penerbitan buku. Misalnya saja Daido Life Foundation. Kantor asuransi yang didirikan tahun 1902 ini punya perhatian besar pada buku sastra, baik dalam hal penerjemahan sastra Jepang ke luar negeri, maupun penerjemahan karya-karya asing ke dalam bahasa Jepang. Saya lihat ada empat karya sastrawan Indonesia pernah masuk dalam program mereka ini, yakni Ni Pollok (Yati Maryati Wiharja, 1990), Rendra (Rendra, 1990), Di Kaki Bukit Cibalak (Ahmad Tohari, 1992), Perjalanan Pengantin Kakek Wuwu (Ajip Rosidi, 1993).

Lembaga lainnya adalah “Asosiasi 100 buku Jepang”, yang dipimpin oleh Makoto Ooka, seorang penyair dan kritikus. Lembaga yang bersifat nonprofit ini tidak mendapatkan subsidi sedikit pun dari pemerintah. Mereka menerima subsidi misalnya dari Japan Foundation dan perusahaan kosmetik “Seseido”. Namun sebaliknya, asosiasi ini juga memberikan subsidi bagi mereka yang tertarik menerbitkan buku-buku jepang. Menurut penjelasan Ms. Toya, Executive Director of Association for 100 Japanese Books, buku mengenai sejarah, buku anak, dan sosial adalah jenis buku-buku yang diusulkan bisa terbit di negara lain, termasuk buku-buku sastra yang dikatakannya menarik karena banyak berisi kebenaran. Lembaga ini sendiri juga menerbitkan buku setiap tahun, meski sangat tcrbatas, hanya tiga judul per tahun. Mereka mematok menerbitkan 100 judul buku di setiap target dan pencapaian mereka yang sekarang sudah mencapai 70 judul buku yang diterbitkan. Buku yang pernah diterbitkan antara lain Master of Modern Japanese Poetry, juga sebuah novel perang dan damai Riding The East Wind karya O Kaga. Ada lagi Short Introduction In Modern Japanese Literature. Lembaga ini, terang Ms. Toya, hanya mempekerjakan sedikit karyawan sehingga bisa jadi “murah”. Yang lebih penting bagi mereka adalah memproduksi buku-buku yang akan mengajak manusia bisa saling mengerti.

Ada lagi Asia Pacific Cultural Centre for UNESCO (ACCU). Ini adalah lembaga semi pemerintah yang didirikan tahun 1971 sebagai sebuah organisasi nonprofit. Yang cukup mengesankan, mereka memiliki program promosi buku sastra dan telah banyak melakukan usaha-usaha ke seluruh dunia, termasuk bagaimana mereka memberi perhatian pada kaum wanita dan anak-anak dan bagaimana membawa mereka bisa mengasyiki buku!

Dan tentu saja kami juga sempat berkunjung ke kantor Ikapi Jepang atau The Japan Book Publishers Association (JBPA) yang bermarkas di Tokyo. Asosiasi ini beranggotakan 400 penerbit, 80 di antaranya penerbit majalah. Menurut salah seorang dari asosiasi ini, 80% penerbit di Jepang itu ternyata penerbit yang sangat kecil. Adapun masalah yang juga cukup hangat dan penting —sebagaimana di sini— adalah soal copyrights. Mereka sedang berupaya bagaimana melakukan perlindungan untuk soal ini. Karena itu, mereka sangat senang jika bisa berbagi pengalaman mengenai hal ini. Sebaliknya, jika penerbit lain ingin menimba pengalaman dalam soal teknologi, mereka siap berbagi atau bekerja sama! Pendeknya, asosiasi ini membuka diri lebar-lebar dan menawarkan diri apa yang bisa dibantu oleh Jepang.

Sebagaimana diketahui, di Jepang setiap tabun diselenggarakan Tokyo Bookfair; sebuah international bookfair. Berhubung saat ini belum ada pameran buku se-Asia Pasifik, maka JBPA menawarkan pada kami untuk membuat bookfair “kecil”, yang terdiri dari para penerbit yang datang ini, yang merupakan semacam “persiapan” untuk selanjutnya mengikuti bookfair di Tokyo.

Printing Museum Tokyo dan Urayasu Public Library adalah contoh lain betapa Jepang memiliki komitmen yang amat besar di bidang buku. Yang pertama adalah museum cetak terbesar di Jepang, menyimpan koleksi semua benda yang berkaitan dengan, tak hanya cetak-mencetak, tapi penerbitan pada umumnya, mulai dari zaman pra-sejarah, mulai dari Mesir sampai ke negara-negara maju di Eropa. Namun tak hanya itu, mereka melengkapi museum dengan fasilitas teknologi yang amat canggih yang mampu mengajak masyarakat mencintai buku.

Sementara Urayasu Public Library adalah sebuah perpustakaan besar dan lengkap yang amat memanjakan para pecinta buku. Penataan ruang-ruangnva sangat nyaman untuk membaca buku, di samping ada bagian koridor yang dimanfaatkan sebagai ruang baca lengkap dengan sofa-sofanya yang empuk. Belum lagi ruang baca lain di taman-taman asri di sekeliling halaman. Pengunjung yang ingin membaca benar-benar dimanjakan dengan tempat baca yang nyaman ini, juga pencahayaan yang cukup. Prosedur yang tak berbelit, dan petugas perpustakaan yang melayani dengan ramah tamah tentu amat menyenangkan bagi siapa pun yang datang ke tempat ini.

Kami sempat diputarkan sebuah film lucu tentang seorang eksekutif muda dungu yang bahkan tak tahu apa itu “perpustakaan”, lalu ia masuk ke ruang demi ruang, disambut pelayanan simpatik petugas perpustakaan, sampai akhirnya ia mulai jatuh cinta, dan akhirnya hari-hari kerjanya dihabiskannya di tempat itu.

Menurut keterangan pengelola gedung ini, semua petugas yang bekerja di sini adalah pustakawan, scseorang yang memang mendedikasikan hidupnya untuk buku dengan penuh cinta. Anak-anak juga tak kctinggalan mendapatkan ‘kemanjaan’ tersendiri di perpustakaan ini. Selain meja dan kursi kecil warna-warni, beberapa mainan dan tentu buku-buku yang semuanya menarik bisa menjadi teman anak anak (dan ibunya) menghabiskan waktu, menunggu sang ayah pulang bekerja.

Buku-buku berbahasa Inggris dari Eropa dan Amerika cukup merajai pasaran buku di Jepang. Namun, itu tak mengalahkan bunko dan manga. Manga adalah buku komik jepang, sedangkan bunko adalah buku-buku yang dikemas dalam ukuran kecil atau buku saku yang isinya mungkin novel atau lainnva. Karya-karya sastra berbobot ada juga yang diterbitkan dalam edisi bunko (berukuran 10,5 x 15 cm). Kedua jenis buku itu adalah buku terlaris pada rata-rata toko buku di Jepang.

Industri penerbitan di Jepang agaknya sudah mencapai tingkat kemakmuran. Sekitar 50 ribu judul buku dengan oplah sebanyak 1,4 miliar eksemplar dan 2.500 majalah (atau lima miliar eksemplar) diterbitkan di jepang. Setidaknya 4.500 penerbit di Jepang —80%-nya ada di Tokyo menghasilkan usaha setahun senilai 2,5 triliun yen. Sedikitnya setiap penerbit punya fasilitas rumah tangga untuk cetak, binding dan penjualan, namun umumnya beberapa perusahaan memiliki spesifikasi tersendiri: khusus cetak, khusus binding, dan Iain-lain. Beberapa penerbit kecil banyak yang melakukan penjualan langsung ke pasar eceran. Namun, para penerbit besar kebanyakan memanfaatkan distributor. Salah satu distributor yang bisa disebut misalnya Tohan Ageo Center. Distributor ini memiliki sebuah sistem pendistribusian yang sangat modern sehingga mampu mendistribusikan buku atau majalah ke seluruh jaringan pemasaran (sampai sekitar 25.000 toko buku) mereka dengan waktu tiba yang hampir bersamaan. Mereka tak hanya sudah memiliki gedung megah yang amat peduli pada lingkungan —bahkan air hujan (rain water) pun mereka tampung untuk kemudian dimanfaatkan bagi penciptaan lingkungan yang bersih, juga penggunaan seminim mungkin gas air conditioning— distributor ini dalam kerja pendistribusiannya menggunakan proses kerja dengan mengandalkan mesin-mesin yang mempermudah pekerjaan ini, seperti mesin pengepak dan mesin pembungkus, dan semua mesin itu “diawasi” oleh komputer, yang antara lain berfungsi memantau berapa banyak pesanan dari suatu toko buku atau kios. Misalnya, ia akan menimbang satu buku ukurannya berapa, beratnya berapa, lalu semua buku yang akan dilempar ke pemesan itu akan ditimbang, apakah sudah cocok dengan order. Jika angkanya tak sama, berarti ada kesalahan jumlah ataupun pesanan. Maka sang komputer ini akan '”mengingatkan”. Sehingga, sebagaimana diungkapkan salah satu penanggung jawab di bagian ini, “Persentase kemungkinan salah order hanya sedikit sekali, kalau tak ingin mengatakan tak ada.” Jika ada buku yang diretur, Tokyo Logistic Center siap menampung barang-barang itu. Persentase barang yang kembali ini mencapai 30%. Jumlah distributor macam begini ternyata cukup banyak di Jepang. Ada sejumlah 43 distributor semacam ini di Jepang, yang masing-masing melayani 4-5 penerbit.

Sayang, banyak dikeluhkan saat ini hanya sedikit orang muda yang membaca tiap hari dibanding apa yang dilakukan 20-30 tahun lalu. Munculnya media elektronik dalam tahun belakangan ini dianggap mempercepat tren ini. Ini barangkali sinyal yang akan menjelaskan kematian buku bacaan fiksi (dengan pengecualian pada buku-buku bestseller yang jumlahnya tak terlalu banyak). Padahal fiksi adalah menjadi “bahan pokok” industri perbukuan di Jepang.

Sebagian besar penerbit ukuran sedang dan besar di Jepang memproduksi, tak hanya buku tetapi juga majalah. Majalah sudah menjadi bagian dari bisnis industri yang makin digemari dalam tahun-tahun belakangan ini karena mereka dianggap telah menyediakan sumber pendapatan yang tetap termasuk income dari periklanan. Maka kini komik (manga) dan majalah mingguan menjadi bahan pokok utama dalam industri penerbitan di jepang.

Lebih 65 ribu judul buku baru tiap tahun diterbitkan di jepang, atau berarti 179 judul buku tiap hari. Lalu ada 3.300 majalah diterbitkan, di mana 13 di antaranya mempunyai peredaran satu juta copy atau lebih tiap nomornya. Untuk urusan distribusi, ini semua ditangani oleh distributor penjual borongan. Dari seluruh distributor yang ada di Jepang yang jumlahnya 150 distributor, 41 di antaranya tergabung dalam asosiasi penjual borongan di mana mereka menguasai 80% dari semua distribusi penerbitan di Jepang. Akan halnya toko buku, diperkirakan ada 26.000 toko buku di jepang di mana 10 ribu di antaranya bergabung dengan “federasi buku laris Jepang”. Memang cukup mudah menemukan toko buku di Jepang. Apakah di stasiun kereta atau di shopping center paling sibuk sekalipun, kita dengan mudah bisa menemukan toko buku. Meski mereka tata-rata hanya berukuran kecil dengan luas lantai 123 meter. Namun, toko buku itu merupakan bagian integral dan kegiatan sehari-hari masyarakat Jepang dan beberapa toko buku bahkan telah menjadi tempat pertemuan (rendezvous) kaum muda-mudi.

Sekarang tinggal kami para penerbit yang datang ke Jepang ini, bagaimana menyambut gayung yang sudah dilemparkan Jepang: Saat ini sudah terlalu banyak buku dari Barat yang diimpor, karena itu, sekaranglah waktunya bagi Jepang ingin mengimpor juga buku-buku dari kawasan Asia Pasifik. Maka, “Buatlah buku bagus dan kirimkan pada kami. Supaya bisa diterjemahkan dalam bahasa Jepang.”

Jadi, betapa terbukanya karya-karya sastra Indonesia menjadi lebih dikenal di masyarakat lain di luar negerinya sendiri. Tinggal tugas para pengarang membuat karya hebat. Karya seperti itu akan mampu mengantar dirinya sendiri ke dunia yang lebih luas.

Dorothea Rosa Herliany
Majalah Mata Baca Vol. 1 No. 1 / Agustus 2002